Kebiri “Tukang” Perkosaan

Karikatur hukum kebiriHukuman pelaku pemerkosaan (yang dilakukan berulang-ulang) diperberat, sampai hukuman mati. Akan diberlakukan hukuman paling ringan tiga belas tahun empat bulan. Juga terdapat hukuman tambahan berupa kebiri melalui suntik kimia selama dua tahun masa obat. Ini untuk memutus perilaku seks meyimpang brutal, yang sering menyebabkan penderitaan panjang dan mendalam korban. Tak jarang berujung kematian.
Tragisnya, masih banyak penegak hukum yang berspekulasi, bahwa korban juga “menikmati.” Karena itu berbagai ahli psikologi tindak pidana, mengusulkan hukuman yang menjamin ke-jera-an. Termasuk suntik kebiri. Serta deteksi elektronik (semacam alat pantau cctv) yang ditanam di tubuh pelaku setelah usai menjalani hukuman penjara. Namun pelaku yang masih dibawah 18 tahun, tidak diberikan tambahan hukuman pemberatan.
Tambahan pemberatan hukuman diwujudkan dalam Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang). Perppu tersebut merupakan revisi kedua terhadap UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdapat dua pasal yang direvisi. Yakni, pasal 81 yang mengatur kekerasan seksual, dan pasal 82 tentang pencabulan. Hukumannya ditambah dengan pemberatan sepertiga dari ancaman hukuman.
Pemberatan ini berlaku untuk pelaku dari kalangan terdekat korban (anak). Golongan ini seharusnya melindungi anak-anak, tetapi malah berbuat sebaliknya. Pemberatan juga terhadap pelaku perkosaan secara keroyokan. Sedangkan perubahan pasal 82 tentang pencabulan. Hukuman mati diberlakukan manakala korban mengalami luka parah (misalnya gangguan jiwa, dan penyakit menular serta gangguan alat reproduksi. Lebih lagi jika korban meninggal setelah diperkosa.
Hukuman pemberatan berupa suntik kebiri, sebenarnya bukan hal baru. Jenis hukuman ini sudah dilakukan di banyak negara. Antaralain, Denmark, Inggris, Polandia dan Swedia. Di Asia, Korea Selatan sudah memulai. Dengan kebiri, tidak ada lagi syahwat libido dari ke-jiwa-an yang menyimpang. Kebiri, layak diberlakukan, mengigat bahaya perkosaan (dan pencabulan) di Indonesia sudah pada tahap mengkhawatirkan.
Maka hukuman untuk pelaku perkosaan terhadap Yuyun (di Bengkulu), pelaku dewasa bisa terancam hukuman mati. Kriterianya telah terpenuhi: korban meninggal, dan perkosaan keroyokan. Begitu pula kasus perkosaan dan pembunuhan Enno Farihah  (di Tangerang), layak divonis maksimal, hukuman mati. Sadisme (pembunuhan dengan keji) yang menyertai perkosaan, layak memperoleh hukuman maksimal.
Bagaimana tragedi perkosaan terjadi? Taklain karena karakter dan ke-jiwa-an yang menyimpang dari pelaku. Dimulai dengan pemikiran jorok, yang sering diawali oleh pemandangan terhadap pornografi, maupun porno aksi. Sehingga pencegahan tragedi perkosaan, harus dengan partisipasi aktif perempuan. Antaralain, mestilah menghindari pornografi dan porno aksi. Namun tidak dilarang melakukan sensasi pada ruang privat yang aman (kamar pribadi).
Porno-aksi dan pornografi, diduga menjadi penyebab kasus perkosaan disertai tindak kekerasan. Porno aksi, adalah situasi ke-porno-an yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Termasuk berpakaian seronok, mempertontonkan aurat. Banyak yang tergoda porno aksi, lalu melaklukan perkosaan. Sedangkan pornografi, adalah akses porno yang sengaja dicari oleh calon pelaku yang pro-aktif. Umumnya, pornografi dicari dari internet, berupa sajian konten vulgar.
Berdasar analisi google, pengunduh konten vulgar di Indonesia, hanya berselisih sedikit dengan AS. Pengguna internet di Indonesia ditaksir sebanyak 102 juta orang. Sedangkan di AS 2,5 kali lebih besar (265 juta orang). Namun pengguna internet Indonesia lebih pro-aktif membuka konten vulgar dibanding orang Amerika.        Konten vulgar bukan hanya dibuka untuk sekadar ditonton, tetapi juga disimpan sebagai “koleksi.”
Tontonan konten vulgar bisa diakses setiap saat di-inginkan tanpa perangkat internet. Karena itu ke-seksama-an perhatian terhadap sistem perlindungan anak. Terutama dari ekses pornografi, bersifat sangat urgen dan kritis. Konsekuensinya, harus dibuat peraturan yang lebih melindungi anak.

                                                                                                        ———   000   ———

Rate this article!
Tags: