Keharmonisan Ibadah Bulan Ramadan

Abdul Azis Fatkhurrohman

Oleh:
Abdul Azis Fatkhurrohman
Mahasiswa Tafsir Hadist UIN Walisongo Semarang

Suasana harmonis yang ditimbulkan menjadi ciri khas tersendiri dari bulan suci ini. Keadaan yang seperti inilah yang seharusnya juga terjadi, tidak hanya di Bulan Ramadhan akan tetapi juga di luar itu. Kesadaran akan kebutuhan sesama yang menjadikan ciri manusia sebagai makhluk sosial, yang tidak mementingkan kebutuhan diri sendiri tercukupi, akan tetapi juga menyadari aspek kehidupan saudaranya.
Manusia sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk timbul kesadaran akan hidup bersama sangat tercermin ketika bulan ini saja. Bagaimana dengan keadaan di luar Ramadhan ?. Hal ini sebenarnya yang perlu ditinjau kembali.
Dari aspek individu, tentunya sebagian masyarakat tetap istiqomah dalam menjalankan ibadah yang dianjurkan, mulai dari yang sifatnya sunah sampai wajib. Ini merupakan hal yang biasa apabila, ditinjau dari bagaimana orang tersebut sudah biasa mengerjakan dalam kesehariannya.
Orang-orang yang dikatakan biasa, bisa diktegorikan sebagai muslim yang taat. Mereka tidak sekali kali menggampangkan ibadah-ibadah yang hanya bersifat sunah. Tentunya dalam hal ibadah perlu disadari, sebagai hamba seharusnya menjadikan hal tersebut sebagai kebutuhan primer. Perlu ditekankan bahwa ibadah tidak hanya yang bersifat hablum minallah tetapi juga hablum minanas. Yang berdasar pada prinsip selalu ada peningkatan setiap harinya.
Akan tetapi tidak bisa dipungkiri, sejalan dengan semakin berlalunya hari – hari di Bulan Ramadan, menilik di beberapa tempat ibadah, semakin hari tidak semakin bertambah, tapi malah semakin berkurang. Kesadaran akan komitmen sebagai wujud penghambaan masih sangat lemah. Perlu adanya nilai spiritualitas yang diperkuat dari dalam diri setiap orang, agar tercermin bagaimana seharusnya sikap seorang hamba.
Selanjutnya dalam aspek sosial, kita bisa menilik bagaimana keharmonisan yang terjadi. Mulai dari kalangan menengah sampai atas, mereka semua berlomba-lomba untuk memberi atau menyedekahkan hartanya. Dalam pengaplikasiannya, bisa dilihat dengan tersedianya makanan-makanan pembuka setiap hari di berbagai tempat untuk berbuka puasa.
Lain halnya penulis juga sempat bertanya kepada salah seorang takmir masjid di suatu tempat, mengenai hasil perolehan yang ketika dibandingkan di luar Ramadan. Beliau mengungkapkan hasil daripada perolehannya tentu sangat berselisih. Ia berujar bahwa itu semua merupakan berkah dari datangnya bulan Ramadan.
Di satu sisi fenomena ini cukup disayangkan. Bagaimana bisa ajaran Rosulullah SAW yang selalu menekankan untuk keadilan dan saling mengasihi sesama umat manusia seakan – akan dikesampingkan begitu saja. Kalau dapat dibandingkan dari aspek waktu dan keadaan antara bulan Ramadhan dan bulan – bulan lainnya sangatlah tidak seimbang.
Kesadaran dalam menciptakan kehidupan yang harmonis dengan saling mengasihi hanya tersorot pada bulan ini. Kemana jiwa – jiwa Ramdan ketika berada di bulan – bulan berikutnya ? Kasih kepada sesama seakan juga hilang begitu saja, tempat – tempat ibadah menjadi sepi kembali, suara lantunan Alquran yang biasa terdengar seketika lenyap dengan bergantinya bulan.
Seharusnya momen Ramadan ini menjadikan cermin dan kesadaran untuk setiap orang. Bagaimana selalu berkerja dan beramal secara seimbang. Tidak dikaitkan hanya dengan dalih Ramadan sebagai bulan yang suci, lalu dijadikan alasan untuk lebih ringan beribadah dan beramal.
Seharusnya, bagaiman kita bisa menyikapi bulan – bulan di luar Ramadan seakan-akan kita samakan, semata – mata untuk peningkatan beribadah yang dilakukan di Bulan Ramadan dan menciptakan keharmonisan antar sesama di bulan ini. Sungguh akan sangat tercermin Islam yang santun dan mengasihi. Wallaahu a’lam bi al-showaab. ***

Rate this article!
Tags: