Karier Melejit, Orangtua Seimbangkan Peran Asasi dan Perluasan

Reni Astuti berusaha tetap mendampingi kegiatan anak-anak di rumah di tengah kesibukan sebagai anggota DPRD Surabaya. [adit hananta]

Menempatkan Peran Keluarga di Level Tertinggi Mendidik Anak (2- Bersambung)
Kota Surabaya, Bhirawa
Sekolah hanya warung dekat rumah yang menyediakan makan siang seragam. Keluargalah yang menyiapkan sarapan dan makan malam beranekaragam. Pengibaratan ini agaknya sesuai untuk mengembalikan kesadaran orangtua terhadap perannya dalam proses tumbuh kembang anak melalui pendidikan.
Dering jam istirahat terdengar dari lorong SMAN 5 Surabaya. Para siswa berhamburan keluar kelas mengisi waktu untuk menyegarkan pikiran setelah sekitar tiga jam mengikuti pelajaran. Begitu juga dengan Aisyah Qonita, siswa kelas XI yang baru saja merampungkan materi prakarya di kelasnya. Hanya sekitar setengah jam, dia lalu kembali masuk kelas berganti jam pelajaran baru. Rutinitas seperti itu mengisi hari-harinya dengan sangat konsisten.
Pulang sekolah bukan menjadi akhir dari aktivitas belajarnya dalam sehari. Karena tak kurang dari 13 jam, Aisyah berkutat dengan buku-buku pelajaran dengan berganti-ganti guru dan tempat. Semua dilakukan demi cita-cita yang dia katakannya dengan tegas, menjadi seorang dokter. Sekolah, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, lalu kembali belajar dengan guru les privat di rumah. “Dari sekolah kadang bisa sampai jam 16.00 atau 18.00. Kemudian les sampai jam 20.00,” tutur Aisyah kemarin.
Seiring dengan kesibukan Aisyah menjadi pelajar, hari-hari orangtuanya pun dipenuhi dengan bermacam rutinitas yang sama-sama menyita waktunya. Maklum, Aisyah adalah puteri dari seorang anak anggota DPRD Surabaya yang jam kerjanya berlangsung selama 24 jam kali lima tahun. “Kadang kalau umi (ibu) sering ada kegiatan keluar kota begitu terasa sekali kehilangan. Begitu juga abi (ayah) yang bekerja wiraswasta dan sering keluar kota,” tutur dia.
Perasaan kehilangan orangtua karena kesibukan dirasakan Aisyah sejak masih kecil. Namun seiring waktu, anak pertama dari lima bersaudara ini mulai menyadari kondisi yang sedang dihadapinya. “Dulu sering merasa ditinggal, tapi sekarang saya menyadari, pekerjaan ibu itu baik dan dilakukan demi kebaikan banyak orang,” ucapnya.
Menjadi anak pertama, Aisyah pun sadar, dirinya menjadi wakil orangtua untuk ikut memperhatikan keempat adiknya. Namun, dia sendiri tak mau kehilangan perhatian dari orangtua. Karena itu, setiap hari di antara kesibukan masing-masing komunikasi terus dijalin, baik melalui pesan singkat, telepon maupun video call.
“Setiap hari pasti umi ngontrol, tanya-tanya lewat SMS, telepon atau video call. Mengingatkan salat, mengaji dan menghafal Alquran sesibuk apapun,” ungkap Aisyah.
Dari interaksi itu, Aisyah pun berhasil menghafal 22 juz Alquran. Selain itu komunikasi virtual, waktu menjelang tidur menjadi quality time bagi keduanya untuk sekadar saling berbagi cerita.
Cerita Aisyah ini menjadi potret kecil dari sekian banyak anak-anak yang mengalami kondisi serupa. Karier orangtua kerap kali menjadi tembok penghalang bagi keluarga dalam mendidik anak. Padahal, belajar di sekolah hanyalah bagian kecil dari pengalaman pendidikan seseorang. Pendapat itu diungkapkan pakar pendidikan Daniel M Rosyid dalam konsep jejaring belajar (learning webs). Jejaring belajar yang lentur dan luwes ada di tangan keluarga sebagai simpul belajar yang pertama dan utama. Pusat-pusat kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat adalah simpul-simpul belajar lainnya yang penting. Sementara sekolah hanya salah satu simpul belajar dalam Jejaring Belajar tersebut.

Tags: