Karut-marut Percaturan Politik Kita

Oleh :
Abd. Rasyid
Mahasiswa Studi Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Santri Ma’had Darus-sunnah

Kontestasi politik yang dikemas dalam bentuk Pemilihan Umum (Pemilu) telah memasuki fase baru. Setidaknya setelah diadakannya debat kedua Pilpres antara Jokowi dan Prabowo kemarin (17/2), publik memiliki gambaran dan penilaian terhadap gagasan keduanya, dalam membayangkan Indonesia di masa depan. Sekurang-kurangnya tentang tata bentuk progres Indonesia dalam lima tahun kedepan.
Debat Pilpres kemarin memberikan banyak ketegangan pada muka publik. Antar pendukung keduanya, alih-alih memuji gagasan dari calon dukungannya, pada ujungnya yang dilakukan adalah menjungkalkan lawan politiknya. Sebuah pertunjukan yang tidak patut dipertontonkan pada publik.
Belakangan ini, publik seakan terbawa arus pada rivalitas antara keduanya. Kalau tidak Jokowi ya Prabowo, kalau tidak cebong ya kampret. Seolah-olah Indonesia ini hanya milik Jokowi dan Prabowo. Sehingga yang dihasilkan setelah selesainya debat kedua kemarin bukan adu gagasan, tetapi adu cacian dan makian. Realitas semacam inilah yang mengambarkan betapa carut-marutnya percaturan dunia politik di Indonesia.
Pertunjukan lain yang mengindikasikan goresan dari tidak keruannya politik di Negara ini adalah getolnya masalah uang politik (Money Politics) yang biasanya disebar untuk menambah pundi-pundi suara dari masing-masing calon. Tidak kalah maraknya dengan mahar suara, agamapun menjadi sasaran empuk dari ekspansi pencarian suara para calon politik. Hal ini ditandai dengan adanya politisasi terhadap simbol-simbol dalam agama. Seperti yang diistilahkan oleh Masduri, simbol agama biasanya digunakan untuk menguatkan politik identitas masing-masing figur calon.
Mahar Suara
Dalam realitas hidup, menang dan kalah adalah hal biasa yang kerap menyertai sesak-pengapnya perjalanan kehidupan seseorang. Ibarat dalam pertandingan final sepak bola, harus ada satu tim yang dipermalukan pada publik, bagaimanapun caranya, entah dengan adu taktik skill, pengaturan skor laga ataupun bermain kasar, intinya harus ada tim yang terkapar dan menangis di lapangan. Begitupun dalam dunia politik ada intrik-intrik licik yang dipermainkan oleh aktor didalamnya untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Kekalahan kerap kali membuat tindakan seseorang tidak terkontrol dengan baik. Kekalahan selalu melahirkan konotasi makna derita, nestapa, dan sengsara. Sehingga pada puncaknya kondisi seperti inilah yang membuat manusia menjadi pribadi liar yang bertindak sembarangan. Jika ditarik dalam ranah politik, hal yang dilakukan untuk mengantisipasi kekalahan adalah melalui mahar suara, atau dalam bahasa sarkasnya disebut dengan “Menabur uang untuk membeli suara yang banyak”.
Pertanyaannya, mungkinkah kita berpolitik tidak menggunakan uang? Di era sekarang, segalanya acuannya adalah uang. Seperti yang di ungkapkan dalam bahasa bijak (yang rasanya kurang terlihat bijak), uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Memang sulit membayangkan politik tanpa uang. Bayangkan saja, betapa banyaknya biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon untuk membuat baliho yang sedemikian banyak, guna menyesaki ruang publik di samping jalan dengan gambar pencalonan dirinya. Ditambah lagi dengan biaya kampanye, biaya saksi di Tempat Pemungutan suara (TPS), dan biaya kegiatan lainnya. Jika dikalkulasi secara keseluruhan tentu semuanya membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Di sisi lain, tokoh-tokoh politik yang terjun dalam kontestasi politik praktis dihadapkan pada problem dilema antara memberi mahar untuk mendapatkan suara ataupun tidak. Seperti ungkapan Fahri Hamzah memberi uang ada kemungkinan bisa dipilih dan tidak dipilih, tidak memberi uang kemungkinannya hanya satu yaitu tidak dipilih. Inilah problem mendasar yang membuat para calon politik praktis merasa dilema untuk memilih diantara salah satunya.
Pada saat sekarang, mengharapkan politik tanpa menggunakan mahar suara adalah harapan yang bersifat ilusif. Meminjam istilah Masduri, masyarakat kita pada umumnya tidak siap secara pendidikan untuk menjatuhkan pilihannya pada rasionalitas dan hati nuraninya. Ditambah lagi dengan kondisi sosial ekonomi setiap harinya yang kurang mendukung.
Dalih Agama
Manipulasi lain yang tak kalah larisnya dengan mahar suara adalah praktek politisasi agama. Dalam hal ini agama seolah menjadi tempat strategis yang kerap rentan menjadi sasaran praktek politisasi para elit politik untuk menambah jumlah massa suara dukungannya.
Sudah menjadi hal yang lumrah, penggunaan ranah agama sebagai arena dalam kontestasi politik mempunyai dampak yang sangat besar untuk menarik perhatian publik. Berdasarkan kajian psikologisnya, hampir bisa dipastikan kecondongan untuk berpihak kepada pemimpin yang seiman dan seagama sulit untuk dihindari. Setidaknya mereka akan berusaha untuk menetapkan pilihannya pada orang-orang yang memiliki ideologi dan pemahaman yang selaras dengan dirinya.
Agama sebagai ruang personal setelah masuk pada ranah dunia politik cakupannya berubah lebih luas menjadi ruang komunal yang akan membawa seseorang terbawa pada arus kecondongan dan kecenderungan untuk memilih calon tertentu yang seiman dengannya, tanpa melakukan banyak pertimbangan.
Oleh karenanya pilihan terbaik yang harus diputuskan oleh pihak publik (rakyat) untuk menentukan pilihan kandidatnya pada 17 April nanti adalah didasarkan pada kualitas, kapabilitas, dan elektabilitas yang dimiliki oleh masing-masing calon untuk memimpin negara Indonesia selama lima tahun kedepan. Pada puncaknya, baik Jokowi-Ma’ruf ataupun Prabowo-Sandi yang nantinya akan keluar sebagai pemenang tidak memberikan kesan paradoksal terhadap lawan politiknya dan tidak menimbulkan rasa menyesal pada pihak yang mendukungnya. Semoga saja!

——- *** ——–

Rate this article!
Tags: