Kampus Merdeka: Era Baru Pendidikan Tinggi

Oleh :
Al-Mahfud
Peminat topik pendidikan.
Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media, lokal maupun nasional.
Perguruan tinggi berperan strategis dalam upaya membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Oleh karena itu, pendidikan tinggi bisa dikatakan menjadi fondasi bagi pembangunan bangsa. Di era perubahan yang membawa tantangan dan peluang yang begitu luas sekarang ini, perguruan tinggi dituntut mampu adaptif agar mampu menghasilkan lulusan berkualitas dan berdaya saing di dunia kerja.
Perguruan tinggi mesti menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan di masa depan yang penuh ketidakpastian. Tapi, harus diakui hingga hari ini berbagai persoalan masih membelenggu dunia perguruan tinggi di Indonesia. Seperti sistem perguruan tinggi yang terlalu birokratis, rumit, dan cenderung membelenggu “kebebasan” mahasiswa. Sistem birokratis tersebut juga kadang menghalangi perguruan tinggi itu sendiri untuk berkembang.
Belum lagi, persoalan kualitas lulusan perguruan tinggi yang masih belum sesuai kebutuhan di dunia kerja. Seringkali, setelah lulus kuliah, seseorang masih harus mengikuti berbagai pelatihan yang digelar institusi atau perusahaan agar memenuhi kompetensi sesuai kebutuhan. Kampus masih dipandang sekadar tempat mahasiswa dijejali buku, teori, dan konsep yang sering tak sesuai kebutuhan dunia nyata (kerja). Jadi, perlu ada terobosan baru dalam sistem perguruan tinggi agar benar-benar mampu mengatasi berbagai persoalan tersebut.
Kampus Merdeka
Terkait dengan hal tersebut, Kemendikbud baru saja meluncurkan kebijakan baru. Pada Jumat 24 Januari 2020, Mendikbud Nadiem Makarim meluncurkan paket kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar : Kampus Merdeka”. Kebijakan ini bisa dikatakan segar dan baru dalam perguruan tinggi. Merupakan langkah awal penting guna menciptakan efisiensi serta link and mach antara perguruan tinggi dengan dunia kerja atau industri.
Sebagaimana dijelaskan dalam Siaran Pers Kemendikbud No: 008/Sipres/A6/I/202, ada empat poin dalam kebijakan Kampus Merdeka tersebut. Pertama,pemberian otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi baru. Kedua, program re-akreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarea bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat.
Ketiga, kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum dan Satuan Kerja untuk menjadiPTN Badan Hukum (BTN BH). Keempat, adalah pemberian hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS). Kebijakan “Kampus Merdeka” ini tidak berlaku untuk bidang pendidikan dan kesehatan
Kolaborasi
Di tengah era perubahan yang pesat dan dinamis sekarang, perguruan tinggi harus adaptif dan mampu merespon dengan cepat berbagai kebutuhan di dunia kerja. Oleh karena itu, perlu adanya inovasi dalam pembelajaran di perguruan tinggi. Di sinilah, paket kebijakan “Kampus Merdeka” hadir untuk mendorong inovasi pembelajaran, salah satunya lewat kolaborasi antara universitas dengan berbagai pihak di luar kampus.
Pemberian otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk membuka program studi baru menjadi salah satu kebijakan penting agar PT bisa cepat merespon kebutuhan dan tantangan dunia kerja. Selama ini, hanya PTN Badan Hukum (BH) yang mendapat kebebasan membuka prodi baru. Sedangkan proses perizinan prodi baru untuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan PTN non-BH cenderung memakan waktu lama karena berbagai hambatan birokratis.
Ke depan, PTN dan PTS diberi otonomi membuka prodi baru dengan syarat PT tersebut memiliki akreditasi A dan B, dan telah melakukan kerja sama dengan organisasi dan/atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities. Artinya, perguruan tinggi dengan akreditasi A dan B tak perlu lagi melalui perizinan prodi di kementerian, dengan syarat bisa membuktikan telah melakukan kerja sama dengan perusahaan kelas dunia, organisasi nirlaba seperti PBB, Bank Dunia, USAID, BUMN, BUMD, Top 100 World Universities berdasarkan QS ranking,
Adapun rincian kerja sama perguruan tinggi dengan organisasi dalam pendirian prodi baru tersebut mencakup penyusunan kurikulum, praktik kerja atau magang, dan penempatan kerja bagi para mahasiswa. “Kerja sama (dengan organisasi) yang pertama itu adalah dalam penyusunan kurikulumnya. Kedua, kemudian harus membuktikan ada program praktik magangnya dalam organisasi tersebut. Ketiga, ada rekrutmen kerja atau penempatan kerja,” kata Nadiem Makarim (kompas.com,29/1/2020).
Mendikbud berharap, kebijakan tersebut dapat mendorong semangat kepedulian seluruh civitas akademik maupun dunia industri dalam membangun kualitas SDM Indonesia. Harus ada semangat gotong royong dan sinergi seluruh aspek masyarakat, baik perguruan tinggi maupun perusahaan atau industri dalam rangka meningkatkan kualitas lulusan perguruan tinggi. Dengan begitu, akan tercipta keselarasan antara apa yang dipelajari mahasiswa dengan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Paket kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka menggambarkan semangat efisiensi, kolaborasi, dan fleksibilitas dalam sistem perguruan tinggi. Hubungan dan sinergi kampus dan perusahaan dibangun. Mahasiswa diberi kebebasan dan keleluasaan dalam belajar. Kita berharap, berbagai kebijakan tersebut bisa diimplementasikan dengan baik di lapangan, sehingga membawa era baru yang positif bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
———- *** ————

Tags: