Kami Hanya Ingin Belajar di Rumah, Tidak di Sekolah

Saiful (berkaos hitam) bersama adiknya saat menggunakan layanan Mobil Pintar Dinas Pendidikan Jatim di penampungan Transito Margorejo Surabaya kemarin.

Saiful (berkaos hitam) bersama adiknya saat menggunakan layanan Mobil Pintar Dinas Pendidikan Jatim di penampungan Transito Margorejo Surabaya kemarin.

Mengembalikan Nama Baik Sekolah di Mata Anak-anak Eks Anggota Gafatar
Kota Surabaya, Bhirawa
Sekolah, agaknya sudah menjadi momok bagi anak-anak eks anggota Gafatar. Nama baiknya sebagai taman menyenangkan luntur dari benak mereka. Toh belajar bisa di mana saja, tidak harus datang ke sekolah. Begitu kata mereka.
Tidak, tidak dan tidak. Kata-kata itu singkat, tegas dan sangat jujur untuk untuk menjawab tawaran kembali ke sekolah. Seakan ada trauma yang mendalam di memori anak-anak eks anggota Gafatar tentang sekolah. “Saya mau belajar. Tapi nggak ingin sekolah lagi,” tutur Saiful singkat kemarin.
Anak sebelas tahun asal Surabaya ini sudah benar-benar lupa kapan dan di mana terakhir kali dia bersekolah. Dia hanya ingat pernah duduk di bangku kelas 1 SD. Entah di sekolah mana itu. Selebihnya, dia hanya ingat dengan belajar bersama guru di permukiman yang kemudian disebut home schooling. Padahal, jika merunut aturan pendidikan nasional, home schooling tetap harus diselenggarakan oleh lembaga yang memiliki serangkaian persyaratan. Terdata dengan jelas izin lembaga dan siswanya, tersistem dengan baik sistem pembelajaran dan evaluasinya.
Bukan hanya Saiful, dua adik kandungnya yang beberapa hari terakhir juga bermukim di Gedung Transito Margorejo Surabaya pun enggan bersekolah. Namun bukan berarti mereka ogah belajar. Karena buku-buku dari ‘Mobil Pintar’ Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim terlihat akrab selama di tangan mereka.
Tanggapan miring tentang sekolah juga terlihat dari para pemuda di sana. “Pemerintah kan selama ini menetapkan wajib belajar (Wajar) bukan wajib sekolah,” tutur Puji Haryanto.
Pemuda 22 tahun itu sudah lepas dari pendidikan formal sebelum tamat dari bangku SMP. Selebihnya, waktu dia habiskan untuk bekerja dan mengikuti kegiatan sosial di Surabaya bersama organisasi Gafatar. “Sudah males sekolah lagi. Sekarang waktunya untuk bekerja,” kata dia.
Puji mengaku cukup senang dengan metode belajar selama di sana. Sebab, anak-anak cukup belajar di rumah dengan aneka permainan. Sedangkan jika di sekolah, yang ada justru kekhawatiran akan pergaulan bebas atau kenakalan remaja. “Sekolah jadi tempat anak-anak itu belajar merokok, minum-minuman keras. Jadi lebih baik belajar di rumah,” kata dia.
Persepsi buruk tentang sekolah ini tentu membuat Dindik Jatim prihatin. Sebab, anak-anak usia sekolah seharusnya tetap harus belajar di sekolah. Mendapatkan pendidikan yang layak dan nyaman bersama teman-teman seusianya. “Layanan di penampungan itu kan sifatnya darurat. Usaha kita sementara ini meredam trauma mereka dengan alat bermain dan buku-buku yang tersedia di ‘Mobil Pintar’,” tutur Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman.
Penangan lebih lanjut, kata Saiful, harus dilakukan secara intensif bersama dindik kabupaten/kota. Karena itu, pihaknya segera akan melakukan koordinasi dengan daerah untuk pemetaan riwayat pendidikan anak. “Kalau memang sudah lebih dari usia sekolah, akan kita ikutkan pendidikan non formal. Kalau masih anak-anak harus diusahakan kembali ke sekolah,” kata dia.
Mengajak anak masuk ke sekolah juga tidak bisa dengan paksaan. Jika memang tidak bisa, tutor dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) harus menjangkau sampai ke rumah siswa. “Itu baru home schooling. Mereka terdata dan mengikuti pembelajaran yang jelas,” kata mantan Kepala Badan Diklat Jatim ini.
Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Dindik Jatim Nashor menambahkan Mobil Pintar akan terus disiapkan sampai seluruh eks anggota Gafatar bersih dari penampungan. Buku-buku yang tersedia sesungguhnya bukan hanya untuk anak-anak. Melainkan juga referensi untuk para remaja yang ingin berwirausaha. “Kami juga menyediakan APE (Alat Permainan Edukatif) yang sewaktu-waktu bisa digunakan mereka,” pungkas dia. [Adit Hananta Utama]

Tags: