Kegagapan Menerapkan PSBB

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi tumpuan harapan bagi bangsa ini untuk segera keluar dari masa Pandemi Covid-19 yang sudah dua bulanan ini membekap kehidupan sosial ekonomi masyarakat, terhitung dari ditemukan kasus pertama di Indonesia terkonfirmasi positive Covid-19 Maret lalu.
Sayangnya, sampai hari ini tidak ada yang tahu sampai kapan kondisi akan berlangsung. Bahkan penerapan PSBB yang dilakukan di beberapa daerah juga belum bisa memandu sampai kapan masyarakat harus tetap di rumah saja. Beberapa daerah yang menerapkan PSBB juga memiliki gaya sendiri-sendiri yang membuat dampak PSBB bagi masing-masing daerah juga berbeda-beda. Sementara pemerintah pusat yang seharusnya menjadi pusat komando segala kebijakan justru terlihat lebih lembek dan gagap dalam mengambil keputusan. Dalam mengatur soal mudik misalnya, Awalnya pemerintah tidak mempersoalkan warganya yang mudik, hanya sebatas mengimbau agar tidak mudik. Namun kemudian kebijakan itu direvisi dengan melarang warga untuk melakukan mudik. Bukan itu saja, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan juga memberikan relaksasi (pelonggaran) kepada armada transportasi public untuk beroperasi. Sikap maju mundur pemerintah dalam membatasi mobilisasi warga tersebut jelas akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap kesungguhan pemerintah dalam menerapkan kebijakan PSBB.
Bangsa ini sesungguhnya bisa belajar dari Negara-negara lain yang sudah bisa memulai tahapan kehidupan baru melewati masa pandemic Covid-19. Selain Cina yang sudah mulai menggeliat roda perekonomiannya, kita bisa belajar ke Korea Selatan yang malah sudah memulai menggelar Liga Sepakbola-nya, atau ke Vietnam yang sudah melakukan pelonggaran aktivitas ekonominya. Hampir sama resep yang ditawarkan dari Negara Negara yang sudah membaik kondisinya, apa itu resepnya? Tidak lain adalah kedisiplinan dan kepatuhan warganya terhadap larangan yang dikeluarkan pemerintah Negara setempat.
Nah bagaimana dengan negeri ini? Harus diakui, belum ada satu pun pihak yang bisa meyakinkan bagaimana peta jalan yang harus ditempuh dalam menangani penyebaran virus covid-19. Kalaupun hari ini PSBB dianggap sebagai obat mujarab dalam mengatasi pandemic ini pun sesungguhnya masih menyimpan misteri tentang tingkat keberhasilan. Namun inilah cara terbaik yang bisa dilakukan ketika vaksin Covid-19 belum bisa ditemukan.
Hemat penulis, sesungguhnya para pemimpin bangsa ini tahu betul apa yang harusnya dilakukan, kalau ingin segera keluar dari pandemic ini dengan mengaca pada apa yang dilakukan Negara Negara lain di dunia. Selain kedisiplinan dan kepatuhan warganya, yang tidak kalah penting adalah ketegasan pemerintah dalam mengeksekusi aturan yang dibuatnya.
Inilah problemnya, pemerintah tidak memiliki ketegasan dan kepercayaan diri untuk berbuat, maka yang terjadi kemudian adalah pemerintah menjadi serba tanggung dalam membuat aturan dan merealisasinya. Kita masih ingat persis, bagaimana bingungnya para pimpinan negeri ini ketika harus mengambil keputusan sebelum PSBB dianggap sebagai pilihan jalan yang terbaik yang sesuai dengan perundang-undangan yang ada. Publik sempat dibingungkan dengan istilah lockdown yang kemudian dianggap terlalu ekstrem untuk menangani wabah pandemic Covid-19. Sejak awal banyak daerah yang sudah mengajukan penerapan PSBB sebagai jalan membendung penyebaran Covid-19. Namun pemerintah pusat terlihat mengulur waktu untuk menyetujui penerapan PSBB. Kesan lamban dalam menanganai penyebaran Covid-19 jelas secara telanjang dapat dibaca dari realitas ini.
Kegagapan menerapkan aturan di satu sisi dan kejaran jumlah korban yang terus melaju cepat membuat terjadi kepanikan di sana sini. Di level pengambil kebijakan pun terjadi saling tabrak regulasi dan aturan dalam mengimplementasikan aturan. Sementara di tengah masyarakat pun terjadi kepanikan yang luar biasa dalam menyikapi kondisi ini.
Kasus penolakan pemakaman jenasah pasien positif covid-19, atau pengucilan bahkan penolakan tenaga kesehatan untuk pulang ke rumah adalah sekian imbas kepanikan yang ada di masyarakat.
Realitas tersebut jelas tidak boleh terjadi dan menjadi keprihatinan kita bersama. Namun itulah ongkos sosial yang harus dibayar ketika informasi mengalir demikian liarnya yang bahkan diperparah dengan paparan hoaks yang hadir dari segala penjuru mata angina. Sementara pejabat pemerintah berikut jajarannya lebih asyik meng-up date status medsosnya dibandingkan memastikan bahwa masyarakat sudah mendapatkan asupan informasinya secara cepat dan akurat.

Tanggung Jawab Bersama
Sungguh tidak ada yang berharap masa pandemic covid-19 ini akan berlarut-larut. Namun sayangnya, tidak semua mau menyadari kalau semua anggota masyarakat sesungguhnya punya peran sama besar dalam mengatasi penyebaran virus Covid-19.
Kita dipertontonkan betapa masih banyak anggota masyarakat yang justru membuat segala potensi kekuatan terbuang sia-sia. Bagaimana tidak, kita sering menyaksikan energi pemerintah banyak tersita untuk sekadar membubarkan kerumumnan, atau melakukan operasi agar anggota masyarakat tidak berkeliaran kemana-mana. Padahal kalau persoalan itu bisa selesai di level masyarakat, maka energy pemerintah bisa dikonsentaraisak pada hal-hal yang lebih startegis lainnya. Artinya, butuh gerakan sosial dari bawah bahwa persoalan Covid-19 akan sangat ditentukan oleh bagaimana masyarakat mengelola dirinya. Di beberapa daerah, ada sebenarnya gerakan masyarakat di desa-desa yang secara sadar membentengi diri dari ancaman wabah virus ini. Kesadaran semacam itulah yang harus menjadi kabar baik yang menghiasai media sosial kita.
Gerakan ini bisa dibangun mulai dari struktur yang paling bawah yaitu di wilayah RT/RW. Dengan demikian, pemerintah daerah cukup mendorong masing-masing RT/RW melakukan pengawasan kepada wilayahnya masing-masing. Sementara pada sisi lain, pemerintah dengan aparat hukumnya melakukan penegakkan hukum secara tegas.
Ini perlu ditegaskan mengingat, soal sanksi dalam PSBB masih menjadi misteri yang tidak tahu kapan akan diterapkan. Bahkan kita lagi-lagi masih mendengar bahwa sanksi tegas akan diterapkan pada saat PSBB fase kedua nanti. Ini menunjukkan kalau pemerintah tidak memiliki kepercayaan diri untuk menerapkan sanksi.
Jangan jangan, pemerintah baik pusat maupun daerah masih belum sepenuhnya menyadari bahwa covid-19 ini adalah kasus yang harus secara serius diselesaikan. Tengara ini terlihat dari lemahnya implementasi PSBB ke tengah masyarakat. Pada wilayah lain, keengganan warga untu disiplin dan patuh pada larangan pemerintah bisa jadi karena publik tidak mendapatkan konfirmasi secara meyakinkan dari pemerintah terkait nasib kehidupannya.
Ketika pemerintah melakukan sejumlah pelarangan yang berimplikasi sangat serius dalam kehidupan perekonomian ekonomi keluarga, namaun pemerintah tidak secara sigap bertanggung jawab terhadap nasib warga yang sudah langsung terdampak Covid-19. Pemerintah masih terlalu asyik menghitung alokasi anggaran yang disiapkan untuk menangani dampak Covid-19. Namun pemerintah tidak menunjukkan kesigapannya dalam merespon dampak yang bisa serta merta dirasakan masyarakat.
Pemerintah masih selalu direpotkan dengan akurasi data yang dimilikinya. Pemerintah juga lebih senang berwacana menjanjikan sejumlah anggaran yang akan diberikan kepada warga terdampak Covid-19. Pemerintah lupa, bahwa persoalan makan itu tidak bisa menunggu. Kelambanan pemerintah untuk mejamin kehiduapan masyarakat inilah yang membuat warga pun mencoba bertahan hidup dengan tetap melakukan aktivitas.
Beruntunglah, berbagai pihak ada yang bergerak memberi bantuan bantuan sosial kepada warga yang terdampak, namun sampai kapan itu bisa berlangsung.
Kehidupan ini tidak berhenti hanya satu dua hari saja. Pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari warga yang terdampak harus sudah tergambar secara jelas. Pemerintah jangan sekadar menghipnotis dengan menawarkan nominal bantuan penghias mimpi yang hanya terlihat indah di atas kertas.
Wallahu’alam Bhis-shawab

—————- *** —————-

Rate this article!
Kegagapan Menerapkan PSBB,5 / 5 ( 1votes )
Tags: