Keamanan dan Kenyamanan Lingkungan

Yunus Supanto(Memperingati Hari Anak Nasional ke-7)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat suatu gedung yang dinamakan Darul Farah (Gedung Kegembiraan), tidak akan masuk gedung tersebut kecuali orang-orang yang senang membuat anak-anak gembira.”
(Hadits riwayat Ibnu Addi dari Sayyidah Aisyah r.a)
“Bau tubuh anak-anak adalah sebagian dari angin surga,” begitu pesan Rasulullah SAW, dalam riwayat hadits yang lain. Ajaran tersebut, sangat patut menjadi orientasi orangtua, guru (SD) dan seluruh  masyarakat, untuk meningkatkan perilaku kasih sayang. Setidaknya pada peringatan hari anak nasional (23 Juli).  Khususnya pada aspek peng-asuhan anak oleh orangtua. Karena ibu merupakan “sekolah” awal setiap anak.
Secara psikologis, core paradigma anak, adalah kedamaian dan kegembiraan. Tiada kedamaian yang lebih hebat dibanding berdekatan dengan orangtua. Dan tiada kegembiraan yang melebihi mendengar kata-kata ibu. Bermain, merupakan kegembiraan kedua anak-anak yang diperoleh mulai ber-sosialisasi dengan lingkungan sekitar. Namun dalam proses sosialisasi, anak-anak belum mengerti benar aspek keamanan (diri).
Maka itulah (keamanan) yang menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah. Seluruh tempat, terutama di kampung, di sekolah dan di tempat hiburan, juga di mal dan pusat perbelanjaan, wajib menjadi “kawasan layak anak.” Dibutuhkan definisi tentang  “kawasan layak anak,” lebih komprehensif. Terutama upaya (aksi) nyata pemerintah mewujudkan lingkungan yang menjamin tumbuh kembang anak secara baik.
Sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, bahwa anak memiliki hak asasi yang melekat, wajib diwujudkan oleh penyelenggara negara. Dalam UUD pasal 28B ayat (2), dinyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Sehingga, KLA (Kawasan Layak Anak) seharusnya menjadi prioritas seluruh pemerintah daerah.
Tetapi kenyataannya, sistem dan upaya perlindungan anak belum memadai. Kekerasan pada anak semakin memprihatinkan, dengan berbagai modus. Hingga tindak pidana cyber-crime (17%), juga melibatkan anak. Yang paling memprihatinkan, lebih separuh kekerasan pada anak terjadi pada masalah peng-asuhan. Ini sudah diluar nalar pikiran sehat kemanusiaan. Orang terdekat anak-anak yang seharusnya melindungi, malah menjadi pelaku kekerasan! Tren ini semakin meningkat.
Kriminalitas Anak
Tahun (2016) ini, kekerasan pada anak mencapai puncak dengan terutangkapnya kasus perkosaan sekaligus pembunuhan yang dialami oleh (almarhumah) Yuyun di Rejanglebong, Bengkulu. Seluruh orangtua tersentak berita perkosaan begilir (oleh 14 pemuda) sekaligus pembunuhan itu. Korbannya gadis remaja. Sedangkan pelakunya remaja pria, salahsatunya masih berusia 15 tahun. Berita dari Rejanglebong itu menjadi sorotan internasional.
Bahkan beberapa pakar anak-anak yang dibawahkan oleh PBB, UNICEF (United Nations International Childrens Emergency Fund), juga mengarahkan pandangan ke Rejanglebong. Ada apa dengan perubahan sosial anak-anak di Indonesia? Serentetan kejahatan berat terhadap gadis belia, seolah-olah terjadi sambung-menyambung. Ini perkosaan terkejam di dunia! Disertai pembunuhan keji, jasad korban ditelantarkan.
Dunia anak berduka dan marah! Hukuman apa yang bisa ditimpakan kepada pelaku? Wajib berlapis. Perkosaan, penganiayaan, dan pembunuhan berencana. Walau pelakunya tergolong tergolong remaja belia, namun diperlukan syok terapi hukum. Pelaku remaja belia, memang akan terhindar dari hukuman maksimal (mati) maupun hukuman seumur hidup. Tetapi bisa dihukum 20 tahun, dengan tambahan hukuman kebiri (potong libido).
Sebelumnya juga terjadi ke-keji-an (walau tanpa perkosaan) dialami oleh Engeline, di Bali. Pulau “dewata” yang seharusnya nyaman untuk anak, ternyata tidak ramah. Sehingga di tempat lain, patut diduga lebih tidak nyaman untuk anak. Terbukti (kejadian lebih keji) dengan terungkapnya kasus Putri Nur Fauziyah, di Jakarta Barat. Serta tragedi Amelia, yang terjadi di dalam kelas SD Negeri di Kendal (Jawa Tengah).
Kekerasan terhadap anak, terutama anak perempuan, makin meningkat. Tahun (2014) lalu terjadi 5066 kasus. Tahun 2015 meningkat 18,5% menjadi 6006 kasus. Rinciannya, sebanyak 3160 kasus kekerasan terhadap anak terkait pengasuhan, 1764 kasus terkait pendidikan, 1366 kasus terkait kesehatan dan NAPZA, dan 1032 kasus cyber crime dan pornografi. Per-angka-an ini merupakan potret situasi ke-gawat-an kriminal anak.
Anak-anak, bukan hanya menjadi korban, melainkan juga menjadi pelaku tindak kekerasan pada teman sebaya. Tetapi penegakan hukum terhadap tindak kekerasan seksual pada anak masih menggunakan KUHP. Hukumannya tak seberapa, sehingga menyebabkan banyak kasus serupa terulang. Padahal Indonesia telah memiliki undang-undang yang lebih lex-specialist. UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah cukup memiliki peraturan, termasuk sanksi pidana.
Penguatan Perlindungan
Meski belum memadai dalam implementasi aksi, UU Perlindungan Anak setidaknya bisa menjadi “tongkat” penuntun ke arah kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota). Pada tataran pemerintahan, telah dibentuk institusi perlindungan anak. Yakni KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Komnas Anak. Beruntung kedua instutusi cukup getol memperjuangkan hak-hak anak, terutama keamanan dan garansi tumbuh kembang anak.
Bahkan KPAI menganggap telah terjadi situasi ke-darurat-an perlindungan anak. Karena berbagai kasus terjadi diluar nalar kemanusiaan. banyak tindak kriminal yang dialami anak. Karena itu ke-seksama-an perhatian terhadap sistem perlindungan anak, menjadi sangat urgen, strategis dan kritis. Diperkirakan jumlah anak di Indonesia mencapai 30-an persen total jumlah penduduk, atau sebanyak 85 juta-an. Memang bukan hal mudah.
Kekerasan pada anak bukan hanya berupa kejahatan seksual. Melainkan juga, yang sangat menonjol adalah eksploitasi anak serta kekerasan fisik  Di berbagai area urban, banyak anak dipaksa orangtuanya menjadi pengemis atau pengamen. Di perkotaan, taman-taman kota masih banyak pengemis mengajak anak,  sebagai trik iba. Juga masih banyak pengemis berusia sekolah (5 tahun sampai 12 tahun), termasuk mengemis di bus antar-kota.
Seharusnya, Polda (dan Dinas LLAJ) me-warning kru bus agar tidak menaikkan pengemis dan pengamen. Sebagaimana kereta-api kini telah bersih dari pengamen dan pengemis. Ini sekaligus untuk mengaman dan menyamankan perjalanan dengan angkutan umum. Penegakan hukum (yang membuat jera), dapat menjadi alat  untuk memutus mata-rantai sindikat yang mendalangi kejahatan anak. Dalam sebulan telah terjadi tindak kekerasan pada anak sebanyak 80 kasus (itu hanya modus seksual).
Maka tak cukup hanya mengandalkan polisi, karena jumlah aparatnya tidak banyak. Keterbatasan polisi sudah diantisipasi oleh UU. Diantaranya melalui pasal 20, yang menyatakan seluruh komponen bangsa dinyatakan memiliki kewajiban dan tanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Namun, harus ada yang dibebani secara khusus mengurus perlindungan anak. Pada pasal 59 kewajiban itu dibebankan kepada pemerintah dan lembaga negara.
Berdasar UUD, dan UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, niscaya menuntut konsekuensi. Yakni, harus dibuat berbagai program lintas sektoral untuk perlindungan anak, terutama “peta” rawan kejahatan terhadap anak. Biasanya, lokasi rawan berada di daerah kantong-kantong kemiskinan. Syukur pula, aparat ketertiban masyarakat (Polisi di tiap Polres) juga telah memiliki unit Perlindungan Perempuan dan Anak. Berdasar UU dan unit yang terstruktur, penegak hukum bisa lebih intensif mencegah, serta memburu pelaku.

                                                                                                             ——— ***  ———

Rate this article!
Tags: