Kebahagiaan (tiada-tara) Berhaji

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial dan politik

Aliran darah di nadi, seakan terasa hangatnya. Begitu rasanya, ketika pesawat take-off membawa terbang jamaah haji. Sepuluh jam penerbangan akan diliputi ke-haru-an. Tiada henti dikumandangkan rasa syukur, juga bertasbih. Tiada kebahagiaan melebihi saat berangkat menunaikan ibadah haji. Penantian panjang (lama menunggu selama beberapa tahun), seolah terlipur. Berangkat haji bagai pamungkas perjuangan, penutup sempurna-nya seluruh ibadah.
Rukun Islam kelima itu, seperti hidangan yang meng-komplet, empat sehat lima sempurna. Sulitnya naik haji ternyata bagai sunnah rasul. Karena Kanjeng Nabi SAW pun pernah mengalami penundaan ibadah haji selama setahun. Yakni ketika Rasulullah SAW dengan rombongan seratusan orang berniat melaksanakan ibadah haji pertama (bulan maret) tahun 629 masehi. Namun otoritas Mekkah saat itu meminta penundaan. Alasan agar penduduk Mekkah (yang belum Islam) dapat mempersiapkan sarana dan prasarana untuk umat muslim.
Alasan yang hampir sama terjadi saat ini. Ketika jumlah calon haji telah sebanyak empat juta-an orang. Kota Mekkah (dan sekitarnya serta Madinah) harus dipersiapkan untuk menerima kunjungan tamu Allah. Kota tertua di dunia ini radiusnya cuma sekitar 30 kilometer. Dengan tamu haji sebanyak 5 juta orang (dari seluruh penjuru dunia), berarti di dalam kota Mekkah terdapat 6 juta orang lebih. Atau kepadatannya mencapai 5 orang/meter per-segi. Tiada kota dengan kepadatan seperti itu.
Seluruh ritual haji: (terutama) Sai, lempar jumroh dan Thawaf serta wukuf (dalam tenda) di Arofah, dilakukan dengan berdesak-desakan. Dahsyatnya, setiap tahun jumlah tamu Allah akan terus bertambah. Karena pemerintah Arab Saudi berupaya keras mengakomodir seluruh jamaah haji, diantaranya dengan konsep “kota bersusun.” Segalanya harus dibangun bersusun: jalan bersusun, tol bersusun, lapangan bersusun, tempat wudlu bersusun, serta masjid bersusun.
Bahkan lempar jumroh dan thawaf, sudah beberapa tahun lalu dilaksanakan bersusun. Sebab pada empat tahun mendatang, diperkirakan jumlah calon haji sudah lebih dari 10 juta-an orang. Bandingkan dengan sebelum Perang Dunia II (dekade 1940-an), hanya 20 ribu-an jamaah haji. Artinya, selama 7 dekade saja, peningkatannya mencapai 500 kali.
Karena itu pemerintah Arab Saudi menerapkan sistem kuota kunjungan haji. Konon sebesar 0,1% dari jumlah muslim (untuk negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, seperti Indonesia). Sedangkan negara-negara dengan muslim minoritas, tidak dibatasi kuota. Itulah yang menyebabkan keinginan berhaji dari Indonesia harus sabar menunggu antrean sampai 18 tahun.

Haji bagai Ndaru
Maka kesempatan berhaji bagai ketiban ndaru (takdir), tidak mesti kaya, tidak mesti sehat. Ndaru haji memang hampir menjadi keyakinan para ulama salaf (tempo dulu). Banyak jamaah calon bukan tergolong kaya. Banyak pula jamaah haji yang sudah berusia diatas 75 tahun, banyak juga yang berpenyakit menahun, toh bisa berangkat ke tanah suci. Ada yang sudah membayar haji dengan ongkos sangat mahal (dengan ONH plus), usia masih dibawah 55 tahun, sehat, tetapi gagal berangkat.
Tetapi melaksanakan haji pada masa kini lebih nyaman. Terutama untuk jamaah haji Indonesia. Kenyamanan itu antaralain, berlakunya uang rupiah di Arab Saudi. Ini sangat mem-banggakan. Mata uang Indonesia, rupiah, “berdaulat” di Arab Saudi. Hitungannya, lembaran uang senilai Rp 50 ribu dihargai sekitar 14 riyal.     Sehingga tidak perlu repot menukar rupiah dengan riyal sebelum berangkat haji. Lebih baik mempergunakan waktu untuk memahami manasik, agar ibadah haji lebih berpotensi mabrur.
Selain ke-ibadah-an, diperlukan pemahaman lokasi sekitar Makkah dan Madinah, agar tidak tersasar. Namun diperlukan kewaspadaan (tetap dalam rombongan) di area Jamarot. Di area ini masih sering terjadi kecelakaan karena berdesak-desakan. Tetapi jamaah haji Indonesia terbiasa tertib dalam rombongan, serta memiliki waktu khusus melaksanakan lempar jumroh. Serta (jalan) lintasan yang khusus untuk Indonesia.
Ibadah haji tahun (2016) ini akan diikuti oleh sekitar 179 ribu jamaah asal Indonesia. Jumlah itu termasuk kuota tambahan “hadiah” khusus dari pemerintah kerajaan Arab Saudi (KSA). Komitmen tambahan kuota dinyatakan oleh raja Arab Saudi (Salman bin Abdul Aziz) kepada presiden Jokowi, pada musim haji tahun (2015) lalu. Namun keinginan melaksanakan ibadah haji harus tetap sabar dalam antrean sangat panjang. Ternyata tidak mengurangi keinginan berhaji. Toh, cukup sekali berhaji, sehingga ditunggu walau terlaksana pada kesenjaan usia.
Beberapa propinsi menerima tambahan kuota, setelah diperjuangkan oleh Kantor Kementerian Agama setempat, atas permintaan gubernur. Jawa Tengah misalnya, memperoleh tambahan sekitar 5 ribu orang, sehingga bisa memberangkatkan 29 ribu JCH. Sedangkan Jawa Timur, pantasnya, bisa memperoleh kuota sampai 30 ribu JCH. Penambahan kuota haji sangat penting untuk memperpendek antrean haji.
Walau sebenarnya, dengan tambahan kuota (sebanyak 11 ribu visa) itu masih lebih kecil dibanding kuota asal (sebanyak 211 ribu visa). Tambahan kuota sangat penting, mengingat animo ber-haji menunjukkan tren peningkatan sekitar 12% per-tahun. Pada tahun 2003, mendaftar haji bisa langsung berangkat pada tahun yang sama (saat mendaftar). Tetapi yang mendaftar tahun (2016) ini, rata-rata nasional harus menunggu sampai 17 tahun.

Ke-ekonomi-an Haji
Peningkatan animo berhaji, bukan disebabkan peningkatan kesejahteraan semata. Melainkan juga karena pencerahan spiritual, serta mudahnya ber-haji. Selain itu, peningkatan jumlah jamaah haji secara pasti meningkatkan pendapatan negara. Proses administrasi ke-haji-an diikuti dengan pembayaran berbagai pajak dan penghasilan negara bukan pajak.
Total nilai pajak setiap jamah haji mencapai Rp 2 juta, ditebar mulai pengurusan paspor, biaya obat meningitis, pajak penumpang pesawat udara hingga airport tax. Jika jumlah jamaah sebanyak 178.800 orang, maka pemasukan untuk negara mencapai Rp 357 milyar lebih. Itu belum termasuk keuntungan bank BUMN dari proses tukar uang rupiah dengan riyal (Arab Saudi) untuk livingcost. Setiap jamaah haji akan menerima living cost sebesar 1.500,- riyal.
Pemberangkatan JCH (jamaah calon haji) dimulai hanya dua hari setelah peringatan hari Kemerdekaan Indonesia. Musim haji tahun ini, sekaligus menandai “kemerdekaan” pelayanan ke-haji-an lebih baik. Diantaranya bisa langsung menuju bandara Madinah, memperpendek (dan lebih murah) sistem transportasi. Sekaligus menghemat tenaga, agar bisa tercurah untuk ibadah. Kenyamanan lain yang akan dinikmati oleh JCH, layanan kereta super cepat dari Madinah ke padang Arofah.
Saat ini renovasi (perluasan area masjid al-Haram (di Makkah) masih berlangsung. Walau pada saat haji diliburkan. Konon, renovasi dilakukan sampai tahun 2030, dengan anggaran multy-years bernilai milyaran dolar. Terutama kawasan masjidil Haram dan sumber air zam-zam, dibawahkan langsung oleh Raja Salman bin Abdul Aziz. Bahkan raja lebih suka menggunakan nama gelar khaddam al-haramain (pemelihara dua kota suci, Makkah dan Madinah).
Tambahan kuota haji, sangat strategis untuk (pemerintah dan rakyat) Indonesia. Seyogianya, terus melancarkan lobi-lobi kepada pemerintah Arab Saudi, khusus tentang kuota haji. Bukan hanya 10 ribu-an visa tambahan, melainkan mengembalikan pada kuota asal, lebih dari 220 ribu! Pemerintah akan semakin didukung alumni jamaah haji.
Insya Allah, musim haji tahun ini akan lebih terasa nyaman. Meski dari berbagai negara pengirim JCH meng-khawatirkan kemungkinan gangguan ISIS. Begitu pula kemungkinan serangan dari ekstremis di Yaman, yang baru saja digempur Arab Saudi. Namun Raja Salman bin Abdul Aziz, niscaya bertaruh segalanya untuk mengamankan dua kota suci itu.

———   000   ———

Rate this article!
Tags: