Kampanye Kerukunan dengan Senyum

(Pemikiran almaghfurlah KH Hasyim Muzadi)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial politik

Usai shalat Jumat (17 Maret 2017), hampir seluruh masjid di Indonesia diselenggarakan shalat ghaib. Hal yang sama juga dilakukan di berbagai negara di seluruh dunia, terutama yang memiliki PCI-NU (Pengurus Cabang Internasional NU). Shalat ghaib, dilaksanakan untuk menghantar KH Ahmad Hasyim Muzadi ke haribaan Ilahi.
Selalu berbicara (dan ceramah) dengan seyum. Penyebaran paham ekstremisme, kanan maupun (lebih-lebih) kiri, tidak mencemaskan sang kyai. Tetapi ulama pengasuh pesantren mahasiswa itu, gigih mem-bentengi calon intelektual muda dengan pemikiran pluralisme. KH Ahmad Hasyim Muzadi, yakin benar, bahwa ekstremisme tidak akan laku di Indonesia. Sehingga tidak perlu menguras energi (tenaga dan pikiran) melawan ekstremisme dengan ekstrem.
Bahkan ekstremisme dilawan dengan senyum. Walau dengan kata-kata yang ber-makna larangan bertindak radikal, diungkap dengan senyum. Bahkan ayat-ayat (AlQuran) tentang perang (angkat senjata) terhadap ancaman agama, dapat diungkapkan dengan santun.
Senyum sang kyai, menjadi bukti nyata. Bahwa konsep pluralisme, bukan hanya retorika di atas panggung. Melainkan telah menjadi perilaku sehari-hari KH Hasyim Muzadi. Senyum berlandaskan kaidah “rahmatan lil ‘alamin.” Diberikan kepada semua orang, termasuk kepada yang me-musuhi. Sehingga KH Hasyim Muzadi, tidak pernah memiliki musuh, kecuali yang me-musuhi belum pernah bertemu.
KH Ahmad Hasim Muzadi, wafat (pada hari Kamis, 16 Maret 2017), dengan meninggalkan upaya (dan pemikiran) cemerlang. Yakni, tentang ukhuwah (kerukunan) global. Pada bahasa santri, kerukunan global disebut sebagai ukhuwah basyariyah. Pada konsep ke-Indonesia-an, ukhuwah basyariyah berisi muatan utama ukhuwah wathaniyah (kerukunan nasional). Termasuk di dalamnya melestarikan sumberdaya alam yang terkandung di bumi Indonesia.
Ukhuwah basyariyah (global), juga berarti menjaga etika persahabatan antar-negara. Ini sesuai dengan amanat konstitusi. UUD pada muqadimah alenia ke-empat, menyatakan: “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, … .” Amanat dalam muqadimah UUD tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Sedangkan batang tubuh UUD, boleh diubah sesuai kebutuhan zaman.
Simbiose Gus Dur
Tetapi ukhuwah global (internasionalisme) yang diyakini oleh KH Hasyim Muzadi, bukan sekadar retorika. Melainkan benar-benar dijalani secara faktual, melalui aksi individual. Banyak pemimpin negara sahabat, menggunakan jasanya sebagai “jembatan” perdamaian. Pemikirannya tentang “agama dan negara,” meng-inspirasi cendikiawan di berbagai perguruan tinggi se-dunia. Tak terkecuali di Amerika Serikat (AS) dan kawasan Timur Tengah.
Alumni pesantren moderen Darus-salam, Gontor, (Ponorogo, Jawa Timur), itu pernah dianggap, “tidak seberapa” NU. Ke-NU-annya, diragukan. Namun Hasyim Muzadi, membuktikan sukses “berkarir” di NU, mulai dari tingkat bawah (pengurus Ranting, tingkat Kelurahan). Sampai KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun kepincut. Tak heran, Gus Dur, meng-garansinya untuk menjadi Ketua Tanfidziyah NU Jawa Timur.
Bahkan gus Dur pula yang berkampanye untuk keterpilihan KH Hasyim Muzadi sebagai Ketua Tanfidziyah PB-NU. Kalangan nahdliyin sampai menyebut pemikiran KH Hasyim Muzadi, sebagai “fotokopi” gus Dur. Namun sesungguhnya gus Dur juga terpikat oleh pembawaan KH Hasyim Muzadi. Terutama dalam hal menyisipkan joke segar. Dalam forum NU, keduanya sering bersama-sama satu podium. Simbiose mutualisme, bagai dua pohon korma dalam satu kebun.
Sehingga metode orasi keduanya saling mempengaruhi. Sampai terbawa dalam sikap hidup, walau masing-masing memiliki karakter yang khas. Itu alasan gus Dur meng-kampanye-kan KH Hasyim Muzadi, untuk menggantikannya sebagai Ketua Umum PB-NU. Itu terjadi pada muktamar ke-30 di Kediri, Jawa Timur. Sejak itu, KH Hasyim Muzadi, harus ber-jibaku keliling Indonesia, “menjajakan” konsep ukhuwah.
Sebelumnya, sangat sering mewakili gus Dur pada forum-forum internasional. Jaring per-teman-an telah mendunia. Bukan hanya pada kawasan muslim mayoritas, tetapi meluas ke negara-negara muslim minoritas. Sampai dekade awal 2000-an, KH Hasyim Muzadi merupakan orang Indonesia yang memiliki hubungan internasional paling luas. Tak terkecuali, disegani pula oleh kelompok milisi di negara-negara konflik.
Keyakinan KH Hasyim Muzadi, bahwa tiada bangsa yang menyukai ekstremisme. Karena sebenarnya, “ekstremisme mayoritas” merupakan dampak yang dipicu oleh kebijakan kekuasaan. Dalam hal ini, mayoritas yang dinistakan oleh minoritas yang berkuasa. Contohnya, perlawanan yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro (pada tahun 1825 – 1830). Sebagai keturunan darah biru (ningrat), sekaligus santri tulen, Pangeran Diponegoro biasanya sangat santun. Hal yang sama dilakukan oleh bangsa-bangsa seluruh dunia.
Radikal-isme Minoritas
Sampai pertengahan abad ke-20 (tahun 1900-an) ekstremisme sebagai dampak, semakin lazim menjadi model perlawanan. Hal itu terjadi di berbagai bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang terjajah oleh bangsa Eropa. Tetapi pada dekade 1950-an, mulai tumbuh gejala sosial (dan politik) “ekstremisme minoritas.” Model ekstremitas ini disertai gejala mirip “preman sewa-an” yang bersifat trans-nasional. Sering sangat merepotkan masyarakat dan negara yang menjadi sasaran target kerusuhan.
Karena itu ekstremisme dan radikalisme minoritas selalu memperoleh perlawanan sosial dari masyarakat luas. Begitu pula negara (jajajaran keamanan dan ketertiban), akan menindak tegas. Kewaspadaan nasional menciptakan situasi kondusif ke-Indonesia-an, yang peka terhadap penyusupan ekstremisme. Siaga membentuk barisan pengamanan swakarsa.
Peristiwa rusuh sosial tahun 1948, dan 1965, serta ekstremisme dekade awal abad XXI, menyebabkan masyarakat waspada dan peka. Beberapa bukti kekejaman ekstrem kiri tahun 1965 juga sudah terungkap. Kuburan masal di berbagai tempat telah ditemukan. Sejarah pembunuhan gubernur Jawa Timur RMT Soerjo, di Kedung-galar, Ngawi (Jawa Timur), terasa masih membekas kuat. Begitu pula tragedi Bali I dan II, diperingati di berbagai negara.
Segenap masyarakat telah coba melupakan masa lalu, kembali hidup bersama tanpa kebencian. Terhadap keturunan (anak maupun cucu) mantan napi politik, tidak dibebani “dosa turunan.” Tidak ada larangan menjadi anggota DPR, DPRD, serta menjadi Menteri, maupun menjadi Kepala daerah. Bahkan pada era 1980-an, sudah banyak keluarga mantan napi politik yang “dimaafkan,” dan menjadi pejabat publik.
Penghapusan “dosa turunan” sudah direalisasi, banyak keturunan mantan napi ekstrem kiri maupun kanan, memperoleh hak asasinya. Hal itu juga dijamin oleh konstitusi. Tercantum pada UUD pasal 28A sampai 28J. Tidak tanggung-tanggung terdapat 25 klausul. Seluruhnya menjamin hak setiap orang warga negara secara equal (setara). Sejak awal tahun 2000-an, tidak ada lagi “tanda khusus” pada kartu  identitas (KTP, kartu tanda penduduk)
Tetapi masih terdapat beberapa kelompok yang coba “menggertak” kerukunan, berdalih hak asasi manusia. Ada pula “gertakan” kepada pemerintah, untuk meminta maaf kepada korban Gestapu 1965. Ironisnya, beberapa politisi (anggota parlemen pula), terlibat provokasi sosial. Bahkan beberapa pihak coba menyusupkan ajaran terlarang (komunisme) ditengah masyarakat. Misalnya, melalui grup band lokal (di kampung) dengan menyanyikan lagu genjer-genjer, yang identik dengan partai terlarang.
“Gertakan” ekstrem kiri, dalam lima tahun terakhir terasa makin sistemik. Inilah yang menyebabkan presiden memanggil Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BIN, dan Kepala Staf TNI-AD. Rapat terbatas bidang hukum dan keamanan membahas lambang-lambang komunisme yang kembali marak di Jakarta dan beberapa daerah.  Termasuk penjualan baju kaus berlogo palu-arit.
Bersyukur, aparat negara bidang hukum dan keamanan masih berpatokan pada Ketetapan MPRS Nomor 25 tahun 1966. TAP MPR ini berisi larangan PKI sebagai organisasi terlarang. Serta larangan menyebarkan paham ajaran komunisme. Khusus dalam hal mengenang kekejaman PKI, KH Hasyim Muzadi, tidak bisa tersenyum.

                                                                                                     ———— *** ————–

Rate this article!
Tags: