Kasus Pencemaran Limbah PT PRIA, Komisi D Akan Kroscek ke Kementerian LHK

DPRD Jatim, Bhirawa
Komisi D DPRD Jatim akan melakukan kroscek ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terkait hasil analisis sampel air tanah di Lakardowo Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto yang dinyatakan tidak terdeteksi tercemar oleh limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) milik PT. Putra Restu Ibu Abadi (PRIA).
“Upaya ini kami lakukan karena masyarakat Desa Lakardowo masih melakukan penolakan dan menuntut supaya aktivitas PT PRIA dihentikan,” ujar Ketua Komisi bidang Pembangunan DPRD Jatim, Edy Paripurna usai menggelar hearing dengan manajemen PT PRIA dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jatim, Senin (19/9).
Menurut politisi asal PDIP, indikasi parameter pencemaran yang menyebabkan gatal-gatal warga berdasarkan hasil analisis itu tidak ada korelasi dengan air tanah. Namun diindikasikan berasal dari kegiatan di permukaan tanah seperti peternakan yang lokasinya berdekatan dengan sumber air penduduk.
“Kami juga menyarankan PT PRIA terus produksi sambil melakukan human relation terhadap warga yang melakukan penolakan dan menunggu hasil kroscek ke Kementerian LHK,” kata mantan wakil Bupati Pasuruan ini.
Ia juga mengakui, kalau kasus Lakardowo ini akan berpengaruh terhadap rencana pembuatan tempat pengolahan limbah B3 Pemprov Jatim di Dawar Blandong Mojokerto seluas 50 hektar yang masih dalam proses pembebasan lahan.
“Rencana pengolahan limbah B3 milik Pemprov di Dawar Blandong Mojokerto itu nantinya bisa bersinergi dengan PT PRIA yang belum memiliki Sanitary Landfiil sehingga limbah padat B3 Jatim tak usah dibawa ke Cilingsi Bogor,” harap Edy Paripurna.
Senada, Diah Susilowati perwakilan BLH Jatim mengatakan bahwa Jatim sangat membutuhkan perusahaan pengolahan limbah B3. Sebab hingga saat ini Jatim belum memiliki padahal produk limbah B3 Jatim mencapai 19,4 juta ton per tahun atau 1,6 juta ton per bulan.
“Sesuai rencana, lokasi tempat pengolahan limbah B3 yang dikehendaki Pemprov Jatim adalah di Dawar Blandong Mojokerto seluas 50 hektar dan sudah dianggarkan APBD 2016 sebesar Rp.50 miliar namun dalam PAK dikurangi tinggal Rp.18 miliar,” beber perempuan berjilbab ini.
Sementara itu Direktur PT PRIA, Luluk menyatakan bahwa pihaknya sudah merealisasikan tuntutan warga berdasarkan hasil kesepakatan di Kantor Kecamatan Jetis 23 Oktober 2013 silam, meliputi melokalisir limbah yang saat ini sudah tertimbun agar tak berimbas terhadap lingkungan sekitar.
Bahkan jika dikemudian hari terjadi dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan operasional pabrik, maka pihaknya akan bertanggungjawab secara penuh walaupun perusahaan sudah beralih kepemilikan. “Agar tidak memunculkan kecurigaan dan penyelewengan, warga juga berhak melakukan pengawasan terhadap operasional perusahaan,” dalih Luluk.
PT PRIA, tambah Luluk juga memberikan kompensasi kepada dua dusun yang ada di sekitar perusahaan, berupa uang sebesar Rp.25 juga per tahun ke Dusun Kedung Palang dan Rp.10 juta per tahun ke Dusun Sumber Wuluh, serta Rp.25juta per tahun ke Desa Lakardowo. “Perusahaan kami resmi beroperasi sejak 2014 lalu, tapi sebelum itu tentu sudah ada aktivitas untuk melakukan uji coba atas perijinan yang dimohon ke pemerintah,” jelasnya.
Manajer Development PT PRIA, Christin menyatakan bahwa perusahaan ini hanya mengolah limbah B3 menjadi batako, bata merah dan kertas daur ulang. Sedangkan sisanya dikirim ke Cilingsi Bogor karena belum memiliki Sanitary Landfiil (penimbunan tanah). “Kapasitas PT PRIA saat ini mampu memproduksi 380 ribu picis per hari. Setiap picis bobotnya adalah 2,5 kg,” ungkapnya.
Ia juga tidak membantah kalau penolakan warga itu ada kaitannya dengan pihak-pihak tertentu yang kurang senang dengan kegiatan PT PRIA. Sehingga apapun hasil uji analisis Kementerian LHK maupun BLH Jatim terkait dugaan pencemaran yang dilakukan PT PRIA selalu ditolak. “Kami juga bingung Mas, ini hasil analisis Kementerian lho kok masih disalahkan,” pungkas Christin. [Cty]

Tags: