Ke-guyub-an Lintas Bahasa dan Agama

(Ruang Publik Manusiawi Adat Bersendi Syara’)

Oleh :
Yunus Supanto
Penggiat Dakwah Sosial Politik

Setiap hari. Segera setelah terbit fajar di cakrawala, jam 04:00, di seluruh daerah di Indonesia terdengar lantunan adzan subuh. Bahkan sebelumnya, telah terdengar shalawatan, dan puji-pujian meng-agung-kan Ilahi, dengan bahasa daerah maupun bahasa Arab. Tak terkecuali di Bali, dan NTT (Nusa Tenggara Timur), serta Papua Barat, dan Papua, juga terdengar adzan. Walau sayup-sayup yang digemakan dari masjid di ibukota propinsi. Bagai “lomba” adzan, lima kali sehari.
Tiada satupun negara di jazirah Arab yang memiliki ke-meriah-an udara dengan semarak lantunan adzan seperti di Indonesia. Bahkan pada saat maghrib, seluruh radio dan televisi (milik swasta maupun pemerintah), merasa wajib mengumandangkan adzan. Padahal tiada daerah yang memiliki Perda (Peraturan Daerah) berdasar syar’i (keagamaan Islam). Tetapi kebesaran (ke-mayoritas-an) Islam di Indonesia, tiada yang meragukan.
Pergaulan internasional juga mengakui Indonesia sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Terbukti dari kuota haji setiap tahun, lebih dari 220 ribu jamaah calon haji diberangkatkan ke tanah suci. Pendaftar haji harus bersabar antre sampai 20 tahun. Lama menanti haji, banyak muslim Indonesia memilih “haji kecil” (umroh). Agar segera bisa segera mencium Ka’bah, dan mengunjungi makam Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Rombongan umroh Indonesia (selama tahun 2018) sudah lebih dari 1 juta orang. Lebih lagi ibadah tahunan (shalat Idul Fitri, dan Idul Ad-ha). Jamaah meluber sampai ke jalan. Yang istimewa, ibadah tahunan bertautan rekat dengan budaya. Pada setiap Idul Fitri, selalu diiringi dengan halal bihalal. Secara harfiah, halal bihalal, berarti saling memaafkan. Berlanjut saling mengunjungi tetangga sesama muslim. Hampir setiap rumah muslim menyediakan jamuan menyambut tamu.
Uniknya, umat yang beragama Kristen, Katolik, Hindi, dan Budha, turut menyemarakkan halal bihalal. Mendatangi tetangga muslim untuk mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri. Bahkan Idul Fitri, menjadi periode belanja paling sibuk sepanjang tahun. Tiada omzet penjualan yang melebihi saat Idul Fitri! Terutama penjualan aneka sandang dan pangan.
Adat budaya perayaan Idul Fitri, tidak dikenal di jazirah Arab (kecuali shalat Idul Fitri). Halal bihalal, dan belanja pakaian, hanya ada di Indonesia. Adat budaya yang menyertai Idul Fitri telah berlangsung ber-abad-abad silam. Diajarkan oleh Wali Sanga (pendakwah abad ke-14), yang seluruhnya ulama keturunan Kanjeng Nabi SAW (disebut habaib). Kelak, metode (dan pelaksanaan) ajaran Islam hasil ajaran Wali Sanga, disebut sebagai “Islam Nusantara.”
Adat Bersendi Syara’
Pemahaman Islam Nusantara, tidak “menghunus pedang” terhadap budaya. Bahkan meng-kreasi dakwah agama melalui altar budaya. Menjadi adat bersendi syara’. Hikmahnya, Islam dianggap pribumi, begitu pula pribumi identik dengan Islam. Begitu pula tahun baru Islam (1 Muharram Hijriyah) menjadi “milik” pribumi, setelah diubah menjadi 1 Syuro. Dirayakan di seantero Nusantara, berupa Grebek Sura. Digelar di lingkungan keraton di Ternate, Lombok, Deli Serdang, Sulawesi, dan Kalimantan.
Hidup bersama lintas bahasa dan agama pada periode, semakin tergaransi, menjadi keseharian. Adat bersendi syara’ menjadi keniscayaan. Seluruh ulama sebenarnya telah mengerti keniscayaan itu melalui Al-Quran, dalam berbagai asbabun-nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Diantaranya dalam surat Al-Kafirun (tentang kebebasan beragama). Serta jaminan harmoni ragam agama dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat ke-69 (QS 5:69).
Juga terdapat surat Al-Hujurat ayat ke-13 (QS 49:13), di-firman-kan, “Wahai Manusia, Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa … .”
Berdasar pe-makna-an ahli tafsir, asbabun nuzul, surat Al-Hujurat ayat ke-13 berisi ajaran HAM (Hak Asasi Manusia). Yakni, berkait dengan lantunan adzan oleh Bilal r.a., bekas budak berkulit hitam, yang diprotes beberapa orang. Pesannya, diajarkan tidak membedakan manusia berdasar ras, dan kepangkatan sosial. Sekaligus persaudaraan umat manusia seluruhnya. Karena berasal dari satu pasang manusia (Nabi Adam a.s., dan Ibu Hawa r.a.).
Harmoni dalam kehidupan sosial (ruang publik) menjadi pesan utama dakwah pasca Wali Sanga. Tiada olok-olok kafir maupun label musyrik diberikan kepada tokoh-tokoh adat. Kecuali pelaksanaan adat yang menyimpang (sihir, pesta minuman keras, dan perzinahan bebas), diubah perlahan. Japa mantra diselipi syair-syair indah, dengan bahasa daerah yang elok. Bukan dengan bahasa Arab. Isinya meng-agungkan hakikat kemanusiaan.
Dakwah agama (Islam), biasa disiarkan dengan bahasa daerah. Beberapa istilah kosa kata Arab diganti dengan frasa kata daerah. Misalnya, kata shalat diganti dengan sembahyang. Serta kata mushalla diganti dengan langgar, atau surau. Bahkan sebutan “Allah” diganti dengan Pengeran (dengan huruf e). Nyaris mirip dengan kata Pangeran (dengan huruf a) yang bermakna penguasa (raja).
Adat Sebagai Syari’at
Bahasa sebagai ruang pergaulan publik, sudah penuh dengan ajaran agama (Islam) namun tidak berbahasa Arab. Misalnya, puncak ajaran ke-sufi-an tentang “Ihdatul Wujud,” di Jawa dikenal sebagai “manunggaling kawula gusti.” Begitu juga peraturan adat telah bersendi syara’ tetapi tidak ber-label Islam. Pengajaran substansi agama, bukan melalui simbol-simbol idiom. Melainkan melalui syair-syair (sehingga enak di dengar), dan keteladanan.
Ajaran agama (Islam) tanpa simbol idiom berbahasa Arab, nampaknya menapak-tilas datuk buyutnya, yakni Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin negeri, Kanjeng Nabi Muhammad SAW, perlu menerbitkan konstitusi. Maka diterbitkan watsiqah Madinah. Sering pula disebut shahifah atau Piagam Madinah. Dalam shahifah yang terdiri dari 47 pasal, tidak terdapat kata “Islam,” maupun “Al-Quran,” atau “Muhammad.”
Konstitusi Madinah, diterbitkan untuk melindungi seluruh penduduk. Warga Madinah saat itu terdiri dari Muslim (kaum muhajirin asal Mekah, muslim asli Madinah), Yahudi, dan Nasrani. Konstitusi berisi monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), keadilan (seperti sila kedua Pancasila), persatuan sosial (seperti sila ketiga), bela negara dan pelestarian adat (mirip sila keempat), serta persamaan hak dan keadilan (seperti sila kelima Pancasila). Juga perdamaian dan proteksi warga Madinah (seperti mukadimah UUD 1945 alenia ke-empat).
NKRI tanpa label agama (Islam) namun memiliki tatanan budaya bersendi syariat sangat kuat. Tergambar pada berbagai adat pesta rakyat. Sebaliknya banyak gerakan ber-label dakwah keagamaan, malah menimbulkan konflik pada masyarakat. Termasuk gerakan pemurnian agama, mesti dicermati. Meng-kafir-kan, menuduh bid’ah dan musyrik pada kelompok lain, walau se-agama. Menimbulkan konflik internal umat beragama.
Hal yang sama juga terjadi pada kelompok agama selain Islam. Tak jarang, dakwah keagamaan juga ber-altar pemerasan ekonomi terhadap anggota komunitasnya. Selain menimbulkan fanatisme dan radikalisme, juga sering memicu kegaduhan sosial. Bentrok sesama umat, antar-masjid, bentrok antar-gereja, sampai bentrok kelenteng, dan persaingan vihara, sering terjadi. Radikalisme tidak sesuai dengan budaya keagamaan yang terbangun kokoh di Indonesia.
Ulama “pewaris” Wali Sanga memahami benar, pengertian (dan pelaksanaan) syari’ah, bukan sekadar jargon, dan retorika. Melainkan suasana moralitas, dan keguyuban sosial dalam pelaksanaan ajaran agama. Tanpa kegaduhan. Sebaliknya setiap gagasan label syari’ah, akan selalu memicu perdebatan. Karena ushul fiqih (metodologi syari’ah) memiliki banyak percabangan.
Dalam kaidah ushul fiqih juga memiliki adagium, yakni al-‘adat muhakkamh (bahwa peraturan adat merupakan bagian dari hukum yang harus diakui). Sehingga adat adalah (peraturan) syari’at. Segala bentuk peraturan dengan berbagai sebutan, syari’at, regulasi, maupun adat, wajib menjadi peta jalan menjamin hak-hak publik.
——— *** ———

Rate this article!
Tags: