Kebudayaan yang Tergadai

hutri-agustinoOleh: Hutri Agustino
Dosen FISIP UMM dan Pendiri Pondok Sinau Lentera Anak Nusantara

Krisis politik yang masih melanda deretan negara di benua Afrika dan kawasan Timur-Tengah (middle east), membuat masyarakat dunia semakin menyadari bahwa tidak banyak bangsa di dunia yang mampu bertahan sampai puluhan tahun di tengah heterogenitas etnik, ras, agama termasuk orientasi ideologi politik. Satu dari yang sedikit itu tentu negara kita tercinta, Indonesia yang masih berdiri kokoh jelang 71 tahun sejak proklamasi tahun 1945. Sebagai ilustrasi, Secara geografis, politik maupun sosiologis-terdapat beberapa kesamaan karakteristik antara Mesir dan Indonesia. Kedua negara tersebut sama-sama menjadi negara dengan luas wilayah yang melampaui luas negara-negara di kawasan, penduduk mayoritas beragama Islam, mengadopsi sistem demokrasi dari Barat bahkan sama-sama memiliki pengalaman politik di pimpin oleh rezim bertangan besi (Soeharto dan Mabarak). Tetapi, dunia kemudian bertanya mengapa transisi politik era Mubarak di Mesir tidak semulus reformasi di Indonesia era Soeharto? Berbagai analisis lintas disiplin ilmupun mengemuka di berbagai forum ilmiah-mulai dari sudut sempit di perpustakaan kampus sampai dengan seminar di hotel berbintang. Tentu, perbedaan latarbelakang disiplin ilmu meniscayakan sudut pandang yang bervariasi. Tetapi, satu hal yang menurut hemat penulis paling rasional untuk konteks perbandingan Indonesia dan Mesir-yakni, kedua negara memiliki modal kultural yang berbeda.
Sudah terlanjur menjadi konsumsi publik internasional bahwa kehidupan bangsa-bangsa di negara-negara Timur-Tengah (Middle east) sampai Afrika memiliki konteks kultural yang berbeda dengan Indonesia, walaupun sama-sama berpenduduk mayoritas muslim. Bangsa-bangsa di negara seperti Iran, Irak, Afghanistan sampai Mesir serta beberapa negara di daratan Afrika lainnya, sejak awal tidak terkondisikan secara kultural untuk hidup damai di atas heterogenisme. Fakta tersebut masih terjustifikasi oleh model resolusi konflik yang selalu mengedepankan cara-cara ekstrem seperti revolusi, kudeta atau bahkan dengan jalan perang terbuka dengan jutaan manusia meninggal sia-sia sebagaimana terjadi di Suriah dan Yaman. Berbeda dengan Mesir, Indonesia menempuh jalan yang berbeda dalam upaya moderasi perbedaan dan potensi konflik. Sejarah Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menjadi pondasi awal lahirnya negara ini telah menjadi bukti bahwa perbedaan etnik suku bangsa bukan menjadi penghalang bagi generasi masa itu untuk mendeklarasikan semangat persatuan demi tujuan utama, yakni kemerdekaan (Baca: Benedict Anderson dalam Immagined Community). Tidak hanya berhenti disitu, semangat awal tersebut segera terlegitimasi secara konstitusional dengan dipilihnya semboyan bangsa kita Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity). Momentum pemberontakan PKI jelang transisi politik dari Orde Lama menuju Orde Baru serta reformasi politik tahun 1998 yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan upaya makar terhadap kedaulatan NKRI-nyatanya tidak juga dilakukan oleh rakyat. Diakui atau tidak, masyarakat kita masih terlalu cinta dengan negara ini-walaupun kondisi dan situasi politik belum banyak membawa perubahan pada level akar rumput. Tetapi tetap saja setiap perayaan HUT Kemerdekaan, mereka tumpah ruah dalam euforia kebahagiaan. Selamatan di perempatan desa, aneka lomba, tabur bunga di TMP, pawai budaya, pentas seni dan aneka perayaan lain dilakukan secara swadaya. Lebih lanjut, predikat negara yang masih agraris dengan petani sebagai matapencaharian utama masyarakat, telah membentuk karakter yang khas jika dibandingkan dengan masyarakat pedagang dan industrialis di Timur Tengah serta Eropa Barat. Secara umum, kaum pedagang dalam iklim industrialis memiliki mentalitas lebih progresif dan terbuka terhadap perubahan-sedangkan kelompok petani di negara-negara agraris kebanyakan pasif, apalagi yang menyangkut politik kenegaraan. Oleh sebab itu, aksi anarkis saat reformasi politik waktu itu hanya terjadi di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makasar. Sedangkan di wilayah periferial, simbol-simbol negara seperti Kantor Desa, Kantor Polisi, Sekolah, Puskesmas dan sejumlah fasilitas umum lainnya tetap dalam kondisi baik-tidak ada aksi pengrusakan, pembakaran, penjarahan bahkan tindak kekerasan yang berujung pada kematian. Secara teoretis, karakter khas masyarakat itupun bagian dari produk budaya masyarakat, yang dalam konteks tersebut berarti produk budaya masyarakat agraris. Lalu bagaimana eksistensi budaya di era pragmatisme saat ini? Masihkan berada di wilayah episentrum?
Komoditas pragmatisme
Kehidupan manusia di negara-negara berkembang yang begitu pragmatis sebagai konsekuensi adopsi globalisasi secara sporadis, telah mereduksi bahkan mendistorsi nilai kultural yang telah lama merawat bangsa. Nilai-nilai luhur kebudayaan justru menjadi komoditas di tengah riuhnya desakan kapitalisme dunia. Budaya bangsa hanya menjadi pelengkap kurikulum sekolah, tersaji secara parsial, tekstual dan normatif. Menjadi bahan hafalan untuk mengerjakan soal ujian yang tidak banyak diperhitungkan di dunia kerja apalagi kehidupan di masa depan. Cerita budaya bangsa hanya menjadi obrolan kecil di warung kopi bagi kelompok manula ditengah popularitas media sosial, game online, mall atau bahkan tempat karaoke. Sopan-santun, saling menghormati dan menghargai, spirit gotong royong, kebersamaan, kesetiakawanan semakin jauh dari kehidupan kaum muda, baik yang awan maupun yang mengklaim dirinya kelompok terdidik. Pementasan wayang, ludruk dan ketoprak sering tersabotase untuk melegitimasi kekuasaan politik penguasa-bukan mengabarkan berita tentang pentingnya perdamaian, kerukunan dan keharmonisan di tengah keragaman. Motif baju batik yang awalnya begitu sakral, atas nama kepentingan ekonomi dan popularitas-harus rela di stempel logo-logo tim sepak bola Eropa yang secara historis terlahir sebagai kaum imperialis bagi bangsa kita.
Lebih dari sekedar itu, paradigma pemerintahpun telah gagal memahami betapa pentingnya eksistensi budaya bagi keberlangsungan bangsa. Hal tersebut tampak dari penggabungan Kementerian Pendidikan dengan Kebudayaan atau pernah Kementerian Pariwisata dengan Kebudayaan. Kebudayaan menjadi benda mati saat masuk dalam kekuasaan sistem pendidikan yang normatif dan sering menghamba pada kekuasaan politik. Kebudayaan menjadi komoditas meraup devisa saat menjadi sub-ordinat sektor pariwisata. Kebudayaan hanya artefak yang dipamerkan untuk wisatawan demi keuntungan ekonomi-bukan atas nama identitas dan semangat kebangsaan. Kebudayaan menjadi terombang-ambing oleh tafsir penguasa politik yang dangkal. Sampai kapan negara ini akan terus mendekonstruksi identitas kultural? Hanya waktu yang bisa menjawab.

                                                                                                                ————- *** ————-

Rate this article!
Kebudayaan yang Tergadai,5 / 5 ( 1votes )
Tags: