Kawin Muda Jadi Penyebab Stunting Tinggi di Jatim

Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Hikmah Bafaqih

Surabaya, Bhirawa
Fenomena kawin muda menjadi salah satu penyebab angka stunting di Jatim tinggi. Usia ayah dan ibu yang masih terlampau muda membuat risiko gagal pada pertumbuhan anak.
Tingginya prevalensi stunting di Indonesia yakni 27,7 persen dan Jatim masih bertengger di angka 26,9 persen. Hal ini menunjukkan masalah kesehatan masih menjadi permasalahan yang cukup serius.
Stunting sendiri merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama. Hal ini mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Tak hanya itu, juga berdampak buruk pada aspek kognitifnya.
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jatim, Sukaryo Teguh Santoso mengungkapkan bahwa fenomena kawin muda menjadi salah satu penyebab angka stunting tinggi. “Kenapa stunting masih tinggi, karena adanya fenomena kawin muda dan angka kelahiran tinggi juga berpengaruh,” ungkapnya saat dikonfirmasi Bhirawa, Selasa (26/1) kemarin.
Hal ini disampaikan Sukaryo pasca Presiden Joko Widodo menunjuk BKKBN sebagai ketua pelaksana program luar biasa penanganan stunting di Indonesia. Hal ini diputuskan usai rapat kabinet terbatas di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 25 Januari 2021, kemarin.
Pihaknya pun masih menunggu arahan lebih lanjut dari BKKBN pusat. Namun demikian, kata Sukaryo, terkait penunjukan tersebut nantinya akan dibahas pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada 27 Januari 2021 yang dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo. “Tentunya, nanti ada pembahasan terkait stunting juga, ya,” ulasnya.
Disamping itu, BKKBN Jatim, lanjut Sukaryo menyampaikan bahwa upaya penanggulangan stunting sudah dilakukan. Masing-masing sektor sudah ada program terkait penanggulangan stunting di Jatim. “Semua sektor sudah melakukan, untervensinya program,” jelasnya.
Dalam lima tahun terakhir, sambung dia, sifatnya masih sektoral. Hal ini dimaksudkan bahwa semua sektor masih melakukan program-program untuk menanggulangi stunting. “Beberapa perguruan tinggi juga sudah melakukan riset,” tambahnya. “Sekarang ini diperlukan sinergi bukan sektoral lagi, tapi sebuah kelompik kerja yang dimonitor secara bersama-sama,” imbuh Sukaryo.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Hikmah Bafaqih menegaskan bahwa penanganan stunting di Jatim dilakukan oleh lintas sektoral. Sebab, stunting tidak hanya menyangkut kesehatan, tapi juga perubahan perilaku. “Stunting itu menjadi program yang diintervensi lintas sektoral. Jadi, hampir semua lintas OPD di Jatim itu juga dibebani menangani stunting,” katanya.
Bukan hanya dibebankan pada Dinas Kesehatan, lanjut Hikmah, Kementerian Agama juga harus menekankan edukasi kepada calon pasangan suami istri (Pasutri). “Pola edukasi yang diberikan kepada masyarakat untuk mencegah stunting ini tidak bisa dibebankan hanya pada Dinas Kesehatan. Kemenag juga bisa menekankan edukasi kepada calon pasutri. Jadi ada banyak jalur yang dilakukan,” jelas Politisi asal PKB ini.
Dijelaskan Hikmah bahwa ada banyak bayi lahir stunting terjadi karena banyak faktor. Salah satunya yakni faktor tradisi dalam pengasuhan dan faktor kurangnya pemahaman akan gizi. “Banyak bayi-bayi lahir stunting itu terjadi karena salah pemahaman, salah asupan, kurang telatennya ibu-ibu muda,” pungkasnya. [geh]

Tags: