Kampung 1001 Malam di Surabaya

Kawasan kolong jembatan tol Dupak banyak hunian tak layak yang sudah ada sejak 20 tahun lalu.

Terisolasi, Kurang Perhatian, Berjuang Hidup Sendiri
Surabaya, Bhirawa
Hidup di kolong jembatan dan bantaran sugai memang bukanlah pilihan yang diidamkan, keterpaksaan akibat biaya hidup yang tinggi di kota besar seperti Surabaya menjadikan sejumlah masyarakat yang tidak beruntung memilih tempat-tempat tak layak menjadi hunian.
Salah satu wilayah kota Surabaya yang menjadi situs kekurang beruntungan sebagian masyarakat adalah Kampung 1001 Malam. Kampung yang konon dihuni setidaknya 180 orang ini terisolasi oleh jalan tol Dupak-Gresik dan Kali Asemrowo serta Bozem Morokrembangan.
Bhirawa dan sejumlah awak media ,Jumat(8/1) lalu berkesempatan diajak Wakil Ketua DPRD Surabaya, Reni Astuti blusukan di Kampung 1001 Malam untuk mengecek sejauh mana bantuan pemerintah terkait Covid-19 bisa diterima masyarakat.
Jika anda melihat peta Google Map, memang tidak akan ada jalan langsung menuju kampung kumuh. Bila ditarik dari titik pengenal jalan Demak, seharusnya bisa masuk ke Kampung 1001 Malam melalui jalan Lasem. Tapi terputus oleh jalur Tol Dupak-Gresik.
“Lha apa sampean mau nyebrang jalan tol?,” ujar salah satu warga di sekitar Jalan Lasem yang sempat ditanya Bhirawa arah ke Kampung 1001 Malam.
Memang kenyataannya untuk masuk ke Kampung 1001 Malam, kita harus menyusuri dulu kolong jembatan tol Dupak yang ada di jalan Tambakasri dan melanjutkannya menyeberang Kali Asemrowo dengan “nambangan”-perahu gethek yang ditarik tali tambang dari ujung ke ujung kali. Itupun jarak dengan kampung aslinya masih sekitar sepenimun teh masuk kolong jembatan tol dan menyusuri bantaran sungai.
“Karena lewat kolong jembatan tol yang gelap seperti terowongan Minna, maka kampung ini dinamai Kampung 1001 Malam. Kan habis terowongan Minna langsung Arab Saudi tempat cerita 1001 Malam,” ujar salah satu warga yang mengantar rombongan kami.
Terowongan Minna adalah salah satu terowongan di area lempar jumroh di Mekkah yang sempat terjadi tragedi menewaskan ratusan orang di tahun 1990-an. Mungkin karena gelap, maka kolong jembatan Tol Dupak ini dinamakan demikian.
Di bantaran sungai inipun—sebelum masuk kampung, banyak sekali bedeng-bedeng tak layak huni dibangun orang-orang yang entah terdaftar sebagai warga ber KTP mana. Entah mereka berpenghidupan , mendapat penghasilan sebagai apa tidak banyak yang tahu. Namun dari wajah-wajah orang-orang penghuni kawasan ini sepertinya tidak satupun wajah mengeluh. Hidup memang harus “dilakoni” tanpa banyak protes.
Mulai masuk kampung , kita disapa oleh gapura kecil yang bertuliskan “Kampung 1001 Malam” yang letaknya persis di bawah pagar tol Dupak. Tulisan “NKRI Harga Mati” juga terpampang di beton penopang gapura, tanda mereka masih merasa sebagai warga negara Indonesia.
Secara hukum mestinya lahan yang menjadi Kampung 1001 Malam adalah lahan milik PT Jasa marga yang mengoperasikan Tol Dupak-Gresik karena berapa persis mepet dengan badan jalan tol. Tetapi ujung kampung ini masuk di pinggir wilayah Bozem Morokrembangan.
Dari cerita warga setempat, dahulu area Kampung 1001 malam adalah wilayah tak penuh dengan pepohonan atau bahkan bisa dibilang hutan. Jadi memang bukan sebuah kampung yang sudah lama ada.
Sekitar tahun 1999-an orang -orang mulai membangun pemukiman permanen sebagai tempat terakhir akibat harga-harga melambung tinggi karena kejatuhan ekonomi termasuk tempat kos yang menjadi andalan kaum urban di Surabaya.
Lama kelamaan, wilayah tak berpenghuni itu ramai dan menjadi kampung, meski untuk sampai di sana harus melewati jalur yang tak masuk akal. Cukup banyak pula hunian yang sudah berupa tembok dari batu bata putih atau batu bata kapur. Namun lebih banyak yang berupa hunian semi permanen dari bahan sekedarnya.
Tidak pula terlihat wajah-wajah muram dan kesedihan di warga kampung 1001 Malam. Sepertinya hidup memang sudah dinikmati dan diniati.
Reni sendiri menyikapi “blusukannya’ kali ini memandang masyarakat kampung 1001 Malam adalah masyarakat yang hanya karena kurang beruntung dalam kehidupan. Ia meminta agara pemerintah kota segera membuat perencanaan agar masyarakat di kampung tersebut mendapat perhatian lebih.
“Kalau mau direlokasi ke Rusun . kita legislatif siap mendukung penuh. Tapi janga menyalahkan merak. Perlu edukasi dan perlindungan saja,” kata perempaun legislator yang akrab disapa Mbak reni ini.
Selanjutnya, kiat hanya menunggu kebijakan Pemkot surabaya. Bagaimanapun uga mereka adalah warga kota. [Gatot Suryo Widodo]

Rate this article!
Tags: