Kapitalisme dan Industrialisasi Agraria di Madura

Judul Buku : Politik Agraria Madura; Privatisasi, Marginalisasi dan Perampasan Ruang Hidup
Penulis : A Dardiri Zubairi
Penerbit : Literatus Pustaka
Tahun Terbit : Cet. Pertama, Februari 2023
Tebal Buku : xiv+100 hlm.
ISBN : 978-623-09-1707-3
Peresensi : Muhtadi.ZL

*Peresensi kelahiran Gedangan, Sukogidri, Ledekombo, Jember, Jawa Timur. Kini, mengabdikan diri di Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk, Sumenep Jawa Timur.

Semenjak 2016, Madura timur atau tepatnya Sumenep bagian timur daya; Dungkek, Batang-Batang, Gapura dan Batuputih. Mengalami pergolakan serius perihal tanah masyarakat yang dirampas secara paksa, ataupun secara baik-baik tetapi memaksa. Sosio-kultural masayarakat akar rumput di daerah tersebut memang patut diacungi jempol, akan tetapi dengan adanya makelar yang notabene individu internal; masyarkat sekitar, menjadikan negosiasi berjalan mulus sebab pemilik tanah digiurkan dengan segumpalan uang yang tidak wajar sebagai bukti keseriusan memindah-alihkan kepemilikan tanah, yang nantinya-dengan janji yang cukup menyakinkan-jika dibutuhkan, tanah yang telah berpindah kepemilikan akan dijual kembali kepada pemilik asal. Nyatanya, hal tersebut hanya alibi manis yang sampai sekarang tiada bukti.

Realitas tersebutlah yang disoroti oleh A. Dardiri Zubairi, selaku pengamat dan aktivis ekologi dan agraria Madura, khusunya Sumenep. Dengan amat gencar, A. Dardiri Zubairi menyuarakkan perlawanan perihal tanah yang dipindah-alihkan kepemilikan secara paksa, privat disertai kelicikan orang-orang bermodal. Abitrer kaum bermodal membuat masyarakat akar rumput Madura tiada berdaya dalam melawan, mengingat backup pemodal didukung oleh pemerintah daerah, baik kota ataupun desa. Sehingga, pemilik tanah tidak bisa melakukan apa-apa mengingat permukiman masyarakat Madura di daerah tersebut scattered village. Sosio-grafis tersebut, tidak mampu mengakomodir perlawanan secara sistemik. Maka pasrah, menjadi jalan pilu yang tidak jarang selalu menjambangi masyarakat sipil Madura.

Tentu saja, problematika sosial tanah tersebut tidak begitu saja terjadi, kekuatan modal dan orotitas politik kolegeal menjadi sumbu terjadinya perpindahan kepemilikan tanah di daerah tertentu di Madura. Dari hal tersebut pula, kosmologi cara pandang masyarakat Madura terhadap tanah terkikis drastis, yang awalnya tanah menjadi jalan tersambungnya dengan leluhur, sekarang kepercayaan tersebut tiada lagi. Maka, menyoroti terbentangnya Jembatan Suramadu bukan hal muskil untuk dinukil kembali dan dikritisi. Kosmologi orang Madura tentang ‘tanah sangkol’ kini telah diremukkan oleh proyek-proyek kapitalisme yang dalam praktiknya mewujudkan diri dalam industri-industri ekstraktif di Madura. (Hal.4)

Perlawanan masyarakat Madura, menurut A. Dardiri Zubairi yang peroleh, telah melibatkan kaum perempuan turut serta. Sebab perampasan ruang hidup bagi perempuan sangat miris. Sehingga problematikan kapitalisme tersebut memaksa kaum perempuan masyakat Madura harus turun tangan dalam menyuarakkan. Seperti yang dilakukan oleh Ibu Amma (55 th) dan Azizah (35 th), dimana tanahnya berdiri tepat di tengah-tengah tambak undang, sehingga akses menuju ke tanahnya cukup sulit mengingat setiap sudutnya dikelilingi beton-beton.

Dua ibu tersebut melakukan perlawan dengan mendatangi Kantor DPRD Sumenep Komisi 2 untuk mengadukan nasib tanahnya yang malang. Akan tetapi, hal tersebut tidak mendapat tanggapan serius dari pihak pemerintahan. Sehingga tanah Ibu Amma dan Ibu Azizah hingga saat ini sudah bukan miliknya lagi, melainkan milik investor asing dimana tambak undangnya tetap beroperasi.

Hal yang dilakukan oleh Ibu Amma dan Ibu Aziaha selaras dengan perkataan KH. Muhammad Shalahuddin A. Warits, yang dikutip oleh A. Dardiri Zubairi dalam buku terbarunya, “Politik Agraria Madura; Pivatisasi, Marginalisasi dan Perampasan Ruang Hidup”, menyebutkan bahwa penguasaan lahan sepanjang pesisir adalah bentuk kekalahan Madura secara geo-politik dan geo-ekonomi. (Hal.60). Kegagalan tersebut tentu tidak boleh terulang kembali, sebab mudharat yang terjadi akan lebih besar dikemudian hari. Inilah mengapa kesadaran masyarakat Madura dalam penguasaan lahan harus benar-benar kuat.

Selain hal problem dan kasustik di atas, A Dardiri Zubairi juga membeberkan kepiluan masyarakat Madura, seperti yang banyak terjadi di daerah Dungkek dan Batang-Batang, yang hampir keseluruhan tanahnya sudah berganti kepemilikan. Ada sebagian yang masih belum disulap, meski mayoritas sudah digubah menjadi tambak. Pasca beroprasinya tambak udang Lapa Dhaja saat ini harus berhadapan dengan ancaman-ancaman ekolgis-yakni; kerusakan dan bencana lingkungan-yang kini berlangsung secara sistemik melalui perselingkuhan kekuatan modal dan kekuasaan yang menggurita ke ruang-ruang desa bahkan hingga ruang imajinasi rakyatnya. (Hal.57)

Momentum inilah yang diambil oleh A. Dardiri Zubairi, dimana bukunya memberikan informasi subjektif kepada khalayak umum, bahwa sejatinya persoalan tanah atau lahan di Madura yang selama ini berlangsung bukan terjadi begitu saja, melainkan diproses dengan cara elit dan politis yang bersetubuh dengan kekuatan modal dan kekuasaan dengan jargon megah yaitu: pembangunan, industrialisasi dan investasi. Kehadiran buku ini juga mengertak seluruh elemen masyarakat Madura dan menginformasikan hal akut dan faktual bahwa Madura sedang tidak baik-baik saja.

———- *** ———–

Tags: