Keadilan Pendidikan dan Zonasi Sekolah

Oleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang 

Belakangan ini pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy kembali menegaskan, aturan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Detailnya, secara legalitas hukum dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017, artinya sekolah harus menerima 90 persen peserta didik dari daerah sesuai zona terdekat (sistem zonasi) yang diatur oleh daerah masing-masing. Sedangkan, 10 persen dialokasikan untuk dua kategori, yaitu 5 persen bagi peserta didik berprestasi dan 5 persen lainnya bagi peserta didik perpindahan antardaerah atau luar negeri.
Peraturan tersebut dipertegas untuk diterapkan untuk memberantas kastanisasi di antara sekolah-sekolah. Artinya, semua sekolah baik di kota maupun di daerah mesti menjadi sekolah favorit. Sekarang, pertanyaan buat kita bersama adalah mungkinkah Indonesia yang sudah puluhan tahun yang sudah mengenal sekolah favorit dan bukan favorit melalui upaya pemerintah yang berupaya menghapus pemeringkatan itu dengan sistem zonasi. Apakah akan berhasil?
Sebenernya, secara pribadi usulan Mendikbud sangatlan bagus, karena bagaimanapun diterapkannya system zonasi merupakan untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan dan menghilangkan status sekolah favorit atau bukan. Setiap sekolah diharuskan menerima minimal 90 persen siswa dari area sekitarnya, dan hanya 5 persen kuota untuk calon siswa dari luar zona.
Keadilan sekolah
Kebijakan zonasi ini, jika kita cermati diharapkan mampu memutus ketimpangan kualitas pendidikan yang jamak terjadi di berbagai sekolah di Tanah Air. Harapannya, sistem zonasi mampu memutus sekat sekolah favorit dan sekolah pinggiran. Pasalnya, selama ini justru yang lebih banyak terjadi peserta didik yang berlomba-lomba ingin belajar di sekolah favorit. Bahkan, seperti kita ketahui bersama selama ini orangtua sangat bangga kalau anaknya diterima di sekolah favorit. Sedangkan, nasib sekolah pinggiran hanya “dianggap” sebagai sekolah buangan dari peserta didik yang tidak diterima di sekolah favorit. Imbasnya, sekolah pinggiran tidak diminati dan mau tidak mau harus bekerja keras agar tidak kehilangan peserta didiknya.
Di sisi lain, kebijakan zonasi ini perlu kita ketahui bersama tengah menyimpan dilema tersendiri dalam aplikasinya. Secara teoritis kebijakan zonasi yang digadang-gadang menjembatani keterpurukan sekolah pinggiran ini justru tidak efektif. Berikut ini, berusaha saya paparkan ketidakeefetifan dibalik rasionalitas kebijakan zonasi yang kita gadang-gadang jawaban dari keadilan atau kesamaan pemberlakuan perserta didik dari tempat wilayah tempat tinggalnya.
Pertama, momok syarat aturan administasi. Artinya, siswa di Indonesia dibebani dengan kurikulum yang sangat berat. Peraturan mengenai zonasi menjadi beban tambahan ketika mereka lulus, karena hasil belajar dengan kurikulum yang berat itu ternyata tidak menjamin bisa bersekolah sesuai pilihan karena problem aturan.
Kedua, Mendikbud tidak konsisten terhadap kebijakan yang telah ditetapkan. Fakta tersebut, bisa dibuktikan melalui pemberlakuan sistem zonasi yang diluncurkan beberapa waktu lalu dinodai oleh kebijakan baru Kemendikbud yang tidak konsisten. Kenyataan tersebut terlihat jelas saat PPDB sedang berlangsung, secara mendadak Mendikbud meluncurkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2017 bahwa daerah yang sudah melakukan PPDB sebelum kebijakan zonasi diluncurkan, boleh melanjutkan kebijakan sebelumnya yang telah berlangsung. Ketidakonsistenan Permendikbud tersebut justru membuka ladang kecurangan praktisi pendidikan. Dikhawatirkan, sekolah akan berbondong-bondong memalsukan data PPDB yang seharusnya mengikuti sistem zonasi dengan kebijakan lama yang dianggap lebih menguntungkan.
Ketiga, memperuncing tindakan kecurangan di kalangan orangtua. Artinya, orang tua yang bisa dibilang kaya bisa menitipkan nama anaknya di Kartu Keluarga (KK) saudaranya yang tinggal di sekitar sekolah favorit. Semua itu, bisa saja terjadi pasalnya seperti kita ketahui bersama bahwa sekolah favorit selama ini didambakan oleh peserta didik juga turut meninggikan gengsi orangtua.
Keempat, kebijakan zonasi bisa menjadi acaman serius sekolah swasta alias memperpuruk nasib sekolah swasta. Artinya, kebijakan zonasi yang diberlakukan di sekolah negeri turut memperkeruh nasib sekolah swasta. Pemberlakuan kebijakan ini secara masif akan mengosongkan peserta didik di bangku sekolah swasta. Terlebih lagi, bagi sekolah yang notabene memang kesulitan mencari peserta didik. Sekolah negeri favorit dan mudah dijangkau oleh masyarakat di sekitar inilah yang menjadi ancaman serius bagi sekolah swasta. Tanpa kebijakan zonasi saja sekolah swasta sudah bingung mencari peserta didik, apalagi bener-bener diberlakukan system zonasi. Bisa jadi malah justru yang terjadi sekolah swasta akan gulung tikar. Sekiranya, ini juga pekerjaan rumah pemerintah yang perlu disiapkan.
Merujuk dari keempat analisis saya diatas, terkait ketidakeefetifan dibalik rasionalitas kebijakan zonasi yang kita gadang-gadang sebagai jawaban dari keadilan atau kesamaan pemberlakuan perserta didik dari tempat wilayah tempat tinggalnya. Rupanya, tidak semudah yang kita harapkan bisa teraplikasi atau terimplementasi secara ideal. Seperti yang saya analisis. Jadi rupanya banyak kendala dan intriks-intriks negative yang bisa saja terjadi dilapangan dalam prakteknya.
Jadi idealnya, kemungkinan-kemungkinan negative yang bakal terjadi dilapangan haruslah kita antisipasi melalui tindakan pemerintah melalui Mendikbud dengan mengevaluasi kebijakan zonasi ini. Khususnya, masalah klasik terkait sarana dan prasarana yang kurang memadai. Sehingga antara sekolah favorit dan sekolah pinggiran dapat bersaing jika ditunjang dengan kualitas sarana dan prasarana yang mendukung dan merata. Selain itu, guru profesional juga harus disebar secara merata agar mampu mendorong kualitas pendidikan. Untuk itulah, kebijakan zonasi harus dijalankan sebagaimana mestinya, namun dengan catatan sistem zonasi sudah dipersiapkan secara matang dan tidak terburu-buru. Jadi intinya, evaluasi kebijakan zonasi harus dikaji kembali oleh Kemendikbud.
Baru jika semua itu bisa terpenuhi, kebijakan zonasi dilajutkan kembali penerapannya. Saya nyakin dan percaya betul niat dari Bapak Muhadjir Effendy, sebagai Mendikbud sangatlah baik. Karena, pada dasarnya kebijakan zonasi ini merupakan ide kebijakan yang mendorong terwujudnya sekolah berkualitas dan merata. Bahkan jika teleksik lebih mendalam kebijakan zonasi ini merupakan bagian dari amanah Pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 : “…….memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, secara pribadi pada dasarnya saya sepakat dengan diberlakukannya kebijakan zonasi.

————- *** —————

Tags: