Kanker Korupsi yang Mematikan

Oleh :
Salahudin, SIP, MPA.
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang, Alumni College of Local Administration-COLA, Khon Kaen University, Thailand

Nampaknya, diakui atau tidak, perlahan-lahan korupsi telah menjadi sebuah budaya bagi siapapun pemilik kekuasaan baik di tingkat pusat, daerah maupun di level desa. Secara langsung perilaku buruk ini adalah sebuah pertanda bahwa para elit kekuasaan tidak memiliki moral yang baik dalam menjalankan kekuasaan yang dimilikinya.
Budaya bar-barian tersebut semakin hari semakin menguat di tanah air ini. Dari masa ke masa selalu saja mencuak kasus korupsi yang dilakukan oleh para elit politik di berbagai level dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Belum selesai kasus korupsi mega proyek e-KTP, muncul kasus korupsi pengadaan kapal selam yang barus saja di ungkap oleh KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT).
Tidak hanya di pusat, di daerah pun demikian. Dua minggu lalu, misalnya, Tim Satuan Tugas Sapu Bersing Pungutan Liar (Saber Pungli) Polda Jatim selama lima bulan kerja berhasil menangkap 125 orang dari 63 kasus korupsi. Dari jumlah kasus yang diungkap, sebanyak 87 orang merupakan pegawai negeri sipil. Kasus pungli tersebut diperolah selama tim bekerja dari 4 November 2016 hingga 24 Maret 2017.
Rupanya korupsi tak pernah mati di negeri ini. Seolah korupsi tumbuh liar di negeri subur sumber daya alam ini. Di mana-mana ada bibit korupsi yang nampaknya sulit untuk dihabisi. Ia telah terlanjur menjalar kuat di sel-sel otak para koruptor pemilik kekuasaan seperti kuatnya virus kanker yang siap membunuh siapapun yang dihinggapinya.
Sayangnya, kanker korupsi sedikit berbeda dengan kanker pada umumnya. Virus kanker prostat, misalnya,dapat membunuh mahluk dimana ia berada sedangkan kanker korupsi mensejahterakan manusia yang memilikinya dan membunuh jutaan manusia yang ada disekitarnya. Artinya, ganasnya virus kanker yang ditakuti oleh manusia selama ini tidak seganas jika dibandingkan dengan keganasan virus korupsi.
Kanker korupsi dapat membunuh jutaan rakyat yang ada dalam sebuah negara. Ia merampas hak-hak dasar manusia yakni hak hidup layak, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan pekerjaan, hak mendapatkan fasilitas kesehatan, hak menikmati infrastruktur publik yang nyaman dan aman, dan hak mendapatkan hidup sejahtera, makmur, dan damai. Nampkanya, keganasan virus korupsi tersebut bukan asumsi belaka namun secara nyata masyarakat Indonesia telah merasakan kesakitan yang pedih diakibatkan virus tersebut.
Setiap tahun kerugian negara akibat korupsi rata-rata triliun rupiah. Hasil kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada mengungkapkan nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi di Indonesia selama 2001- 2015 mencapai 203,9 triliun rupiah. Total kerugian negara itu berasal dari 2.321 kasus yang melibatkan 3.109 terdakwa. Kerugian negara ini belum menghitung biaya sosial korupsi.
Di sisi lain, Indonesia menghadapai sejumlah permasalahan sosial ekonomi diantaranya kemiskinan, pengangguran, konflik sosial vertikal dan horizontal. Kendati pemerintah melalui BPS mengklaim angka kemiskinan menurun, namun jika dilihat dengan mata kepala (bukan mata BPS) maka sulit untuk dikatakan bahwa angka kemiskinan menurun. Saat ini, kaum miskin kota dapat kita lihat dari hari ke hari tetap saja nasibnya seperti sedia kala, kalau tidak dikatakan semakin parah.
Tidak hanya kaum miskin di perkotaan, kaum miskin di pedesaan pun semakin menguat dan meluas. Pemerintah tidak pernah mau mengakui kenyataan ini. Pemerintah lebih senang menunjukkan kesuksesan semu daripada kenyataan yang sebenarnya. Tentu saja hal ini akibat langsung dari perilaku penguasa pemerintah gila popularitas pragmatis yakni pencitraan untuk kepentingan jangka pendek (kepentingan kekuasaan).
Pengangguran adalah salah satu permasalahan serius yang disandang anak negeri di berbagai pulau di Indonesia baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Angka penganguran di Indonesia mencapai 7,02 juta orang. Ironisnya, saat ini, pengangguran tidak hanya disandang oleh masyarakat yang berpendidikan rendah namun juga menjadi status yang melekat dalam diri masing-masing para sarjana (masyarakat yang berpendidikan tinggi). Fenomena ini adalah sebuah anomali pendidikan yang diakibatkan langsung oleh perilaku korup para elit politik dan pejabat pemerintah.
Persoalan lain yang diakibatkan langsung oleh persolana kemiskinan dan pengangguran adalah maraknya generasi muda terlibat dalam jaringan pengedaran narkoba dan tidak jarang mereka juga sebagai pengguna narkoba. Persoalan kemiskinan dan pengangguran adalah salah satu faktor yang mendorong 5,9 juta generasi muda ke dalam lingkaran narkoba. Data ini merupakan salah satu bagian dari efek kejahatan korupsi.
Persoalan terakhir (bukan yang paling terakhir) adalah persoalan konflik sosial vertikal maupun horizontal. Konflik vertikal terjadi antara massa dengan para elite politik dan pejabat pemerintah pemilik kekuasaan. Konflik jenis ini terjadi terus menerus di negeri ini diakibatkan langsung dari ketidak pusan masyarakat terhadap kinerja para politisi dan pejabat pemerintah yang korup dalam tindak tanduknya.
Konflik horizontal pun terjadi di berbagaidaerah di seluruh Indonesia. Konflik ini terjadi antara massa dengan massa seperti antara organisasi masyarakat (ormas) dengan ormas lainnya, antara aliran keagamaan satu dengan aliran keagamaan lain. Konflik seperti ini akan menjadi ledakan pengahncur keutuhan negara kesatuan republik Indonesia. Tentu saja, konfil ini merupakan bagian dari ugal-ugalan para elit politik dan pejabat pemerintah mengatur rakyatnya.
Jelasnya, korupsi di negeri ini telah berlangsung secara masif hingga menjadi virus yang mematikan bagi sebuah bangsa termasuk di dalamnya korupsi melumpuhkan eksistensi rakyat dalam suatu negara, akibat korupsi rakyat tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Pada akhirnya, korupsi melahirkan banyak persoalan-persoalan sosial ekonomi sebagaimana yang didiskusikan di atas.
keganasan virus korupsi tersebut adalah alaram bagi seluruh elemen bangsa untuk turut aktif melakukan aksi-aksi nyata melawan virus mematikan tersebut melalui strategi sesuai kualifikasi dan posisi masing-masing elemen bangsa. Peran aktif elemen bangsa dalam konteks aksi tersebut adalah salah satu jalan untuk membunuh kanker ganas korupsi tersebut.
Masyarakat, misalnya, harus berupaya mengawal kinerja politisi dan pejabat pemerintah di wilayah masing-masing. Masyarakat harus turut terlibat atau mendirikan dan memperkuat komunitas-komunitas sosial politik sebagai alat perjuangan bersama (collective force) untuk melumpuhkan sel-sel virus korupsi. Tentu saja, jalan perjuangan tersebut membutuhkan pengorbanan dan keikhlasan sehingga perjuangan dapat mewujudkan capaian-capaian yang nyata (the true achievments).
Disamping masyarakat, para tokoh-tokoh politik yang masih terjaga komitmen sucinya untuk bangsa dan negara, harus kembali turun untuk menggerakan dan mengorganisir massa demi satu visi kebangsaan yakni membangun negara sehat tanpa penyakit korupsi. Saya yakin bahwa saat ini masih ada tokoh-tokoh politik yang bersih dan berintegritas, hanya saja mereka tersingkir dari pusaran politik diakibatkan ganas dan panasnya hawa kekuasaan termasuk politik korupsi. Para tokoh-tokoh bangsa (negarawan) harus kembali turut aktif demi masa depan bangsa yang lebih baik.
Intinya, Indonesia harus segera diselamatkan dari keganasan kanker korupsi. Jika tidak, maka 257,9 juta jiwa penduduk Indonesia akan terus menerus menjadi korban kanker korupsi tersebut hingga mereka tidak berdaya bersamaan lumpuhnya Indonesia sebagai sebuah negara. Hentikan kanker korupsi, bangun Indonesia.

                                                                                                        ———- ooo ————

Rate this article!
Tags: