Kedelai Melonjak Lagi

Pemerintah akan melanjutkan men-subsidi selisih harga kedelai sampai akhir tahun (2022) ini. Sedangkan pengrajin tempe (dan tahu) dalam negeri coba bertahan dalam perebutan kedelai global. Sebagian pengrajin sudah memilih (tiada cara lain) berhenti produksi sementara, sampai geolak mereda. Hingga kini, kedelai sebagai bahan utama menu “wajib” makanan rakyat, mengalami kelangkaan pasokan. Harganya melejit. Pemerintah mulai coba menambah areal tanam. Tapi masih perlu teknologi untuk menghasilkan kedelai kualitas global.

Ironisnya, kebutuhan kedelai sangat bergantung (hampir 90%) pada impor. Terutama dari Amerika Serikat, dengan nilai transaksi impor mencapai US$ 1,2 milyar! Begitu pula berladang kedelai lokal (dengan sistem tanam palawija unggul) belum menjadi program pemerintah. Lebih lagi, keuntungan menanam kedelai sangat kecil (Rp 1 juta per-hektar). Sedangkan menanam kacang hijau bisa memperoleh Rp 5 juta. Maka ketersediaan kedelai makin tidak terjamin.

Begitu pula hasil panen kedelai lokal juga tidak diminati pengrajin. Karena tidak menguntungkan secara kalkulasi dagang. Kedelai lokal tidak bisa optimal mengembangkan badan tempe. Walau memiliki aroma lebih sedap. Tiap kilogram kedelai lokal hanya menghasilkan 1,4 kilogram tempe. Sedang 1 kilogram kedelai impor bisa menghasilkan 1,8 kilogram. Sedangkan kedelai lokal biasanya untuk campuran pembuatan tahu, karena aromanya yang khas.

Realitanya, harga kedelai lokal lebih mahal. Kalkulasinya, harga kedelai impor lebih murah. Sehingga pemerintah harus mensubsidi harga kedelai lokal untuk mencapai ke-ekonomi-an tanaman kedelai. Setelah diberi subsidi langsung, saat ini harga kedelai lokal dipatok sebesar Rp 10 ribu per-kilogram. Harga mengacu pada nilai tebus oleh pengrajin, sebesar Rp 11 ribu. Padahal harga riil sudah mencapai Rp 13 ribu. Sehingga masih terdapat selisih ke-mahal-an Rp 2 ribu per-kilogram. Ini yang meng-ganggu pengrajin inudtsri kecil dan mikro (IKM) tahu, dan tempe.

Ke-mahal-an yang terus menerus (sejak bulan Pebruari 2022) menyebabkan pengrajin IKM tak mampu mengendalikan produksi. IKM dengan kapasitas di bawah 20 kilogram per-hari tidak mampu bertahan. Sekitar 30 ribu IKM tempe dan tahu, sudah tutup usaha. Sedangkan yang lebih dari 50 kilogram per-hari harus pintar “bersiasat.” Yakni, tidak menaikkan harga, tetapi memperkecil ukuran (berat) kemasan jual. “Bersiasat,” agar tidak kehilangan pelanggan, sekaligus mempertahankan nafkah pada masa resesi global.

“Siasat” yang sama juga dilakukan pedagang aneka usaha mikro dan ultra-mikro (UMUM) panganan berbahan tempe dan tahu. Maka dibutuhkan campur tangan pemerintah melindungi IKM pengrajin tahu dan tempe. Serta pedagang gorengan tahu tempe Usaha Mikro dan ultra-mikro (UMUM). Sebagai unit yang lemah, patut memperoleh perlindungan, dan fasilitasi usaha.

Pemerintah dan pemerintah daerah memberi fasilitasi UMKM, sesuai prinsip Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2008 Tentang UMKM. Pada pasal 17 huruf b, dinyatakan, “memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana, produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan bagi produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.”

Terdapat frasa kata “bahan baku,” yang sering mengguncang usaha mikro dan kecil unit pengrajin tempe dan tahu. Pemerintah juga berkewajiban melaksanakan mandatory Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Selama ini pengrajin tempe (dan tahu) tak berdaya diguncang harga kedelai global. Konon, kedelai bukan hanya sebagai food (bahan pangan manusia), tetapi juga feed (pakan hewan).

Pengrajin tahu dan tempe, seyogianya dipahami sebagai “usaha tertentu yang strategis.” Sehingga layak diupayakan ketersediaan bahan baku lebih sistemik.

——— 000 ———

Rate this article!
Kedelai Melonjak Lagi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: