Ke-bandit-an Pembakar Lahan

Karikatur pembakar hutan (10Diperkirakan sebanyak 50 juta warga pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, terpapar dampak kabut asap. Bukan hanya penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yang diderita, melainkan sudah menyebabkan korban jiwa. Indonesia darurat kabut asap, dengan ratusan titik api, dengan hamparan ratusan hektar. Ini (darurat kabut asap bukan) bukan gejala alam, melainkan kebanditan terhadap lingkungan hidup.
Pemerintah sampai mengerahkan personel TNI gabungan untuk memadamkan api. Juga menyiagakan kapal perang untuk meng-evakuasi warga terdekat areal yang terbakar. Istimewanya, sebelum operasi (pemadaman) dimulai, didahului dengan shalat istisqo’, doa minta hujan segera diturunkan. Sebab, pengerahan pesawat untuk water bomber, tidak akan mencukupi. Hanya hujan (dari langit) yang bisa mengalahkan kobaran api yang terlanjur meluas.
Pesawat water bomber, hanya sekadar cara mengurangi luas areal yang terbakar. Itupun bagai sirkuit adu cepat dengan pembakaran lahan di tempat lain. Selanjutnya, niscaya diperlukan cara lebih sistem untuk mencegah kebakaran lahan dan hutan. Termasuk dengan paradigma fisika botani. Yakni, penanaman pohon yang difungsikan sebagai penyimpan air. Sekaligus me-lokalisir kebakaran agar tidak merembet semakin jauh.
Niscaya pula, diperlukan penegakan hukum. Bukan sekadar dengan “pedang” UU Nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Tetapi juga mesti dianggap extra-ordinary court, disejajarkan dengan terorisme. Sebab, lingkungan yang sehat merupakan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam UUD. Pada pasal 28H ayat (1) dinyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik.”
Karena sebagai hak asasi, maka kondisi lingkungan hidup yang baik juga senantiasa harus di-audit oleh pemerintah. Sebagaimana UU PPLH  pasal 1 angka ke-28 menyatakan:  “Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha … terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.”
Aksi teror pembakaran lahan dan hutan, setidaknya telah rutin terjadi sejak 15 tahun terakhir. Selama itu pula masyarakat, terutama di Sumatera dan Kalimantan, menderita. Bahkan negeri tetangga (Singapura dan Malaysia) sudah beberapa kali protes, akibat kabut asap. Tetapi penyelesaian oleh pemerintahan bagai buka-tutup lubang. Gejalanya makin meningkat. Itu disebabkan lemahnya penegakan hukum.
Ternyata bukan hanya penegakan hukum yang lemah. Konon pembakaran lahan juga direkomendasikan untuk dijadikan tanaman industri. Misalnya untuk kelapa sawit, karet atau tanaman lain untuk pabrik kertas. Sebagian perusahaan  milik konglomerasi. Sebagian lain (yang lebih besar), dimiliki oleh bandit-bandit sebagai “sediaan.” Tujuannya, sekadar rente memburu keuntungan. Sebab, areal yang sudah dibakar, harganya akan melonjak sejuta persen!
Faktanya, tanah hutan liar yang semula tak bernilai, setelah dibakar menjadi terang benderang, harganya menjadi Rp 100 juta per-hektar. Tak jarang, kerabat tetua adat setempat turut menjadi beking. Transaksi jual-beli lahan yang sudah terang benderang, siap usaha, biasanya minimal 20 hektar. Tidak seluruh lahan yang berupa hutan liar dibakar. Sebagian juga ditebang untuk diambil kayunya. Jadi, keuntungan bandit pembakar lahan ber-lapis-lapis, tanpa pertanggungjawaban pula.
Pemerintah (terutama korps penegak hukum), mesti segera bertindak cepat. Berdasar data pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mayoritas (sekitar 70%) lahan yang dibakar, merupakan milik korporasi. Inilah yang mesti dijejaki lebih cermat tentang data kepemilikan. Perlu pula bekerjasama dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), untuk menjejaki arus transaksi keuangan tersangka pembakar lahan dan pemilik lahan.
Pembakaran lahan, mestilah dipahami sebagai korupsi dengan modus pencurian disertai pemberatan (curat). Berlapis-lapis ancaman hukumannya. Hanya diperlukan keberanian pemerintah.

                                                                                                                       ——— 000 ———

Rate this article!
Tags: