Kearifan Lokal Benteng Penangkal Radikalisme

Retno Susilowati

Oleh :
Retno Susilowati
Kolumnis; Peneliti Public Sphere Center (Puspec), Surabaya 

Indonesia mempunyai sejarah sebagai bangsa yang disegani dan dikagumi oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakatnya terbukti mampu menyatukan keanekaragaman budaya, tradisi, dan adat-istiadat dalam ikatan kebersamaan yang saling menghormati dan menghargai. Tak heran jika ada dua kerajaan besar yang pernah memiliki wilayah seluruh Asia Tenggara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Artinya, bangsa ini memiliki pengalaman sejarah untuk membangun sebuah kehidupan yang harmonis dengan segala perbedan yang ada di dalamnya. Dengan kata lain. nilai dan karakter asli Indonesia terbukti mampu mengakomodir semua kepentingan kelompok menjadi perpaduan yang serasi dan harmonis. Nilai-nilai kearifan lokal yang dapat membawa Indonesia ke puncak kejayaan, di antaranya semangat gotong royong, tolong-menolong, kemajemukan, dan budi pekerti.
Semangat gotong royong merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia yang ada sejak nenek moyang kita. Sebagai contoh, apabila di suatu masyarakat di daerah pegunungan terjadi kerawan tanah longsor atau banjir, maka seluruh warga akan bekerja bersama-sama membuat terasering untuk menanggulangi bencana tersebut tanpa berharap upah atau imbalan. Semangat tolong-menolong dimunculkan ketika salah satu warga yang memiliki hajat. Seluruh warga tanpa dikomandoi akan menyumbangkan tenaga dan material guna menyelesaikan hajat orang tersebut.
Jiwa kemajemukan sangat terlihat dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika dihadapkan pada pekerjaan bersama, tak seorang pun warga akan memandang latar belakang, suku, agama, ras atau golongan. Mereka meleburkan diri untuk memelihara keharmonisan umum. Sedangkan budi pekerti merupakan ajaran hidup yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia agar selalu menghormati dan menghargai orang lain, serta memperlakukan orang lain seperti diri sendiri.
Indonesia adalah negara multietnis, agama, ras dan golongan. Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mengembalikan Kearifan Lokal
Kearifan lokal di Indonesia diakui sebagai alat pemersatu bangsa kita yang majemuk. Itu diucapkan banyak ulama-ulama, terutama dari Timur Tengah. Mereka memuji Indonesia karena mampu hidup damai dengan berbagai keragaman agama, suku, ras, bahasa, dan sebagainya. Bahkan mereka juga memuji Islam Indonesia yang toleran. Identitas bangsa Indonesia, yaitu kearifan lokalnya yang dikenal memiliki peradaban, kultur, bahasa, dengan ciri masing-masing daerah. Artinya, dengan saling menghormati dan menjunjung tinggi kearifan lokal, masyarakat otomatis telah memperkuat persatuan bangsa. Masing-masing daerah memiliki kultur dan adat sendiri, dan semua bisa saling menghormati dan menghargai.Nilai-nilai kearifan lokal merupakan sifat asli bangsa kita, namun telah diracuni dan dikaburkan oleh kekuatan asing. Budaya kebersamaan luntur oleh budaya pragmatis transaksional. Kerja bakti lingkungan yang dimaksudkan sebagai media komunikasi antar warga dan menimbulkan rasa ikut memiliki fasum/fasos, dianggap sebagai kegiatan formalitas yang dapat ditinggalkan dengan cara membayar sejumlah uang. Ruang publik sebagai tempat berkumpulnya warga tidak dijadikan prioritas dalam program pembangunan. Saling sapa antar warga menjadi hal yang aneh, bahkan antar tetangga pun tidak kenal satu dengan lainnya. Di saat mulai tergerusnya kearifan lokal di negeri ini, munculah paham-paham baru yang mengaku yang paling benar. Paham yang tidak lagi menghormati perbedaan. Orang kemudian menyebutnya sebagai paham radikal.
Di era modernisme dan globalisasi, berbagai ideologi masuk Indonesia dan mengancam keberadaan ideologi negara, yaitu Pancasila. Ideologi yang saat ini sedang mengancam kebersamaan sebagai bangsa adalah paham radikalisme – terorisme. Paham ini sudah bukan lagi berada dialam pikiran tetapi sudah menjadi gerakan di alam nyata. Korban terorisme sudah berjatuhan dimana-mana. Negara pun sudah sigap dengan membuat Undang Undang Tentang Tindak Pidana Terorisme. Namun, hadirnya instrumen Undang Undang Tindak Pidana terorisme tentu bukan jaminan akan mampu menangkal gerakannya yang sembunyi-bunyi. Butuh gerakan perlawanan baru yang berawal dari masyarakat sendiri. Butuh dibangkitkan kembali ketahanan masyarakat lewat budaya-budaya yang dimilikiki untuk menangkal serbuan paham radikal terorisme.
Benteng Penangkal Terorisme
Jejak-jejak budaya dengan kandungan pesan kearifan lokal (local wisdom) telah secara sempurna terangkum menjadi nilai- nilai dasar dalam 5 sila Pancasila. Kearifan lokal adalah filsafat yang hidup di dalam hati masyarakat, berupa kebijaksanaan akan kehidupan, way of life, ritus-ritus adat, dan sejenisnya. Kearifan lokal merupakan produk berabad-abad yang melukiskan kedalaman batin manusia dan keluasan rasionalitas dengan sesamanya serta menegaskan keluhuran rasionalitas hidupnya.
Nilai-nilai kearifan yang tergali dari rahim negeri inilah yang selanjutnya menjadikan Pancasila sebagai sebuah fondasi filosofis (philosophische grondslag) yang menjadi jiwa bangsa Indonesia. Menurut Jaques Derrida, meaning (makna) dari suatu teks itu unattainable (tak bisa dijangkau) dan unreachable ( tak bisa diraih) dan undefinable (tak bisa didefinisikan). Dalam bahasa Derrida, makna tidak bisa dibukukan, dituntaskan, dikejar hingga habis. Sebaliknya, menurutnya makna itu tercetus seperti traces (jejak jejak langkah kaki).
Secara metaforis Derrida hendak berkata suatu teks sungguh terlampau jauh untuk bisa diraih maknanya secara penuh, tetapi yang bisa diketahui adalah bahwa kebenaran-kebenartan makna itu nyata dalam perjalan manusia yang menghidup teks tersebut. Bila dikaitkan deegan teks Pancasila, maka hampir tidak mungkin membukukan suatu makna yang sudah selesai perihal teks sila-sila Pancasila. Makna “Ketuhanan” misalnya tidak mungkin direduksi dalam suatu frase yang selesai, demikian juga dengan “Kemanusiaan”. “Persatuan”, “kerakyatan” dan “Keadilan” dalam Pancasila. Makna yang bisa kita tuliskan mengenai Pancaila – konteks kebijaksanaan lokal ialah traces, berupa pluralitas jejak-jejak perjalanan aneka narasi kehidupan, tradisi, ritual, mitos, upacara selamatan, sastra yang ada dalam masyarakat. Demikianlah kearifan lokal – Pancasila menjadi mungkin, justru karena keluhuran nilai-nilai Pancasila ada dalam penghayatan bangsa Indonesia serta nyata dan terus menerus, (Armada Riyanto : 2015).
Tercerabutnya nilai-nilai Pancasila di kalangan generasi muda yang terjadi hari ini sesungguhnya harus membuka mata kita akan pentingnya dihidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut bisa dijadikan pegangan, tali pengikat, sebagai filter, di tengah ancaman kebersamaan, ancaman intoleransi, korupsi serta derasnya arus modernitas yang membawa anak muda kita ke dalam pilihan pragmatis, hedon dan profan.
Nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi dan menghargai keberagaman harus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Penting bagi kita bagaimana mewujudkan nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi, menghargai keberagaman karena sejak dari awal Indonesia sudah plural.
Singkatnya, salah satu cara tepat untuk menangkal radikalisme terorisme yang tengah mengancam hari ini adalah dengan menyuburkan kembali pohon besar bernama Pancasila. Pancasila akan kembali perkasa kembali saat kita memupuk subur akar-akarnya budaya bangsa yang dulunya menyimpan kearifan lokal. Dengan demikian, agenda besar kita bersama adalah menghidupkan kembali pesan-pesan kearifan lokal yang biasanya tersaji dalam tradisi hidup sehari-hari, dalam mitologi, dalam sastra yang indah, dalam bentuk ritual ritual penghormatan leluhur atau upacara ada, dalam wujud nilai-nilai simbolik bentuk rumah, dalam bahasa dan seni budaya untuk selanjutnya dimanisfetasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita sungguh percaya, ketika sumber-sumber kearifan lokal tersebut bisa hidup berkembang lagi, maka pohon besar Pancasila akan kembali menghijau kembali daun-daunnya. Dalam situasi seperti itu, rasanya paham-paham yang mengajarkan radikalisme dan terorisme akan tergusur dari kehidupan masyarakat. Mengapa? Tidak lain karena paham radikalisme sesungguhnya jauh dari karakter asli bangsa Indonesia.
———- *** ———-

Tags: