Kebijkan MDT Kusta Dinilai Kurang Tepat

Prof. Dr. Indropo Agusnia

Prof. Dr. Indropo Agusnia

Surabaya, Bhirawa
Kebijakan multiple drug therapy (MDT) untuk menangani masalah kusta di Jatim dinilai kurang tepat oleh pakar kesehatan. Peneliti Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga Prof. Dr. Indropo Agusnia, dr., Sp.KK (K) menilai bahwa kebijakan MDT tidak efektif dalam mengatasi kusta.
Indropo mengaku, kebijakan MDT yang dimaksud adalah memberikan obat kepada semua warga yang tinggal di daerah endemis penyakit kusta. Pihaknya menilai bahwa kebijakan itu belum tepat sasaran. Kemenkes bekerjasama dengan WHO, bahwa warga yang tinggal di daerah endemis kusta diberi obat MDT oleh WHO. Sakit maupun tidak sakit, warga harus minum.
”Tetapi, bagi kami peneliti di perguruan tinggi, seharusnya WHO memberikan obat itu kepada target tertentu. Kebijakan seperti itu memang bisa menurunkan angka penderita kusta dalam waktu 1-2 tahun ke depan, tetapi nanti mendekati lima tahun akan muncul pasien-pasien baru. Jadi, itu sifatnya hanya menunda sementara,” tegasnya.
Berdasarkan studi yang pernah dilakukan dengan tim peneliti ITD UNAIR di sebuah daerah endemis kusta di Jatim pada tahun 2004 lalu, telah ditemukan adanya bakteri Mycobacterium leprae yang hidup di akar-akar tanaman di sepanjang sungai yang melewati kawasan tersebut. Namun, hingga kini, ia bersama tim peneliti UNAIR belum bisa membuktikan apakah kuman tersebut berdampak langsung kepada warga sekitar.
“Kami menyebutnya sebagai non-human resources of Mycobacterium leprae atau sumber penularan yang berasal dari lingkungan sekitar. Namun, kita belum bisa membuktikan bahwa kuman yang ada di lingkungan itu telah membuat warga di sekitarnya terjangkiti kusta,” tuturnya.
Menurut Indropo, hal terpenting untuk mengendalikan jumlah penderita penyakit kusta adalah dengan mencari dan mencegah sumber penularan. Mencari kasus baru akan mempermudah bagi tenaga kesehatan untuk melakukan pengobatan, sehingga penularan kusta tidak cepat menular ke orang lain. “Penyakit kusta yang menular adalah kusta tipe multi balcillary atau kusta tipe basah. (Hal) yang kita anggap sebagai sumber penularan adalah penderita kusta. Di dalam tubuh penderita itu mengandung kuman dan disebarluaskan melalui percikan air liur,” Indropo.
Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Penyakit Dinkes Jatim, Asharul mengaku, saat ini diketahui secara nasional, 30 persen masyarakat yang mengidap penyakit kusta berada di Jatim. Berdasarkan data Dinkes Jatim, penderita penyakit kusta di Jatim mencapai 4.183 orang. “Sebagai tahap awal menuju eliminasi, kami akan terlebih dahulu dapat mencapai prevalensi atau penderitanya di bawah 1 per 10.000 penduduk,” ujar Ansarul
Untuk mencapai eliminasi kusta, Dinkes telah menyiapkan beberapa strategi, mulai dari tindakan aktif dalam menemukan suspek kusta, meningkatkan fasilitas layanan yang bermutu dan terjangkau, pengobatan sesuai standar, peningkatan sosialisasi, serta melakukan pemberdayaan keluarga mencegah dan mendeteksi dini kusta melalui program Cinta Keluarga atau cegah infeksi kusta pada keluarga. Dan peningkatan komitmen dari pihak politisi untuk pengambil keputusan.
Selain itu, penderita kusta dilatih untuk mandiri dalam merawat luka kusta dari tim medis. Ia menerangkan hal ini dianggap penting agar setelah mendapat arahan dari segi medis, penderita kusta bisa melakukan upaya pengobatan sendiri supaya dapat meningkatkan jejaring rujukan yang diperuntukan bagi penderita kusta.
Selain itu Dinkes Jatim juga mengintensifkan penemuan dini, terutama di daerah dengan angka prevalensi tinggi melalui kegiatan Rapid Village Survey (RVS), pemeriksaan kontak, pemeriksaan anak sekolah, pelibatan kader Aisyiyah dan Fatayat, deteksi dini oleh tenaga perawat di ponkesdes dan kegiatan lain yang meningkatan penemuan dini pasien kusta. [dna]

Tags: