Kasus Reynhard dan Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti

Oleh :
Nurudin
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Kasus Reynhard Sinaga menyita perhatian banyak pihak. Tidak saja bagi pemerintah Inggris, tetapi yang terkhusus adalah pemerintah Indonesia. Tentu ada banyak sudut pandang dalam memahami kasus tersebut. Kasus ini pun tidak bisa berdiri sendiri akibat dari kejadiannya saja. Kasus itu justru menjadi cambuk apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?
Kasus Reynhard punya tali temali yang kuat sebelum dan setelah kejadian. Ada banyak pihak yang ikut bertanggung jawab. Tentu saja ada beragam perspektif dalam melihat kejadian tersebut.
Lihat saja bagaimana sudut pandang antara media Inggris dan Indonesia dalam memberitakan kasus itu. Media Inggris fokus pada proses dan dampak yang dilakukan Reynhard. Tetapi media Indonesia justru sibuk dengan pernik-pernik yang mengitari kasusnya.
Belajar Dari Reynhard
Reynhard Sinaga berasal darai keluarga kaya. Maka, hampir segala kebutuhan finansial dan materialnya terpenuhi. Bagaimana tidak? Ia masih berumur 36 tahun sudah bisa menempuh pendidikan doktor di luar negeri. Sesuatu yang sangat mungkin mewah bagi orang seumuran itu. Karena segala kebutuhannya selalu terpenuhi, maka tugasnya menjalankan sesuai keinginan diri dan orang tuanya. Tugasnya hanya belajar.
Kaitannya dengan sekolah, ia hanya perlu belajar tekun untuk lulus dengan baik. Soal uang dan sebagainya tidak ada masalah. Orang tuanya bisa memenuhinya dengan berlebih. Ia juga tidak perlu lagi berpikir bagaimana susahnya orang tua mencari uang. Sebagai pelajar dan mahasiswa ia tidak juga berpikir jam berapa ia harus mencuci pakaian. Jam berapa ia harus bergaul dengan teman-temannya. Pokoknya secara materi ia hampir terpenuhi semuanya.
Ia tidak perlu bersusah-susah jika stress memikirkan kuliahnya. Ia tinggal menghubungi orang tua. Semua akan terpenuhi. Ia bisa jalan-jalan untuk mengatasi stressnya. Ia tidak perlu berpikir bermain dengan teman-teman sebayanya yang sebenarnya berguna untuk kedewasaannya nanti. Ia cukup berada di rumah. Segala kebutuhan sudah bisa dipenuhi dengan teknologi yang dimilikinya.
Sementara itu, pelajar dan mahasiswa lain tak seberuntung dia jika dikaitkan dengan kebutuhan materi. Ada yang harus berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bagaimana menelola keuangan sebulan yang pas-pasan agar mencukupi. Apa yang harus dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan setiap bulannya. Apakah dia harus kuliah sambil bekerja? Ia juga harus bergaul dengan banyak orang untuk memenuhi kebutuhannya. Intinya, ia harus pandai berlatih mengelola banyak hal.
Mahasiswa umum juga harus dengan giat mempersiapkan masa depannya. Misalnya dengan ikut organisasi. Mengapa? Agar dia bisa mempunyai jaringan yang siapa tahu memudahkan dirinya untuk mendapatkan dunia kerja nantinya. Ia harus mulai membangun jaringan itu sejak kuliah. Mereka ini sudah berpikir ke masa datang. Apa yang harus dilakukan. Semua harus dilakukan dengan giat dan penuh perhitungan. Juga, menyesuaikan dengan budget anggarannya. Sekali lagi, ini kondisi yang memang tidak enak tetapi berguna bagi masa depannya.
Sementara itu anak orang yang cukup tak pernah berpikiran seperti itu. Ia cukup kuliah saja. Masa depannya pun bisa diserahkan ke orang tua karena kaya atau punya jaringan banyak. Ia tidak perlu bersusah payah mempersiapkan masa depannya.
Individu sebagaimana Reynhard itu tentu tidak akan berpikir keras. Jika di rumah, ia tak perlu peduli dengan pekerjaan orang tuanya, tetangganya, atau saudaranya yang lain. Pekerjaan di rumah bisa dikejakan oleh pembantu rumah tangga. Jika ia sakit tinggal memanggil dokter keluarga.
Cambuk Bagi Pendidikan Kita
Kasus Reynhard itu menyadarkan pada kita bahwa orang tua dan guru perlu untuk mengingatkan pada anak didiknya bahwa bersusah-susah itu sangat berguna untuk melatih dirinya di masa datang. Orang tua tak harus memanjakan anaknya hanya untuk memberikan keleluasaan anak untuk belajar. Jika ini terjadi, maka anak hanya akan pintar dalam pelajaran tetapi tidak cerdas secara sosial.
Coba kita lihat di selitar kita. Adakah orang sukses itu dihasilkan oleh anak-anak yang dimanjakan? Anak manja tidak dibiasakan untuk tahan banting, ulet dan pantang menyerah. Guru dan juga dosen sering keras pada mahasiswa bukan karena kejam. Mereka mengajari agar anak didiknya menjadi generasi yang kuat di masa datang.
Kasus Reynhard juga menyadarkan pada pemerintah bahwa sistem pendidikan kita ada yang kurang tepat. Anak didik selama ini hanya berurusan dengan hafalan. Coba kita lihat bagaimana tersiksanya anak-anak sekolah. Mereka harus sekolah dari pagi sampai sore. Belum lagi ketika mereka diberikan pekerjaan rumah oleh gurunya. Model pendidikan seperti ini memberikan peluang anak didik hanya berurusan dengan belajar.
Kapan mereka bermain dengan teman sebaya yang berguna untuk mengasah kepekaan sosial? Jika model pendidikan seperti ini, sepuluh atau dua puluh tahun mendatang kita akan menghasilkan “Reynhard-Reynhard” di masa datang. Kita sedang menumbuhkembangkan mental dan pola pikir “Reynhard” dalam diri anak didik. Bukan pada kasus perkoasan yang dilakukan Reynhard, tetapi kurangnya kedewasaan mental dan psikologis.
Saatnya kita kembali ke pendidikan budi pekerti. Ini bisa dimulai oleh orang tua, guru, dosen dan yang ikut memengaruhi anak didik. Sistem pendidikan harus diubah dengan tidak memberikan banyak beban pada siswa. Siswa harus punya peluang bersosialisasi dengan masyarakat.
Ada baiknya apenekanan bahwa pendidikan soal adab dan akhlak itu lebih penting dari sekadar menuntut ilmu pengetahuan. Pentingnya menghorhati guru itu pelajaran adab yang saat ini sudah hilang karena kepercayaan yang berlebihan pada teknologi. Padahal bertemu dan belajar dari guru tak semata-mata soal pengetahuan saja, tetapi belajar soal adab dan soft skill yang lain. Inilah tantangan dan pentingnya pendidikan budi pekerti dalam sistem pendidikan kita. Ini juga pekerjaan rumah kita semua. Tentu pemerintah pun wajib membuat kebijakan ke arah itu.
———– *** ————

Tags: