Kasus Victor dan Ujian Polri

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya, Direktur Parliament Wacth Jatim

kalau tidak kita yang bunuh ya kita yang dibunuh duluan’ itu salah satu”. Itu adalah sebagian cuplikan pernyataan yang mengandung ujaran kebencian dan permusuhan terhadap sesama anak bangsa yang keluar dari mulut anggota dewan yang terhormat, Victor Laiskodat. Selain itu, anggota dari partai Nasdem itu juga menyebut, Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat, sebagai partai pendukung ekstrimis, pendukung khilafah dan anti Pancasila. Pernyataan yang dismpaikan pada 1 agustus 2017 lalu di acara partai di NTT tersebut menuai kecaman dari publik, termasuk dari empat partai yang disebut. Pernyataan tersebut dinilai terlalu gegabah dan penuh dengan kebohongan.
Kemarahan ke empat partai yang disebut Victor diekspresikan dengan langkah-langkah yang beradab, yakni sesuai jalur hukum. Gerindra, PKS, dan PAN melaporkan kasus ketua Fraksi Nasdem DPR RI tersebut ke pihak kepolisian. Para pengacara ketiga partai tersebut menilai pernyataan Victor tersebut mengandung unsur kebencian dan permusuhan, dan karenanya mengandung unsur pidana, terutama pasal 56 KUHP. Karena itu, tanpa ada pengaduan pun, sebenarnya pihak kepolisian bisa memproses secara hukum kasus Victor.
Awalnya, dengan sikap prasangka baik, publik, dan terutama ketiga partai yang melaporkan Victor ke pihak kepolisian dapat di proses secara hukum dan harus mempertanggungjawabkan ucapan dan pernyataannya secara hukum. Namun, prasangka baik itu sepertinya berubah menjadi prasangka buruk. Hal ini menyusul ada informasi pihak Bareskrim Polri, yang menyatakan kasus Victor tidak dapat diproses secara hukum, karena faktor hak imunitas sebagai anggota dewan sebagaimana diatur dalam pasal 224 Undang-Undang No. 17 tahun 2014 tentang MD3.
Jika benar ada SP3 dan menganggap pernyataan Victor sebagai sesuatu yang biasa dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum karena hak imunitas, maka ini akan menjadi preseden buruk.Selain itu, ini akan sangat berbahaya jika semua Anggota DPR berlindung pada hak Imunitas ketika yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum.
Kasus Serupa, Perlakuan Beda
Jika kita lihat secara objektif pernyataan Victor, ditambah lagi dengan jurisprudensi pada kasus sejenisseperti kasus hukum Jonru, Alfian Tanjung, dan beberapa kasus yang sebelumnya ramai., seharusnya tidak ada alasan bagi pihak kepolisian untuk tidak memproses hukum Victor. Pada kasus Jonru dan Alfian Tanjung serta kasus sejenisnya lainna yang menimpa orang-orang biasa dengan delik pasal ujaran kebencian, pihak keopolisian begitu semangat mengusut dan memproses secara hukum, bahkan begitu semangatnya, pihak kepolisian langsung menangkap dan menahan Jonru dan Alfian Tanjung. Mengapa terhadap kasus Victor perlakuan sangat berbeda. Dalam hal ini pihak kepolisian sangat begitu lambat mengusut kasus Victor, apakah dalam penegakan hukum ada menu jalur lambat dan jalur cepat, dan itu disebabkan karena faktor pelakunya?. Bahkan tidak saja lambat, tapi juga lebih melukai rasa keadilan masyarakat.
Prinsip equality before of the law dalam penegakan hukum ternoda dengan perlakuan berbeda dalam proses penegakan hukum. Selain mengandung unsur pelanggaran pidana, pernyataan Victor juga sangat jelas mengandung unsur pelanggaran etik sebagai pejabat negara. Pernyataan Victor adalah ujaran yang sangat tidak pantas, mengandung kebencian, permusuhan, kebohongan, dan menyerang harkat dan martabat kelompok lain, merusak rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap dan ucapan Victor juga telah merusak marwah, harkat dan martabat DPR RI.
Karena itu, Victor tidak hanya harus memepertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum dihadapan penegak hukum, tapi juga dihadapan pengadilan etik di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). MKD DPR harus mengadili pelanggaran etik yang dilakukan Victor. Jangan sampai kasus Victor menguap begitu saja, seperti kasus-kasus pelanggaran etik anggota dewan yang lainnya. Untuk menjaga marwah kelembagaan MKD, Pengadilan etik harus tetap ditegakkan kepada setiap anggota dewan, tak kecuali Victor.
Ujiaan Polri
Kasus Victor bukanlah kasus yang rumit, tetapi sangat sederhana. Pihak kepolisian tidak perlu “berkeringat” untuk memproses kasus hukumnya. Dugaan tindak pidananya terang benderang, dasar pelanggaran hukumnya (pidana) juga, dan bukti-bukti dan saksinya juga ada dan jelas. Tidak alasan hukum bagi pihak kepolisian untuk melambat-lambatkan proses hukumnya. Ini menjadi ujian sekaligus pertaruhan integritas hukum dan profesionalitas bagi polisi, apakah akan terus memproses kasus victor atau akan menghentikan (melalui SP3 dengan alasan hak imunitas)?.
Jangan sampai hukum bertindak berbeda ketika berhadapan dengan orang-orang penting negeri ini. Jangan sampai orang-orang penting atau elit yang melakukan pelanggaran hukum dan memiliki akses politik-kekuasaan, menjadi sulit tersentuh hukum (untouchable)?. Hukum menjadi tumpul ketika berhadapan dengan mereka. Jika benar ini semakin mengonfirmasi apa yang ungkapan diungkapkan oleh Anarcharsis, Filsuf Yunani pada abad 7 SM: “Hukum itu adalah jaring laba­laba, ia hanya mampu untuk menjaring orang­orang miskin, tetapi tidak mampu menjaring orang­orang kaya dan punya kuasa. Bahkan oleh orang­orang kaya dna punya kuasa, jaring laba­laba itu akan dirobek­robek olehnya”
Kredeo hukum “equality before law” nyata tidak berlaku dalam kasus “orang elit” sepertinya tidak berlaku. menurut aktivis sosial, Eko Prasetyo, dalam tulisannya tentang Brengseknya Pendidikan Hukum Kita, mengatakan kredo hukum tersebut hanya sekedar macan kertas dan ahistoris. Batal bukan saja karena tak mencerminkan kenyataan, melainkan juga penuh dengan manipulasi. Siapa yang pernah berurusan dengan hukum dan aparatnya akan mengerti kalau pernyataan itu sesat. Persisnya, semua orang itu tak sama di hadapan hukum. Kelas sosial lebih menentukan bagaimana orang berurusan dengan hukum dan bagaimana hukum bekerja. Yang terjadi justru hukum bekerja laiknya pedang; tajam ke bawah, tumpul ke atas.

———– *** ———–

Rate this article!
Tags: