Kearifan Lokal Hadir, Hoaks pun Ngacir

Oleh :
Retno Susilowati
Peneliti Public Sphere Center (Puspec); Alumnus Universitas Airlangga (Unair), Surabaya

Kehadiran media sosial yang menandai melesatnya kemajuan teknologi informasi menjadi dewa baru bagi masyarakat. Hampir tidak ada denyut kehidupan yang tidak dikaitkan dengan media sosial. Mulai sebatas urusan ngerumpi hingga urusan akhirat dan ketuhanan melibatkan media sosial. Media sosial tidak pernah pilih kasih dalam memfasilitasi semua keinginan penggunanya. Baik niat baik maupun niat jahat sama-sama difasilitasi sama baiknya.
Media sosial pada hakikatnya hadir untuk menyebarkan virus kebaikan, atau menjadi instrumen untuk merayakan keberagaman (celebrate diversity) dengan penuh suka cita dan kebahagiaan. Namun demikian selalu ada sisi gelapnya yakni media sosial bisa berubah menjadi virus yang merusak bahkan mematikan sendi sendi kehidupan manusia. Terkoyaknya kebersamaan, robohnya harmoni kehidupan hingga tercabik-cabiknya nilai kemanusiaan.
Media sosial mampu menghadirkan suara-suara individu yang sebelumnya tidak pernah bisa didengar melalui pemberitaan media-media mainstream. Pada wilayah lain, kehadiran media sosial juga memberikan pengaruh terhadap perubahan politik, sosial, budaya dan ekonomi di Indonesia. Sehingga bisa dipahami dalam setiap menjelang perhelatan politik baik lokal maupun nasional, kebisingan di dunia media sosial menjadi tidak terhindarkan.
Hoaks dan Distorsi Informasi
Sejak media sosial eksis dan dimanfaatkan secara luas untuk berkomunikasi, sekaligus menyampaikan isi hati dan pikiran, hoaks pun bermunculan. Ini ditandai dengan banyak sekali informasi yang disebar individu dan kelompok tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hasil survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) 2018 mengungkapkan bahwa dari 1.146 responden, 44,3% di antaranya menerima berita hoaks setiap hari dan 17,2% menerima lebih dari satu kali dalam sehari. Angka itu menunjukkan betapa besarnya dampak media sosial dalam mempengaruhi opini publik.
Harus diakui, suka atau tidak, akhir-akhir ini isu politik menjadi pemicu maraknya konfrontasi di media sosial seperti hate speech, saling hujat, dan lain sebagainya di Tanah Air. Ekspresi politik, saling hujat, saling bela pilihan politik dan merendahkan pilihan lain yang awalnya di dunia nyata, kini bergeser ke dunia maya. Tidak heran kemudian intensitas fake news dan atau berita-berita hoax di media sosial begitu viral di media sosial. Para aktor dan korban penyebar hoax tidak lagi tuggal, melainkan lebih kompleks. Aktor penyebar hoax pun tidak hanya disebarkan pelaku kriminal, banyak juga dilakukan oleh mereka yang sekadar iseng, menyerang bermuatan politik, menyuarakan hatinya, atau hanya sekedar mencari sensasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks (hoax) adalah berita bohong atau berita tidak bersumber. Hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Hoaks adalah informasi palsu, berita bohong, atau fakta yang diplintir atau direkayasa untuk tujuan lelucon hingga serius (politis). Secara bahasa, hoaks (sinonim dengan: practical joke, joke, jest, prank, trick) adalah lelucon, cerita bohong, kenakalan, olokan, membohongi, menipu, mempermainkan, mengecoh, dan memperdayakan.
Menurut Silverman (2015), hoax adalah rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun dijual sebagai kebenaran. Sedangkan menurut Werme (2016), hoaks adalah berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu.
Contoh mutakhir terkait hoaks misalnya dalam kasus kerusuhan massa di Papua beberapa waktu lalu. Ada penyebaran video di media sosial, yang menunjukkan sebuah masjid besar sedang terbakar hebat. Info menyesatkan yang menyertainya menyatakan, itu adalah masjid agung di Papua yang dibakar oleh warga Papua yang melakukan aksi antipemerintah. Padahal, faktanya itu adalah masjid di Luwu, Sulawesi Selatan, yang terbakar pada Januari 2019 (tujuh bulan sebelum pecahnya kerusuhan Papua).
Terbakarnya pun bukan karena sengaja dibakar, tetapi terjadi akibat kecelakaan kerja, ketika pekerja sedang melakukan pengelasan di bagian kubah masjid tersebut. Betapa berbahayanya jika hoaks dan disinformasi ini dipercaya oleh publik begitu saja. Informasi bohong ini jelas bertujuan memancing sisi emosional umat Islam Indonesia, yang pasti akan marah mendengar kabar masjid dibakar. Sungguh butuh kolektivitas untuk bisa mengurangi dampak hoaks yang sudah membanjiri dunia medsos kita.
Berkaca dari realitas di atas, maka media sosial harus menjadi instrumen untuk memberikan pendidikan politik yang beradab, santun, bermartabat, dan bermoral demi tegaknya iklim demokrasi yang menjunjung tinggi keberagaman Nusantara. Media sosial juga harus dimanfaatkan untuk tujuan membangun budaya damai, saling menghormati, hidup berdampingan (koeksistensi), dan bertindak aktif tanpa kekerasan (active non-violence) yang mencerminkan diri sebagai bangsa yang luhur dan bermoral.
Implementasi Kearifan Lokal
Menurut Sibarani (2012), kearifan lokal adalah aturan yang berlaku di suatu tempat. Kearifan lokal sebagai local genius mampu mengatur tatanan kehidupan. Meskipun zaman telah berubah dan akan terus berubah, kearifan lokal mampu berperan untuk menata kehidupan masyarakat.
Kearifan lokal, sebagai bagian dari kekayaan khazanah budaya, bukanlah sesuatu yang kaku dan statis. Kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, yang telah mewarisi begitu banyak kearifan lokal, bisa ikut mempengaruhi dan mengubah jalannya kebudayaan. Nah, pengaruh itu ditujukan untuk meredam perilaku intoleransi, ajaran kebencian, paham radikalisme, bahkan –dalam bentuk ekstrem– terorisme. Cara untuk “menandingi” (counter) suatu perilaku yang bersifat negatif dan destruktif adalah dengan membentuk perilaku baru yang berorientasi positif dan konstruktif.
Strategi kebudayaan merupakan cara kita untuk memanfaatkan dan merevitalisasi kearifan lokal, yang sebetulnya sudah lama kita miliki, untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat penyebaran hoaks. Kearifan lokal, sebagai warisan luhur budaya bangsa, akan terus menjadi landasan bagi persatuan, kesatuan, kerukunan dan guyub di antara sasama anak bangsa. Sebagai bangsa yang majemuk, sudah saatnya segenap elemen bangsa dari level atas sampai bawah, mendorong pemanfaatan media sosial untuk menyebarkan virus kebaikan, terutama untuk terciptanya toleransi demi perayaan keberagaman yang menjadi simbol kebhinnekaan Indonesia.
Menarik menyimak hasil survei yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2018 kemarin yang menunjukkan kearifan lokal efektif menangkal penyebaran paham radikal. Sebanyak 63,60 persen responden survei percaya bahwa kearifan lokal bisa menangkal radikalisme. Namun dari survei tersebut juga menunjukkan bahwa pengetahuan kearifan lokal masyarakat relatif masih rendah, yaitu 30, 09 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal pada masyarakat hanya sebatas kepercayaan. Rendahnya pengetahuan kearifan lokal itu menjadi indikasi nyata bahwa sosialisasi kearifan lokal masih rendah. Kearifan lokal sebagai nilai belum sepenuhnya diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, meski dipercaya efektif menangkal radikalisme.
Dalam konteks inilah memanfaatkan kearifan lokal dalam turut serta menangkal hoaks menemukan relevansinya. Hanya, persoalannya adalah bagaimana agar nilai-nilai kearifan lokal tersebut bukan sebatas dipercaya punya peran signifikan, tetapi juga harus bisa diimplementasikan. Lantaran itu tentu patut kita dorong adanya ikhtiar berbagai pihak yang ingin kembali menghadirkan kearifan lokal dalam kehidupan mutakhir hari ini.
Nilai-nilai kearifan lokal harus hadir kembali dalam tata pergaulan masyarakat kita. Harapannya adalah agar bangsa ini kembali memiliki karakter yang kuat dan bisa bertahan dari godan-godaan nilai-nilai baru yang tidak sejalan dengan karakter bangsa ini. Percayalah radikalisme dan nilai-nilai antikeberagaman yang banyak disebarkan melalui media sosial bukanlah nilai asli bangsa ini, dengan demikian upaya untuk menghadangnya tidak lain adalah dengan meneguhkan kembali nilai-nilai kearifan lokal bangsa ini.
———– *** ———

Tags: