Kebijakan Terpadu Pengembangan Agribisnis Kelapa

Oleh:
Wahyu Kuncoro
Wartawan Harian Bhirawa

Tanaman kelapa (cocos nucifera L) merupakan tanaman tropis yang sudah lama dikenal masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari penyebaran tanaman kelapa di hampir seluruh wilayah Nusantara.
Kelapa menjadi tanaman perkebunan dengan areal terluas di Indonesia, bahkan lebih luas dibanding karet dan kelapa sawit, dan menempati urutan teratas untuk tanaman budi daya setelah padi. Tanaman ini merupakan salah satu komoditi perkebunan yang sangat penting dan strategis yang memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pada tahun 2014, Indonesia adalah negara penghasil kelapa tertinggi di dunia dengan total produksi mencapai 19,1 juta ton dan tercatat sebagai negara yang memilki luas area perkebunan kelapa terbesar kedua dengan luas area 3,08 juta Ha setelah Philipina yang memiliki 3,5 juta Ha (FAO, 2016).
Melihat manfaat tanaman kelapa tidak saja terletak pada daging buahnya yang dapat diolah menjadi santan, kopra, dan minyak kelapa, tetapi seluruh bagian tanaman kelapa mempunyai manfaat yang besar. Alasan utama yang membuat kelapa menjadi komoditi komersial adalah karena semua bagian kelapa dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.

Kelapa sebagai Tree of Life
Tanaman kelapa sungguh mempunyai nilai ekonomi tinggi. Seluruh bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, sehingga pohon ini sering disebut pohon kehidupan (tree of life) karena hampir seluruh bagian dari pohon, akar, batang, daun dan buahnya dapat dipergunakan untuk kebutuhan manusia sehari- hari
Daun muda dipergunakan sebagai pembungkus ketupat dan sebagai bahan baku obat tradisional, sedanhkan daun tua dapat dianyam dan dipergunakan sebagia atap, kemudian lidinya sebagia bahan pembuat sapu lidi. Batang kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku perabotan atau bahan bangunan dan jembatan darurat.
Akar pohon kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bir atau bahan baku pembuatan zat warna. Buah kelapa terdiri dari sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa. Buah kelapa dapat digunakan hampir pada seluruh bagiannya. Airnya untuk minuman segar atau dapat diproses lebih lanjut menjadi nata de coco, atau kecap. Sabut untuk bahan baku tali, anyaman keset, matras, jok kendaran.
Tempurungnya secara tradisional dibuat sebagai gayung air, mangkuk, atau diolah lebih lanjut nenjadi bahan baku obat nyamuk bakar, arang, briket arang, dan karbon aktif. Daging buahnya dapat langsung dikonsumsi atau sebagai bahan bumbu berbagai masakan atau diproses menjadi santan kelapa, kelapa parutan kering (desicated coconut) serta minyak goreng.
Daging buah dapat pula diproses menjadi kopra. Kopra bila diproses lebih lanjut dapat menghasilkan minyak goreng, sabun, lilin, es krim atau diproses lebih lanjut sebagai bahan baku produk oleokimia seperti asam lemak (fatty acid) , fatty alcohol, dan gliserin. Hasil samping ampas kelapa atau bungkil kelapa merupakan salah satu bahan baku pakan ternak.
Cairan nira kelapa dapat diproses menjadi gula kelapa. Ketandan buah yang baru tumbuh sampai posisi tegak diambil cairannya dan menghasilkan nira. Nira ini dapat diproduksi sebagai minuman dan gula kelapa. Setiap pohon kelapa terdapat 2 buah ketandan bunga, bisa diambil niranya sampai 35 hari dan selanjutnya akan muncul ketandan bunga baru lagi.

Konsumsi Kelapa Dunia
Setidaknya ada dua pendapat mengenai asal usultanaman kelapa. Pendapat pertama menganggap kelapa berasal dari Amerika selatan karena di wilayah ini banyak ditemui tanaman yang mirip dengan kelapa dan pandangan kedua mengatakan kelapa berasal dari daerah Pasifik karena ditemui fosil kelapa dari zaman Pleioceane di daerah Selandia Baru.
Dalam pemanfaatan buah kelapa, ada tiga bentuk yang paling penting dari konsumsi buah kelapa yakni kelapa segar (termasuk untuk diminum dan santan), minyak kelapa dan kelapa kering. Konsumsi global kelapa segar tumbuh pada kecepatan yang luar biasa untuk air kelapa dan santan (sekitar 30 persen dari konsumsi kelapa).
Air kelapa semakin populer di seluruh dunia sebagai minuman yang sehat dan santan yang digunakan dalam sejumlah produk makanan. Permintaan kelapa untuk memenuhi pasar yang berkembang adalah menempatkan tekanan pada pasokan.
Dengan pembelian dua industri pengolahan air kelapa Brasil, satu oleh Pepsi Cola dan lainnya oleh Coca Cola, air kelapa memasuki pasar minuman ringan utama. Disamping itu, hampir setiap supermarket di Eropa dan Australia menjual lebih dari dua merek santan kelapa.
Minyak kelapa merupakan bentuk yang paling penting dari konsumsi kelapa. Sekitar 27 negara kelompok Uni Eropa adalah konsumen terbesar minyak kelapa di dunia, saat ini memanfaatkan sekitar 743.000 metrik ton per tahun. Sebagian besar dari 3,5 juta ton minyak diproduksi setiap tahunnya telalah digunakan.
Minyak kelapa digunakan secara unik untuk ekstraksi asam lemak dan digunakan dalam produksi margarin dan sabun. Namun demikian, pemanfaatan minyak kelapa tercatat kurang di bawah 2 persen dari konsumsi minyak nabati global dan kontribusi ini menurun sebagai akibat dari peningkatan konsumsi minyak nabati lainnya.
Adanya peningkatan perhatian yang diberikan untuk menggunakan minyak kelapa untuk pembangkit energi, baik dicampur dengan solar atau sebagai pengganti solar (bio-fuels). Berbagai insentif dan subsidi telah diberikan untuk pengembangan bio-fuels menyebabkan bio-fuels menjadi semakin populer di Amerika Serikat dan Eropa dan ini sekarang sedang didorong di negara-negara lain seperti Malaysia.
Ada dua pasar utama untuk kelapa-kopra dan minyak, yang terakhir harganya lebih tinggi dari yang pertama. Pasar untuk kopra dan minyak ada di seluruh dunia. Produsen kelapa yang paling besar/sedang mengolah kelapa dan kopra oleh mereka sendiri untuk dibuat minyak. Sebagai konsekuensi dari ini hanya sekitar empat persen dari kopra yang diekspor. Mayoritas diekspor dalam bentuk minyak.
Ekspor minyak kelapa telah meningkat selama dekade terakhir terutama karena kebutuhan global yang lebih besar untuk karakteristik penting dari minyak kelapa. Sementara Indonesia merupakan negara dengan jumlah terbanyak kedua yang mengekspor minyak kelapa, selain kelapa dalam buah segar. Pasar tujuan utama minyak adalah Amerika Serikat dan Eropa dengan nilai untuk masing-masing 24 persen dan 25 persen dari impor.
Minyak kelapa dunia menghadapi beberapa persoalan dalam produksi misalnya hama dan penyakit, penuaan dan masalah panen. Hal ini juga dipengaruhi oleh kompetisi untuk kelapa segar untuk air kelapa. Organisasi seperti Uni Eropa memberikan bantuan dalam bentuk tarif preferensial serta dukungan harga impor dari Kepulauan Pasifik.

Konsumsi Produk Kelapa Nasional
Akhir-akhir ini kebutuhan akan biji kelapa, air kelapa, kopra, dan arang batok kelapa kembali meningkat, seiring dengan pertumbuhan penduduk. Diperkirakan pada masa mendatang kebutuhan akan komoditas ini akan semakin meningkat, mengingat pola hidup masyarakat Indonesia sulit dilepascan dari komoditas kelapa dan hasil olahannya. Tanaman kelapa juga merupakan salah satu dari sebelas komoditas andalan perkebunan penghasil devisa negara, sumber pendapatan asli daerah (PAD), sumber pendapatan petani dan masyarakat.
Dengan demikian komoditas kelapa diharapkan dapat membantu mengentaskan kemiskinan di daerah dan dapat mendorong perkembangan agro industri serta pengembangan wilayah. Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pengembangan komoditas kelapa. Alasan utama yang membuat kelapa menjadi komoditi komersial adalah karena semua bagian kelapa dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Dari analisis budidaya terlihat bahwa investasi yang besar dan dapat menguntungkan hanya dalam waktu kurang dari enam tahun, belum termasuk keuntungan lain yang didapat selain dari buah. Oleh karena itu, budidaya tanaman kelapa merupakan salah satu alternatif yang sangat menguntungkan.
Sekitar 96 persen kebun kelapa merupakan perkebunan rakyat yang diusahakan di kebun atau pekarangan rumah. Perkebunan tersebut dikelola secara monokultur ataupun kebun campur dengan melibatkan sekitar 20 juta jiwa keluarga petani atau buruh tani. Meskipun luas perkebunan kelapa terbesar kedua setelah sawit, namun usaha tani kelapa belum mampu menjadi sumber pendapatan utama petaninya.
Dibandingkan dengan negara lain, produktivias kelapa Indonesia sudah di atas rata-rata dunia, meskipun masih rendah dengan negara Vietnam. Rata-rata produktvitas kelapa dunia adalah 5,20 ton/hektar, sementara Indonesia mencapai 6,67 ton/hektar. Bandingkan dengan Vietnam yang sudah mencapai 9,29 ton/hektar.
Permintaan pasar ekspor produk olahan kelapa umumnya menunjukkan tren yang meningkat. Sebagai contoh, pangsa pasar kelapa parutan kering (desicated coconut/DC) Indonesia terhadap ekspor DC dunia cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir. Kecenderungan yang sama terjadi pada arang aktif. Situasi ini mengisyaratkan perlunya mengarahkan pengembangan produk olahan pada produk-produk baru yang permintaan pasarnya cenderung meningkat (demand driven).
Produktivitas tanaman dan nilai tukar produk primer yang dihasilkan –seperti kopra dan minyak– yang cenderung menurun. Pengelolaan usaha tani pun masih bersifat tradisional akibat keterbatasan wawasan petani. Keterlibatan secara langsung dari pemerintah, kalangan industri, dan masyarakat konsumen di lapangan pun masih sangat kurang dan berjalan sendiri-sendiri.
Untuk dapat menjadikan usahatani kelapa menjadi sumber pendapatan utama petani, perlu diubah sistem usaha tani tradisional dan industri primer parsial menjadi suatu sistem dan usaha agribisnis berbasis kelapa yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi. Bukan tidak mungkin apabila usaha tani kelapa dikelola secara profesional akan dapat memberikan kontribusi yang tak kecil untuk negara ini.
Hal ini memungkinkan karena hasil penelitian mengungkapkan bahwa kandungan asam laurat dalam minyak kelapa memiliki manfaat kesehatan. Dan akhir-akhir ini Perdagangan minyak kelapa murni (virgin coconut oil/VCO) makin meluas di antero dunia. Walau belum didukung uji klinis, banyak pihak meyakini VCO sebagai obat berbagai macam penyakit dan harganya pun cukup mahal.
Disamping aspek kesehatan, minyak kelapa dapat menjadi sumber utama pengganti bahan bakar minyak diesel fosil. Bahkan Filipina telah mengembangkan campuran biodiesel kelapa 10 persen (B-10) sejak tahun 2002 dan telah digunakan untuk kendaraan dinas beberapa instansi pemerintah.
Salah satu kelebihan minyak kelapa di daerah tropis adalah dapat digunakan sebagai pengganti solar tanpa proses esterifikasi dan tanpa campuran (B-100) sebagaimana yang telah digunakan di Marshall Island sejak awal 2005 tanpa modifikasi dan gangguan pada mesin. Prosesnya pun sederhana sehingga mudah dan cocok dilakukan di daerah yang aksesibilitasnya terbatas seperti daerah kepulauan yang harga kopranya selalu rendah. Pengembangan agribisnis kelapa berperan penting untuk peningkatan produktivitas dan sekaligus peningkatan pendapatan petani.
Saat ini kelapa sangat berperan dalam perekonomian sebagai penyedia lapangan tenaga kerja, bahan baku industri dalam negeri dan konsumsi langsung. Meskipun demikian, kebanyakan usaha tani kelapa tidak terkait langsung dengan industri pengolahan, industri hilir, serta industri jasa dan keuangan.
Akibatnya agribisnis kelapa tidak berhasil mendistribusikan nilai tambah, secara optimal dan proporsional, sehingga tidak signifikan pengaruhnya terhadap penambahan pendapatan petani kelapa. Pengelolaan usaha tani kelapa masih bersifat tradisional dan terbatasnya modal, maupun kualitas produk yang dihasilkan masih rendah.
Sampai saat ini belum banyak berubah sehingga komoditas kelapa yang mempunyai multiguna relatif tidak ada nilai tambahnya. Pangsa pasar ekspor sangat terbuka untuk semua produk kelapa, khususnya produk ikutan seperti bungkil, arang tempurung, sabut kelapa dan desicated coconut.

Potensi Agribisnis Kelapa
Pada dasarnya seluruh bagian buah kelapa dapat diolah menjadi berbagai produk untuk berbagai keperluan. Teknologi pengolahan, standar mutu, dan sistem sertifikasinya juga sudah dikuasai oleh tenaga ahli Indonesia. Namun, berbagai kelemahan masih melekat di Industri pengolahan kelapa kita seperti suplai bahan baku, karena industri tidak memiliki kebun kelapa dan investasi yang relatif besar sehingga kurang menarik investor (FOKPI, 2006).
Peluang pengembangan agribisnis kelapa dengan produk bernilai ekonomi tinggi sangat besar. Alternatif Produk yang dapat dikembangkan antara lain Virgin Coconut Oil (VCO), Oleochemical (OC), Desicated Coconut (DC), Coconut Milk/Cream (CM/CC), Coconut Charcoal, Activated Carbon (AC), Brown Sugar (BS), Coconut Fiber (CF), dan Cocon Wood (CW), yang diusahakan secara parsial maupun terpadu.
Pelaku agribisnis produk-produk tersebut mampu meningkatkan pendapatnnya 5-10 kali dibandingkan dengan bila hanya menjual produk kopra. Berangkat dari kenyataan luasnya potensi pengembangan produk, kemajuan ekonomi perkelapaan di tingkat makro (daya saing di pasar global) maupun mikro, (pendapatan petani, nilai tambah dalam negeri dan substitusi impor) tampaknya akan semakin menuntut dukungan pengembangan industri kelapa secara kluster sebagai prasyarat (Allorerung et al. 2005).
Namun demikian upaya pengembangan komoditas kelapa dihadapkan pada berbagai kendala antara lain: (i) produktivitas yang masih rendah (di bawah normal), karena banyak kelapa berumur di atas 20 tahun, dan budidaya dengan bibit asalan, (ii) rendahnya pendanaan khususnya untuk perkebunan, (iii) kebijakan pembangunan yang belum mendukung sektor perkebunan, dan (iv) industri hilir yang belum tumbuhan menjadi tanaman utuh serta mampu membentuk tanaman utuh seperti halnya pada biji (Batugal & Engelmann, 1998).

Beberapa Persoalan
Meskipun kelapa memiliki fungsi ekonomi, sosial maupun budaya yang tinggi di masyarakat Indonesia, namun beberapa permasalahan telah menjadi ancaman yang serius bagi kelangsungan budidaya kelapa di Indonesia.
Secara umum, luas lahan perkebunan kelapa di Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun. Pada periode 2009 – 2013, luas areal perkebunan kelapa di Indonesia turun dari 3,8 juta Ha menjadi 3,65 juta Ha (menurun sebesar 0,68%; Billah, 2014).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan berkurangnya luas areal perkebunan kelapa seperti banyak lahan perkebunan yang dialihfungsikan menjadi lahan pemukiman, pabrik, pembangunan jalan, maupun diubah menjadi tanaman pertanian lain yang bernilai ekonomi lebih tinggi. Bahkan, kebun plasma nutfah kelapa di Paniki, Mapanget, Sulawesi Utara telah dialihfungsikan menjadi sarana olahraga pacuan kuda (Novarianto,2008).
Permasalahan hama dan penyakit juga menjadi ancaman utama perkebunan kelapa di Indonesia. Hama Oryctes rhinoceros L banyak menyerang berbagai perkebunan kelapa dan menyebabkan penurunan luas area perkebunan yang sangat signifikan. Di Blitar, jumlah pohon kelapa menurun hingga 60 % akibat serangan hama tersebut (Kustantini, 2014). Selain itu, hama ini juga menyerang beberapa perkebunan kelapa di provinsi Jawa Timur dengan tingkat serangan tertinggi ada di Kabupaten Tulungagung yang mencapai lebih dari 6 ribu Ha dari sekitar 18 ribu Ha lahan perkebunan kelapa. Penyakit kelapa seperti layu Kalimantan (Phytoplasma) juga banyak menyerang perkebunan kelapa di Indonesia. Pada tahun 1997, penyakit tersebut menyerang lebih dari 100 ribu pohon kelapa di Kalimantan Timur dan hampir 50 ribu pohon kelapa mati akibat serangan tersebut (Lolong & Motulo, 2014).
Permasalahan lain yang dihadapi perkebunan kelapa di Indonesia adalah hampir 40 % perkebunan kelapa di Indonesia berusia tua atau rusak. Akibatnya produktivitas perkebunan kelapa di Indonesia menjadi sangat rendah, yaitu hanya sekitar 4200 butir kelapa per ha setiap tahunnya atau setara dengan 0,83 ton kopra per hektar.
Sebagai akibat dari rendahnya produktivitas perkebunan kelapa di Indonesia adalah sangat rentannya area perkebunan tersebut untuk beralih fungsi menjadi perkebunan tanaman lain yang bernilai ekonomi tinggi atau dialihkan untuk kepentingan lain seperti perumahan.
Salah satu akibat yang muncul dari permasalah perkebunan kelapa di Indonesia seperti diuraikan di atas adalah berkurangnya populasi pohon kelapa dari tahun ke tahun. Akibatnya, banyak varietas kelapa asli Indonesia yang terancam hilang dalam beberapa dekade terakhir (Novarianto, 2008).

Pengembangan Agribisnis Kelapa
Komoditas kelapa selama ini baru banyak dimanfaatkan produk primernya saja, baik dalam bentuk kelapa segar maupun kopra sebagai bahan baku minyak goreng. Bahwa kita baru bisa menghasilkan produk turunan kelapa kurang dari sepuluh jenis, sementara negara produsen kelapa lain, seperti Philipina, telah dapat mengenbangkan lebih dari 100 jenis produk. Tanaman kelapa merupakan tanama yang telah menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia sehingga kelapa disebut sebagai tanaman sosial.
Tanaman kelapa Indonesia pernah mengalami kejayaan dengan produk utamanya berbentuk kopra pada periode tahun 1960-1970an. Pada masa itu usaha kopra dirasakan sebagai usaha yang saat menguntungkan. Bahkan koperasi kopra merupakan salah satu koperasi yang berkembang dan menjadi organisasi andalan bagi para petani kelapa. Namun dalam perkembangannya, terutama semenjak tahun 1980-an, peran kelapa sebagai sumber bahan baku minyak goreng makin tenggelam dan tergeser oleh kelapa sawit.
Sebelum berkembangya tanaman kelapa sawit, kelapa merupakan sumber minyak goreng utama di Indonesia. Dengan semakin meningkatnya produksi minyak sawit dengan biaya produksi relatifl lebih rendah di banding minyak kelapa, maka penggunaan minyak kelapa sebagai minyak goreng semaklin kecil porsinya.
Sebagai bahan pangan, kontribusi kelapa dalam bentuk minyak goreng mencapai 0,4 juta ton setara minyak goreng atau 12% dari konsumsi minyak goreng nasional yang jumlahnya mencaapai 3,3juta ton dan selebihnya berasal minyak sawit.
Upaya pengembangan produk dan pemanfaatan hasil samping akan meningkatkan nilai tambah produk kelapa yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan petani kelapa. Demikian pula lahan di bawah pohon kelapa masih dapat dimanfaatkan dengan kegiatan diversifikasi baik dengan tanaman pangan maupun ternak. Dalam upaya mengembangkan kelapa ke depan, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi dan harus kita upayakan pemecahannya antara lain:
Pertama, produktivitas tanaman kelapa rendah yaitu sekitar 1,2 ton/ha atau sekitar 50% dari potensi produksinya. Hal ini terkait dengan kondisi tanaman yang sudah tua dan tidak produktif yang mencapai 380 ribu ha.
Kedua, sekitar 98% pengembangan kelapa di Indonesia merupakan perkebunan rakyat dan sebagian besar diusahakan secara monokultur, kepemilikan lahan terbatas dan pemanfaatannya belum optimal dengan penerapan teknologi terbatas.
Ketiga, jenis produk turunan kelapa yang baru dapat dihasilkan kurang dari sepuluh jenis, sementara itu negara produsen kelapa lain, seperti Philipina, telah dapat mengenbangkan sebanyak lebih dari 100 jenis produk.
Keempat, penanganan agribisnis perkelapaan sampai saat ini masih tersegmentasi/sektoral sehingga belum mencerminkan suatu bentuk usaha yang efisien dan cenderung merugikan posisi petani kelapa sebagai penghasil produk primer.
Kelima. masih terdapat serangan hama dan penyakit di daerah tertentu. Hama endemik seperti sexava di Sangir Talaud, Ternate dan Papua serta penyakit yang belum diketahui obatnya seperti busuk pucuk, penyakit layu.
Selain permasalahan tersebut, terdapat peluang pengembangan agribisnis perkelapaan yang tentunya harus dapat kita manfaatkan, antara lain : (1). Adanya pangsa pasar dunia yang relatif mapan untuk produk minyak kelapa; (2). Potensi untuk pengembangan produk (product development) cukup luas dan terbuka dan termasuk coco-diesel, sehingga akan memperluas segmen pasar; (3). Lahan diantara pertanaman kelapa berpotensi untuk diversifikasi usaha, sehingga pengembangan cabang usaha tani lainnya dalam areal yang sama akan dapat meningkatkan produktivitas usaha tani; (4). Tersedianya teknologi tepat guna,baik pada subsistem hulu, on-farm, dan hilir (benih/bibit unggul lokal, sistem usahatani yang lebih efisien, pengolahan kelapa terpadu, dll), yang dapat mendukung usaha diversifikasi produk, sekaligus meningkatkan efisiensi pemanfaatan bahan olah (zero waste), dan membuka peluang bagi petani untuk mendapatkan nilai tambah; (5). Adanya dukungan industri rumah tangga, kecil dan menengah yang membutuhkan bahan baku kelapa termasuk bahan ikutannya;
Memperhatikan potensi, peluang dan permasalahan yang dihadapi, arah pengembangan agribisnis kelapa yang kita inginkan adalah bagaimana mewujudkan agribisnis kelapa yang berdaya saing dan berkeadilan yang dapat memberikan tingkat kesejahteraan secara berkelanjutan bagi pelaku usahanya. Untuk itu, diperlukan kebijakan pengembangan agribisnis kelapa secara terpadu yang meliputi :
Pertama, peningkatan produktivitas dan mutu hasil kelapa. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman serta mutu hasil kelapa secara bertahap. Penerapan kebijakan ini ditempuh antara lain melalui: pengembangan industri benih, rehabilitasi danperemajaan tanaman kelapa dengan menggunakan bibit unggul, diversifikasi usaha tani dengan tanaman pangan dan kakao, cengkeh, vanili dan ternak, serta penguatan kelembagaan petani.
Kedua, pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa. Kebijakan ini dimaksudkan agar produk kelapa Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (kopra), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati didalam negeri. Penerapan kebijakan ini ditempuh antara lain : pembangunan unit pengolahan unit pengolahan kelapa terpadu di tingkat petani dan pengembangan coco-diesel di sentra-sentra pengembangan kelapa.
Ketiga, dukungan penyediaan pembiayaan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk tersedianya berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kelapa, baik yang berasal dari lembaga maupun non bank.
Kebijakan di atas tentunya masih harus didukung dengan kebijakan dan kegiatan sektor terkait lainnya, antara lain dibidang : (a) Sertifikasi lahan petani untuk memperkuat hak kepemilikan atas tanah yang dapat digunakan sebagai jaminan (agunan), (b) dukungan saran dan prasarana agribisnis perkelapaan berupa infrastruktur jalan, pelabuhan, transportasi, komunikasi dan energi, (c) serta dukungan pemerintah daerah.
Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan agribisnis kelapa yang efisien, produktif dan berdaya saing tinggi untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat secara berkelanjutan akan dapat kita wujudkan.

Belajar dari PT Sambu Group
Membicarakan masa depan industri kelapa, maka tidak bisa dipisahkan dengan kiprah PT Sambu Group yang telah bermain dalam bisnis kelapa selama 55 tahun, tepat 5 Desember 2022 mendatang
Perusahaan yang didirikan oleh Tay Juhana pada 1967 ini kini telah menjadi pemain penting di panggung industri kelapa di tanah air. Produk yang dihasilkan Sambu Group berupa santan dengan merek Kara, minuman air kelapa Kara Coco, sari buah, telah diekspor ke banyak negara di dunia. Perusahaan ini juga sudah merambah ke bisnis biskuit.
Menilik sejarahnya, pendirian PT Pulau Sambu di, Indragilir, Riau 1967 lalu, dilatari oleh begitu banyak perkebunan kelapa rakyat yang sesungguhnya bisa menjadi sumber kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun di sisi lain, juga memprihatinkan karena ada masalah yang dilihatnya, yakni pemanfaatan buah kelapa yang belum maksimal. Kalau tidak dijual kepada pedagang lepas, atau diijonkan kepada tengkulak, mayoritas buah kelapa itu hanya diolah secara tradisional menjadi kopra.
Buah kelapa dapat diolah secara modern menjadi beberapa produk turunan mulai dari minyak kelapa sampai santan sehingga memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Jika tidak dibuat sebuah terobosan, maka lambat laun, perkebunan kelapa itu bisa tak terurus secara optimal karena tiadanya nilai tambah yang signifikan selain sekadar menjadi komoditas. Penduduk akan pergi ke kota-kota, lantaran merasa kesejahteraannya tidak bisa ditopang kebun kelapanya.
Pohon kelapa adalah kekuatan wilayah sekitar Riau serta meyakini pohon-pohon ini bisa membuat kehidupan petani serta masyarakat setempat jauh lebih sejahtera. Masyarakat harusnya bisa berbuat lebih banyak daripada sekadar menjadi pedagang kopra yang sifatnya datang dan pergi (beli kopra dari petani, lalu meninggalkan mereka untuk menjualnya di tempat lain.
Berpijak dari kesadaran itulah kemudian PT Sambu Group mengembangkan model bisnis yang sekarang populer dengan sebutan social entrepreneur yang berkelanjutan. Yakni berada di sekitar komunitas para petani, lalu berbisnis dengan cara menerima serta membeli buah kelapa mereka dalam bentuk apapun, untuk kemudian diolah menjadi produk yang bernilai tambah lewat pabrik yang didirikannya di tengah-tengah perkebunan kelapa milik rakyat.
Jadi, PT Pulau Sambu, mengambil posisi sebagai pihak industri yang bertindak sebagai buyer dan manufacturer dari para pemasoknya, lalu menyediakan segala resources yang dibutuhkan untuk pengolahan buah kelapa. Singkatnya, perusahaan PT Sambu Group ini membangun ekosistem dalam industri kelapa terintegrasi agar semua pemangku kepentingan. Dengan cara itu sustainability terbukti bisa diwujudkan. [***]

Tags: