Kartu Subsidi Tani

Foto Ilustrasi

Pemerintah meningkatkan upaya lebih banyak “hadir” pada sektor pertanian. Pencerahan kepedulian pemerintah diharapkan menyokong usaha ke-pertani-an, agar lebih feseable, dan menarik minat generasi muda bertani. Selama ini profesi sebagai petani masih menjadi simbol kemiskinan. Buktinya, NTP (Nlai Tukar Petani) rata-rata nasional tercatat sebesar 99,95 (berarti merugi). Petani juga masih rentan terhadap fluktuasi harga pertanian, terutama pada saat panen.
Berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik), NTP terus merosot sejak memasuki tahun 2017. Gejalanya, stok yang melimpah hasil panen raya (padi) pada bulan bulan Januari dan Pebruari. Pada dua bulan tersebut, NTP masing-masing tercatat sebesar 100,91 (Januari) dan 100,33 (Pebruari). Pada Maret 2017, NTP turun lagi sebesar 0,38. Penurunan NTP lebih mencemaskan manakala dibanding tahun 2016.
Penyebab penurunan NTP setiap tahun, sebenarnya tetap saja. Yakni, indeks harga diterima (it) sebagai hasil panen selalu lebih kecil dengan harga indeks harga yang dibayar (ib). Artinya, belanja ke-pertani-an (pupuk, benih, dan ongkos kerja) lebih besar dibanding harga jual hasil panen. Di pulau Jawa, NTP terbesar tercatat di Jawa Barat (berkisar 104,31). Peringkat kedua NTP Jawa Timur (103,95), disusul Yogya (103,40), Banten (100,49), dan Jawa Tengah (99,35). Tetapi seluruhnya menunjukkan tren menurun.
Bagi pepatah “lebih besar pasak daripada tiang.” Dengan NTP dibawah 120, pertanda usaha ke-pertani-an tidak feseable, merugi. NTP ditetapkan dengan standar harga tahun 2012. Padahal inflasi selama lima tahun (sejak 2012) telah lebih dari 20%. Tidak menguntungkan, menyebabkan minat menjadi petani semakin surut. Itu juga menjadi penyebab entengnya petani menjual lahan pertanian. Menjadi “lingkaran setan” upaya swasembada pangan.
Niscaya diperlukan kehadiran negara lebih seksama untuk melindungi sektor pertanian. Seperti negara-negara yang memajukan sektor pertanian (China, Thailand dan USA) dengan berbagai perlindungan. Antaralain subsidi pupuk, subsidi benih, serta program effisiensi dengan teknologi alat pertanian. Juga diberikan insentif pajak, sampai manajemen pemasaran hasil panen. Sehingga indeks yang dbeli petani (ib) selalu lebih rendah, dibanding indeks diterima (ib).
Indeks yang diterima petani, terasa “tidak adil” jika dibanding penghasilan usaha selip (penggilangan padi menjadi beras). Contohnya, perbandingan harga gabah kering sawah (GKS), Maret 2017 saat panen raya, nilainya Rp 4.373,- per-kilogram. Harga GKS itu turun 5,71% dibanding bulan Pebruari. Sedangkan harga beras premium di penggilingan sudah mencapai Rp 9.389,- per-kilogram. Penurunan harga hanya sekitar 0,21. Artinya, petani elalu menerima dampak lebih berat
Terdapat selisih harga antara GKS dengan harga beras sampai sebesar Rp 5.016,- per-kilo. Jika sebanyak 57% gabah kering sawah menjadi beras, maka sekitar 30% harga beras dinikmati oleh pengusaha selip. Konon, pemerintah saat ini sedang berupaya, agar petani memperoleh porsi usaha per-beras-an lebih adil. Yakni, melalui program “Kartu Tani,” yang akan diberikan kepada petani di pulau Jawa.
Lima propinsi di pulau Jawa menjadi prioritas, karena merupakan sentra pertanian. Separuh lebih petani (sekitar 13 juta jiwa) berada di Jawa. Di Jawa Timur, misalnya, sebanyak 1,3 juta petani (dari 3,5 juta keluarga) telah menerima Kartu Tani. Kelak, Kartu Tani akan dijadikan database ke-pertani-an, diakses pula ke fasilitas perbankan BUMN.
Selain untuk membeli pupuk, dan benih bersubsidi, Kartu Tani dapat digunakan mengajukan KUT (Kredit Usaha Tani). Namun sebenarnya, yang lebih dibutuhkan oleh petani, adalah kebijakan sistemik yang melindungi usaha ke-pertani-an. Terutama kepastian harga hasil panen yang lebih “adil” dan stabil, serta perlindungan asuransi manakala terjadi puso.

                                                                                                                       ——— 000 ———

Rate this article!
Kartu Subsidi Tani,5 / 5 ( 1votes )
Tags: