Kebijakan Zonasi Vs Ilusi Sekolah Favorit

Oleh:
Uzlifatul Rusydiana, SPd
SDN Magersari 2 Kota Mojokerto

Predikat sekolah favorit dan tidak favorit, masih melekat dalam benak sebagian besar masyarakat umum. Meskipun indikator sekolah favorit itupun tidak jelas standartnya. Value itu bergantung pada mindset yang terlanjur terbangun.
Personifikasi sekolah favorit identik dengan sarana fisik, daya dukung fasilitas belajar, status sosial, sampai biaya mahal. Ini sekaligus menjadi pertimbangan masyarakat untuk berbondong-bondong memperebutkan kursi sekolah dengan indikator tersebut.
Orang tua siswa, rela merogoh saku dalam – dalam demi biaya sekolah mahal. Selain itu, sebuah prestise yang dapat dibanggakan, manakala putra mereka berhasil masuk ke sekolah favorit.
Fenomena sekolah favorit ini jelas mendiskreditkan sekolah lain yang dianggap tidak favorit. Karena standart yang tidak jelas ini dapat menimbulkan ketimpangan sosial, yang kian hari semakin dipertajam dengan adanya sekolah percontohan. Notabene, dipilih berdasarkan kategori “favorit” tadi. Hal ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal 5 yang berbunyi “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Melihat dikotomi dalam dunia pendidikan ini, pemerintah terkesan melakukan pembiaran. Fenomena ini jelas merupakan bentuk pembodohan publik karena tidak mencerminkan potret pendidikan di Indonesia secara menyeluruh. Bagaimana kemudian wajah sekolah pinggiran yang kurang mendapat sentuhan dan jauh dari Standar Nasional Pendidikan (SNP). Ini Sungguh tidak adil. Pemerataan pendidikan di segala aspek adalah PR besar dalam dunia pendidikan. Untuk ini, pemerintah harus mampu menjadi motor penggeraknya.
Menjawab fenomena di atas, sesungguhnya ada sebuah langkah strategis yang bisa diimplementasikan. Menteri Muhadjir Efendy menyampaikan gagasannya terkait formula sistem zonasi yang akan diterapkan dalam seleksi masuk sekolah (Harian Nasional, 6/12/2016). Penulis sangat menyambut baik langkah Mendikbud Muhadjir Efendy untuk menerapkan sistem zonasi tersebut.
Menurut Muhadjir, ini dilakukan guna menghapuskan kastanisasi dengan adanya stigma sekolah favorit dan non favorit. Penulis menilai statement yang diwacanakan oleh Mendikbud adalah sebuah sinyal positif sebagai upaya solutif terkait problem dikotomi yang menimpa sistem pendidikan di tanah air.
Sistem zonasi ini sudah diterapkan bertahun-tahun di beberapa negara maju semisal Jepang. Akemi Nazawa, kepala sekolah Kyoto City Kinrin Elementary School dalam ceramahnya Rabu, 27 April 2016 menyatakan bahwa pendidikan di Jepang menggunakan sistem regional.
Ketika ada sekolah di suatu daerah, maka semua masyarakat di sekitar sekolah itu harus ikut bertanggung jawab. Pemerintah daerah diberi kewenangan, untuk menentukan seorang siswa akan sekolah di mana sesuai dengan blok atau distrik tempat tinggal siswa, terutama untuk SD dan SMP (program wajib belajar). Selain itu, orang tua dilarang menyekolahkan anaknya ke distrik lain.
Proses ini, sejatinya menjadi langkah riil untuk mencounter berbagai asumsi negatif terhadap dikotomi pendidikan, yang nampak nyata di masyarakat kita. Dengan sistem zonasi, jelas tidak akan ada predikat sekolah favorit atau non favorit.
Hal inilah yang akan berdampak positif pada dinamika pendidikan di Indonesia. Upaya pemerataan terhadap mutu pendidikan, merupakan gambaran nyata dari sistem ini. Dengan demikian, pendidikan akan berjalan sesuai amanat Undang-Undang.
Tidak mudah untuk merealisasikan ini, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan harus memikirkan dengan serius gagasan ini, sehingga tidak hanya menjadi sebuah wacana yang menguap begitu saja tanpa kerangka yang jelas.
Pemerintah daerah juga harus diberi otonomi untuk membuat peraturan, dan menentukan seorang siswa harus bersekolah di tempat yang mendekati tempat tinggalnya. Ini dapat dilakukan secara bertahap, dalam jangka panjang. Ketika pemerintah sudah benar-benar siap melakukan pemerataan terhadap kualitas pendidikan di setiap sekolah. Selain itu, sistem zonasi harus dibarengi dengan pemenuhan 8 Standar Nasional Pendidikan.
Standar Nasional Pendidikan sendiri berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Oleh karenanya, mutlak harus dimiliki oleh setiap sekolah. Sehingga mampu menghilangkan kesenjangan kualitas pemenuhan SNP antar sekolah.
Pemenuhan standar mutu yang sama antar sekolah akan melahirkan kompetisi yang sehat, menghapus dikotomi dan diskriminasi dalam dunia pendidikan. Dengan begitu, asumsi sekolah favorit dan non favorit akan lenyap dengan sendirinya. Selaku pendidik, harus juga menjadi orientasi untuk mengasah keilmuan. Hal ini penting, guna menyatukan persepsi dalam satu muara, yaitu mewujudkan tujuan nasional pendidikan.
———- *** ———–

Tags: