Syukur, hari ini telah memasuki akhir pekan yang tenang. Berakhir sudah kampanye pemilihan presiden (pilpres). Tetapi berbagai bentuk propaganda dan pembelaan terhadap Capres dan Cawapres tak pernah berhenti. Walau iklan di berbagai media cetak dan elektronik tidak nampak lagi, toh masih terdapat media sosial. Alat propaganda berbasis internet ini seolah-olah bebas dari peraturan KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Sudah ratusan juta kalimat dinyatakan melalui media sosial berbasis internet. Facebook, twitter, blog, e-mail, sampai SMS. Semuanya tak pernah berhenti berkampanye untuk mendukung Capres dan Cawapres yang dijagokan. Juga masih banyak perdebatan, sampai kampanye hitam (dan hasutan). Berbagai kampanye pada media sosial ini luput dari rambu-rambu larangan kampanye, karena berdalih kebebasan berbicara (secara individu).
Benar, kebebasan berbicara dijamin UUD pasal 28E ayat (2) dan ayat (3). Juga masih terdapat jaminan UUD pasal 28F, yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Jadi, untuk apa KPU membatasi waktu kampanye? Peraturan itu (kampanye) paling sering dilanggar. Seolah-olah waktu yang disediakan terlalu sempit. Padahal tim sukses pasangan Capres Cawapres sudah memulai kampanye sejak sebelum pendaftaran di KPU. Begitu di-deklarasi-kan, kampanye pun dimulai. Sudah jutaan lembar baliho, stiker, selebaran, dan iklan neon disebar. Hingga hari akhir kampanye, hanya sedikit yang dibongkar sebelum coblosan. Sebagian besar tetap dibiarkan.
Berbagai pesan propaganda dinyatakan dalam kampanye. Selain berisi janji, juga narsisme tentang ke-pribadi-an Capres dan Cawapres. Pendek kata, pasangan Capres harus di-citra-kan hampir bagai “setengah dewa.” Mendekati sifat malaikat: bersih, selalu taat aturan, dan nyaris tanpa kesalahan sepanjang hidup. Seluruh narsisme dibuat lebay, berlebihan. Bahkan pilpres kali ini, seluruh Capres dan Cawapres “dibuat kaya” dengan kekayaan lebih dari Rp 30 milyar.
Laporan tentang harta kekayaan Capres dan Cawapres, bukannya tanpa konsekuensi. Usai pilpres nanti, menang atau kalah, data kekayaan itu akan diendus oleh media masa. Dari mana datangnya kekayaan? Itu sangat baik sebagai pertanggungjawaban akuntabilitas publik calon pejabat. Misalnya, seorang Ketua Umum parpol yang memiliki kekayaan Rp 24 milyar, harus diusut.
Padahal sebagai Ketua Umum parpol juga menjabat sebagai menteri (anggota kabinet) selama 10 tahun. Dan sebelumnya lagi menjadi anggota DPR-RI serta memiliki usaha. Bagaimana pula dengan pejabat lain (yang baru) bisa memiliki kekayaan sampai Rp 30 milyar lebih. Atau seorang Capres maupun Cawapres bisa memiliki kekayaan lebih dari Rp 100 milyar?
Tidak dilarang menjadi kayaraya, tetapi harus dijamin bukan hasil dari KKN (Kolusi, Korupsi dan nepotisme). Kebiasaan mark-up program pembangunan pemerintah, harus dihentikan. Pungutan kepada rekanan kontraktor, juga tidak boleh dilakukan. Walau, gaji (dan tunjangan) pejabat tidak seberapa besar dibanding penghasilan pengusaha. Tetapi pejabat juga memiliki dana operasional dan protokoler sangat fantastis.
Tingkat “kebersihan” Capres dan Cawapres harus menjadi garansi. Kekayaan yang dilaporkan kepada KPK juga bisa menjadi bahan kampanye hitam. Bahkan telah beredar luas pembicaraan yang konon dilakukan oleh jaksa Agung dengan pucuk pimpinan parpol, terkait pasangan Capres Cawapres. Meski materi pembicaraan bukan perencanaan korupsi, namun telah cukup di-indikasi sebagai kolusi.
Kolusi, merupakan jalan menuju pelanggaran terhadap UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kolusi juga bisa menjadi olok-olok. Sudah banyak kampanye hitam yang menyulut emosi. Sudah ada yang membakar kantor media televisi karena emosi. Bisakah mencoblos dengan tenang ?
——— 000 ———