Kegaduhan Kabinet dan Prospek Krisis Listrik

Ani Sri RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Perombakan jajaran kabinet telah dilakukan Presiden Joko Widodo memasuki 10 bulan usia pemerintahannya. Presiden Jokowi menginginkan perombakan membuat kabinet makin terkonsolidasi untuk dapat bekerja efektif melewati masa sulit perlambatan ekonomi. Rakyat punya harapan serupa dengan presiden mereka. Perombakan kabinet pun seharusnya menjadi obat mujarab, kunci untuk mengembalikan kepercayaan pasar dan investor di tengah ketidakpastian perekonomian global.
Namun, kegaduhan dan keriuhan justru dipertontonkan jajaran internal pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli yang baru beberapa hari dilantik sudah mengkritik rencana Menteri BUMN menyetujui Garuda Indonesia untuk membeli 30 unit Airbus A350. Alasannya, langkah itu akan merugikan Garuda sendiri. Apalagi, kata Rizal, rute-rute yang dipilih maskapai tersebut sangat tidak menguntungkan.
Tentu pernyataan Rizal membuka ruang konfrontasi dengan Menteri BUMN Rini Soemarno. Bahkan Rini menyatakan jangan ada yang mencampuri Garuda di luar Kemenko Perekonomian. Tak berhenti sampai di situ, Rizal juga mengajak Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk berdebat di depan publik tentang proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt. Itu berawal ketika Rizal melontarkan kritik bahwa proyek tersebut tidak realistis. JK kemudian menanggapi bahwa Rizal tidak paham.
Kebisingan percuma
Sesungguhnya wajar belaka bila terjadi perbedaan pendapat di dalam kabinet atau pemerintahan. Yang tak wajar, juga tak etis, perbedaan pendapat berujung pada konfrontasi. Lebih tak wajar lagi bila perbedaan pendapat tajam itu dibawa ke ruang publik. Alangkah indahnya bila saling kritik dan koreksi dalam kabinet dilokalisasi dalam sidang kabinet. Dalam sidang kabinet itu silakan para menteri berdebat sekeras-kerasnya demi mencari solusi terbaik buat rakyat. Ini penting agar ketika mencapai ruang publik, kabinet satu suara.
Sebenarnya tidaklah elok rasanya jika Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli melemparkan tantangan debat terbuka kepada atasannya, Wakil Presiden Jusuf Kalla. Para menteri adalah pembantu presiden, yang dipilih rakyat secara langsung dalam satu paket bersama wakil presiden. Sebagai anggota kabinet, semestinya Menteri Rizal bisa menjaga emosi ketika disindir atasannya, Wakil Presiden Jusuf Kalla, agar tak mengurusi perkara di luar bidang tanggung jawabnya.
Bukannya legowo disentil atasan, Menteri Rizal malah bersikap tak etis: menyerang JK yang menggagas proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt. Sebagai mantan Menteri Koordinator Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal semestinya paham akan tugas pokoknya. Menantang debat terbuka ihwal proyek listrik yang sejatinya sangat diperlukan rakyat banyak itu niscaya akan menjadi bumerang baginya. Apalagi ternyata Presiden Joko Widodo serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, bawahannya, berkukuh tidak akan merevisi target pembangunan pembangkit listrik tersebut.
Menunjukkan sikap frontal terhadap atasan niscaya membuat publik ragu akan solidnya kabinet baru Jokowi. Apalagi Rizal melontarkan tantangan itu pada pekan-pekan pertama masa jabatannya. Ia semestinya sadar bahwa tugasnya sebagai menteri sangat berbeda dengan ketika dirinya masih menjadi pengamat ekonomi. Betapapun kontroversial pendapatnya, tak ada urusan. Namun kini ada implikasi serius dari setiap larik statement yang ia keluarkan.
Kritik terhadap kebijakan kolega, bahkan keputusan atasan, tentu saja sangat diperlukan. Mungkin saja kekhawatiran Rizal ada benarnya. Setelah mempelajari secara saksama, mungkin ada kongkalikong di balik pengadaan proyek listrik itu. Rencana pembelian 30 pesawat boleh jadi harus dibatalkan karena hanya membikin merah buku Garuda. Bukan pula mustahil ada pejabat “bermain” dalam proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Namun seyogianya hal itu ia sampaikan di forum yang sepatutnya, misalnya sidang kabinet, baik sidang pleno maupun terbatas. Tak puas di sidang kabinet? Silakan appeal: khusus menghadap Presiden Jokowi. Jelaskan kepada Presiden apa yang sesungguhnya terjadi berikut implikasi buruknya bagi negara. Biarlah Presiden yang bertindak.
Rupanya ia lupa, ketika berbicara bukan lagi sebagai pengamat ekonomi atau pengkritik kebijakan pemerintah. Sebagai menteri, dia adalah bagian dari pemerintahan sekarang. Dan Kalla adalah wakil presiden yang secara struktural adalah atasannya. Maka tidak sepantasnya ada ucapan seperti itu.
Sampaikanlah kritik secara santun dan proporsional kepada pemerintah, sesama menteri, Wakil Presiden, dan bahkan Presiden. Di sisi lain, Presiden sebagai konduktor orkestra kabinet mesti menjaga harmoni nada yang sampai ke telinga publik. Presiden mesti memastikan kepada anggota orkestra yang memainkan nada sumbang untuk tak lagi mengulang hal yang sama. Tak masalah bila konflik yang tercipta ialah konflik yang produktif menghasilkan solusi atau kebijakan buat rakyat.  Namun, alih-alih produktif, konflik dalam kabinet justru menghadirkan kebisingan yang tak perlu.
Krisis listrik, Indonesia bangkrut
Ada satu isu yang semestinya dibicarakan dengan serius agar tidak tenggelam dalam kegaduhan polemik di kabinet, yakni krisis listrik. Ancaman krisis listrik makin mendekati kenyataan dan antisipasi terhadap ancaman itu tidak mungkin hanya diatasi dengan berdebat dan berpolemik tanpa tindakan cepat. Ancaman krisis listrik telah menjadi kekhawatiran sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2018, krisis listrik akan melanda seluruh negeri. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat bicara soal rencana ground breaking Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang mengingatkan, Jawa Tengah akan mengalami krisis listrik pada 2017. Secara nasional, dalam kurun waktu lima tahun mendatang harus tersedia suplai listrik 35.000 MW. Jika tidak, Indonesia akan mengalami era byarpet. Sektor industri akan terpengaruh dan dampak berganda akan memukul seluruh sektor di tanah air. Ancaman Indonesia lumpuh dan bangkrut akibat krisis listrik bukan sekadar wacana bombasme, namun sungguh-sungguh ancaman serius.
Kita seharusnya memanfaatkan waktu yang tinggal sedikit tersedia itu agar ancaman itu tidak terjadi. Dalam konteks antisipasi ke depan itulah, isu soal suplai listrik berikut kesiapankesiapan untuk memenuhi kebutuhan listrik 35.000 MW itu jangan hanya jadi polemik. Indonesia harus bergegas dan tidak membuang waktu. Ada persoalan dana. PLN tidak mampu menyediakan tambahan listrik setiap tahun sebesar 5.000 MW karena keterbatasan dana. Dengan model kerja sama membeli listrik dari pihak swasta, PLN masih kekurangan suplai listrik 1.000 MW per tahun. Dengan persoalan segenting itu, sangat disayangkan jika energi para menteri dan pemimpin-pemimpin negeri ini hanya tersita untuk mengurusi pertengkaran dan alpa menghasilkan strategi solutif yang aplikatif.
Apabila tidak ada tindakan dan usaha darurat, krisis listrik diprediksi bakal datang lebih cepat, yakni pada 2016. Menurut data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), saat ini masih ada sekitar 20 persen atau sekitar 40 juta rakyat Indonesia yang belum menikmati fasilitas listrik. Hingga 70 tahun merdeka, para pengelola negeri ini hanya bersikap prihatin dan sibuk berdebat tanpa menelurkan solusi nyata yang dapat dirasakan masyarakat.
Kebanggaan tentang kekayaan alam Indonesia berikut keanekaragaman sumber daya alam luar biasa hanya menjadi bahan ironisme selama tujuh dekade karena hingga kini kekayaan itu tidak mewujud dalam kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Karena itu, daripada ramai gaduh dan ribut, segera semua pihak, termasuk masyarakat, menerapkan pola tindak dan pola pikir ala manajemen krisis. Menetapkan prioritas dan mengantisipasi ancaman krisis listrik.

                                                                                  ————————– *** —————————-

Tags: