Keaksaraan Bermula di Keluarga

wahyu kuncoro snOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Pendidikan merupakan proses sistematis dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan merupakan tuntutan yang harus dilakukan oleh setiap warga Negara. Pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan pendidikan secara eksplisit dicantumkan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, dalam skala nasional pendidikan berada dalam posisi yang sangat strategis. Namun demikian, di beberapa daerah masih mudah ditemukan kasus rendahnya melek aksara masyarakat. Realitas ini mencerminkan masih belum terlayaninya pendidikan keaksaran bagi seluruh lapisan masyarakat.
Umumnya masyarakat yang tidak melek aksara menghadapi banyak kendala dalam memenuhi kebutuhan hidup termasuk kegiatan ekonomi keluarga. Data Bappenas 2013 menunjukkan bahwa faktor ekonomi (tidak ada biaya/bekerja mencari nafkah) menjadi alasan utama seseorang tidak bersekolah, putus sekolah, dan/atau tidak melanjutkan sekolah. Hal ini sangat terkait dengan tidak terbukanya akses secara merata dan berkeadilan bagi masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang layak dan nota bene dijamin oleh undang-undang, yang kemudian juga diikuti oleh tidak memadainya perlindungan/jaminan negara terhadap masyarakat miskin untuk meyelenggarakan hidupnya secara layak, termasuk memperoleh pendidikan yang layak. Maknanya, meningkatkan kemampuan membaca dan menulis dengan huruf latin dan berhitung serta berketerampilan  dengan kemampuan Calistung (membaca menulis menghitung) memungkinkan mereka dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari hari.
Beberapa Persoalan
Persoalan penyandang buta aksara, sebenarnya merupakan masalah klasik dan usang. Dari dulu, persoalan itu selalu muncul seiring dengan gegap gempitanya pembangunan. Berbagai program dan upaya telah dilakukan, namun hasilnya belum seperti yang diharapkan. Penyandang buta aksara masih saja menjadi batu sandungan bagi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Salah satu indikator yang menentukan tinggi rendahnya kualitas SDM adalah Human Development Indek (HDI). Kualitas sumber daya manusia Indonesia masih tergolong rendah, setidaknya dilihat dari peringkat HDI yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2013 yang masih berada pada urutan 121 dari 186 negara.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan penuntasan buta aksara sebagai salah satu prioritas pembangunan pendidikan, yaitu mempercepat peningkatan angka melek aksara penduduk 15 tahun ke atas. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan pembangunan nasional diarahkan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Dengan demikian, pendidikan keaksaraan sesungguhnya bertujuan meningkatkan kualitas taraf hidup dan kehidupannya.
Kusnadi dkk. (2005) mengemukakan bahwa pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menerapkan berbagai inisiatif, proses-proses, dan hasil-hasil kajian tentang program pemberantasan buta aksara secara lebih proporsional dengan memperhatikan kelemahan dan keberhasilannya, namun angka buta aksara tidak kunjung tuntas. Bahwa kondisi ini bisa jadi disebabkan oleh faktor adanya perbedaan ukuran tentang kebutaaksaraan. Dulu, seseorang dapat dikatakan bebas dari buta aksara apabila yang bersangkutan telah dapat membaca dan menulis nama dan alamatnya sendiri. Sekarang orientasi tersebut bergeser ke arah yang lebih luas, yakni tidak hanya sekitar mampu membaca dan menulis dan alamat sendiri, tapi lebih luas dari kedua kemampuan tersebut, yakni bebas buta aksara dan angka, bebas buta bahasa Indonesia, bebas buta pengetahuan dan pendidikan dasar.
Dalam perkembangan selanjutnya, definisi dan tujuan keaksaraan adalah dalam rangka mengembangkan kemampuan seseorang untuk menguasai dan menggunakan keterampilan baca-tulis-hitung, kemampuan berpikir, kemampuan mengamati dan menganalisis untuk mecahkan berbagai permasalahan kehidupan dengan mendayagunakan potensi yang ada disekitarnya.  Persoalan berikutnya adalah masih adanya perbedaan paradigma tentang istilah keaksaraan dengan program pemberantasan buta aksara. Dewasa ini, keaksaraan diartikan secara luas sebagai pengetahuan dasar dan keterampilan dasar dan keterampilan yang diperlukan oleh semua orang. Sementara pengertian pemberantasan buta aksara menurut Depdiknas (2005) adalah program layanan PLS untuk mendidik penduduk buta aksara dengan prioritas usia 10-44 tahun, agar dapat membaca aksara dan angka latin serta bahasa Indonesia sederhana yang dapat dijadikan bekal dalam pergaulan sehari-hari, dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi yang memenuhi syarat.
Keaksaraan di Keluarga
Harian The New York Times dalam edisi Selasa (24/6/2014) menyajikan tulisan yang menarik terkait pentingnya keaksaraan di dalam keluarga. Dalam salah satu artikelnya menyebutkan organisasi yang menghimpun para dokter di Amerika (American Academy of Pediatric) mengungkapkan bahwa membacakan kepada anak-anak pada usia tiga tahun pertama akan meningkatkan kosakata dan keterampilan komunikasi lainnya. artikel ini lantas menyarankan agar Para orangtua menyuarakan bacaan kepada bayinya. Di samping diminta untuk memberi air susu ibu dan melakukan imunisasi, para dokter juga menyarankan para orangtua untuk membacakan kepada bayi mereka sejak lahir.
Bahwa apa yang direkomendasikan American Academy of Pediatrics tersebut menegaskan betapa pentingnya memberikan pendidikan keaksaraan awal pada bayi.  Sebelumnya, organisasi ini juga telah mengeluarkan rekomendasi agar para ibu menyusui bayi menjauhikan anak-anak dari layar (televisi, komputer, atau tablet) sampai setidaknya anak berusia dua tahun.
Bagi orangtua berpendidikan tinggi yang suka membacakan puisi dan bermain (musik karya) Mozart kepada anak-anak mereka saat masih dalam rahim, dianggap telah menjalankan rekomendasi ini. Tetapi penelitian menunjukkan, orangtua yang tidak membacakan untuk anak-anak mereka sesering yang disarankan peneliti dan para pendidik, akan menjadi sesuatu yang menyulitkan bagi anak dalam proses pengembangan keterampilan prakeaksaraan.  Keterampilan ini dianggap dapat membantu anak-anak sukses saat mereka masuk sekolah.
Membaca, sebagaimana juga berbicara dan bernyanyi, dipandang sebagai bagian penting dalam meningkatkan jumlah kata yang didengar anak-anak di tahun-tahun awal kehidupan mereka. Hampir dua dekade lalu, sebagaimana hasil studi yang sering dikutip, menemukan bahwa anak-anak usia tiga tahun dari kalangan orang kaya, telah mendapatkan jutaan kali lebih banyak kata-kata dari orangtuanya dibanding anak-anak dari orangtua yang kurang berpendidikan, dan orang tua berpenghasilan rendah. Anak-anak yang mendengar kata-kata lebih banyak, akan memberi keuntungan berbeda saat mereka masuk sekolah. Penelitian baru ini menunjukkan, kesenjangan dini ternyata telah muncul saat anak berusia 18 bulan.
Menurut survei kesehatan anak yang dilakukan Pemerintah Amerika Serikat, 60 persen anak-anak dari keluarga dengan pendapatan berada 400 persen di atas ambang kemiskinan telah mendapatkan bacaan sejak mereka lahir sampai usia 5 tahun, dibandingkan sekitar sepertiga dari anak-anak dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara terhadap orang tua dari semua tingkat pendapatan yang telah memberikan smartphone dan tablet untuk bayi mereka, yang hanya memahami bagaimana mereka menggeser halaman tanpa memahami isinya, upaya membaca keras kepada anak-anak dapat menjadi usaha yang sia-sia.
Di atas itu semua, penanganan krisis multi dimensi yang tidak kunjung berkesudahan sejatinya berujung pada permasalahan bagaimana penyelenggaraan pendidikan mampu meningkatkan ketahanan dan ketangguhan masyarakat. Suatu bangsa akan berhasil dalam pembangunannya secara ‘self propelling’ dan tumbuh maju apabila telah berhasil memenuhi minimum jumlah dan kualitas dalam pendidikan penduduknya. Mengembangkan keaksaraan yang tepat di lingkungan keluarga adalah salah satu upaya penting untuk menyemaikan pendidikan yang bermanfaat bagi generasi yang akan datang.
——————– *** ——————–

Rate this article!
Tags: