Kasus OTT Ade Yasin, Ambisi WTP Berujung Penjara

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Korupsi FISIP Univ Wijaya Kusuma Surabaya, Penulis buku : Demokrasi, Korupsi, dan Keadilan (2021)

Setelah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan pemeriksaan selama 24 jam, akhirnya KPK menetapkan beberapa tersangka, baik dari jajaran pemerintah Kabupaten Bogor maupun dari pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat. Dari pemerintah Kabupaten Bogor, di antaranya; Bupati Kabupten Bogor, Ade Yasin, Kasubid Kas Daerah BPKAD Kabupaten Bogor, Ihsan Ayatullah (IA) dan Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Bogor, Maulana Adam (MA). Sementara dari perwakilan BPK Jawa Barat; Kasub Auditorat Jabar III/Pengendali Teknis BPK Perwakilan Jawa Barat, Anthon Merdiansyah; Ketua Tim Audit Interim Kabupaten Bogor, Arko Mulawan; serta dua pemeriksa pada BPK Perwakilan Jawa Barat, Hendra Nur Rahmatullah Karwita dan Gerri Ginajar Trie Rahmatullah.

Dalam keterangan persnya, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, KPK menetapkan Ade Yasin dan tujuh tersangka lainnya terkait dengan kasus suap-menyuap. Sang Bupati Ade Yasin berkeinginan agar Kabupaten Bogor dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan tahun anggaran 2021 kembali mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Unqualified Opinion. Ade Yasin menyadari bahwa dalam salah satu laporan keuangan di Dinas PUPR ada banyak masalah (disclaimer) yang nilainya puluhan milyar. Untuk mengamankan pemeriksaan BPK atas laporan keuangan Pemda Kabupaten Bogor tahun 2021 agar beropini WTP bisa diraih kembali, diduga sang bupati, dkk menyuap para pemeriksa BPK. Uang suap yang diamankan sebesar Rp 1 milyar lebih.

Bukan Fenomena Baru

Apa yang dilakukan atau yang terjadi di Pemerintah Kabupaten Bogor, bukanlah sesatu yang baru. Praktek kotor para pejabat Pemda yang berambisi mendapatkan predikat WTP dalam laporan keuangannya dari BPK dengan cara instan kerapkali terjadi. Jika laporan keuangan tahunannya “bersih” kenapa harus risih dan melakukan praktek kotor dengan menyuap para pegawai BPK. Jika pejabat daerah, kepala daerah dan jajarannya, mengelola keuangan dengan baik dan atas prinsip clean and good governance, maka tidak ada alasan apapun melakukan tindakan kotor (baca; korupsi) untuk mendapatkan opini WTP.

Puncak dari kerja dan kinerja pengelolaan keuangan daerah adalah penilaian LHP BPK. Setiap daerah kabupaten/kota dan propinsi pasti menginginkan dan sangat berharap LHP dari BPK atas kinerja keuangan daerahnya berbuah manis dan mendapat penilaain yang terbaik. Setidaknya ada empat kriteria penialian, yakni kesesuaian dengan standart akuntansi; kecukupan pengungkapan (adequate disclosures); kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; dan efektivitas sistem pengendalian intern. Atas empat krieria tersebut, BPK mengeluarkan empat jenis opini (mulai yang terbaik sampai penilaian terburuk sesuai urutan) atas pengelolaan keuangan daerah, yakni Unqualified Opinion atau Wajah Tanpa Pengecualian (WTP); opini qualified opinion atau Wajar Dengan Pengecualian (WDP); Opini Tidak Wajar (adversed opinian); dan penyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion)

Setiap daerah pasti berharap dan berkeinginan mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Pengecuaalian (WTP). Ketika mendapatkan “raport” dari BPK dengan opini WTP, hampir sebagian besar daerah menyambutnya suka cita, bahwa kinerja keuangan daerahnya sangat bagus, dan yang saking gembiranya, sebagian mereka salah kaprah dalam memaknai opini WTP, bahwa pengelolaan keuangannya sudah bagus dan bebas dari tindak penyimpangan atau bahkan korupsi. Mereka berharap dengan opini WTP, ada efek ekonomi yang bisa diperoleh daerah yakni, reward dari pemerintah pesat berupa kepercayaan yang begitu tinggi, yang dibalas dengan penambahan dana alokasi khusus dan umum (DAK dan DAU). Akan tetapi, apakah dengan memperoleh opini WTP dengan begitu tidak ada penyimpangan atau bebas korupsi?

WTP ? Bebas Korupsi

Meskipun berpredikat WTP, bukan berarti laporan keuangan daerah tersebut bersih dari penyelewengan dan bahkan korupsi. Selain itu, prestasi seperti itu sebenarnya bukan prestasi yang luar biasa. Sebab, predikat itu hanyalah predikat yang wajar, dan wajar berarti biasa saja. Kualitas penyelenggarakan yang wajar seharusnya menjadi standar minimal bagi pelaksanaan APBD, dan bukan menjadi standar yang maksimal sehingga seolah-olah menjadi capaian prestasi yang luar biasa. Karena itu LHP BKP tersebut patut kita cermati dan kritisi secara lebih objektif dan proporsional.

Saat ini sudah cukup banyak daerah kab/kota dan propinsi yang mendapatkan predikat WTP, tapi kok kepala daerah atau pejabatnya terkena kasus korupsi. Sebagai contoh Kabupaten Sleman, tahun 2016 Kabupaten Sleman pernah mendapatkan predikat WTP untuk kinerja APBD 2015. Kabupaten Bayuasin juga pernah mendapatkan opini WTP, tapi juga kena kasus korupsi, termasuk Pemprop Jatim; tahun anggaran 2013 mendapat penilaian WTP, tapi BPK menemukan adanya dugaan penyelewengan anggaran di dua instansi senilai Rp 50 milyar, yakni Biro Perekonomian (Rp 29 milyar), dan Biro Sumber Daya Alam (Rp 21 milyar). Bahkan tahun-tahun sebelumnya, laporan keuangan pemerintah Kabupaten Bogor dari BPK selalu mendapat predikat WTP.

Selain itu, fakta menunjukkan, berdasarkan data KPK, tindak pidana korupsi berdasarkan profesi/jabatan selama 2004-2019, terdapat 369 kasus yang melibatkan pelaku dari lembaga eksekutif, 255 kaasus yang melibatkan anggota DPR/D, dan 52 kasus yang melibatkan pelaku dari lembaga yudikatif. Sementara, berdasarkan data Kemendagri, sejak penerapan otonomi daerah, sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala daerah terseret kasus hukum. Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah. Daerah yang pejabat daerahnya terkena kasus korupsi, sebagian besar juga daerahnya mendapatkan predikat WTP. Dari fakta ini, semakin menegaskan bahwa ternayata tak ada jaminan bagi daerah maupun kepala daerahnya yang meraih WTP, terbebas dari kasus korupsi. Mengapa demikian, karena pemeriksaan BPK lebih mengejar aspek formil daripada materiil, dan BPK mengaudit secara acak atau pakai sistem sampling, kemudian dikeluarkan opini. Karena pakai sampling, potensi “mempermainkan” sampling pun sangat terbuka; hanya sampling-sampling yang baik-baik saja yang dipakai, karena itu wajar jika keluarnnya WTP.

Karena itu, mestinya pemerintah daerah tidak terjebak pada perburuan opini WTP semata, karena akuntabilitas keuangan daerah yang ditunjukan dalam LHP BPK baru sebatas kewajaran formil-adminsitratif, yaitu pemenuhan kebutuhan untuk menyajikan dan mengungkap laporan keuangan serta keterandalan sumbernya. Sementara masalah efektivitas dan dampak alokasi anggaran terhadap tingkat kesejahteraan warga masyarakat masih harus mendapatkan kajian dan perhatian bersama.

Terpentiang dari sekedar WTP adalah bagaimana pengelolaan keuangan daerah dapat meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat dengan indikator kuantitatif dan kualitatif yang kredibel, yakni angka kemiskinan dan pengangguran menururn, pertumbuhan ekonomi yang inklusif, IPM yang meningkat, disparitas wilayah yang semakin mengecil, dan ketimpangan pendapatan masyarakat (indeks gini) yang semakin mengecil.

———- *** ———–

Tags: