Kejahatan Dibalik Bisnis Makanan

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Kejahatan di balik bisnis makanan semakin kerap muncul ke permukaan. Seandainya kita lebih rajin lagi mengelilingi sejumlah pasar tradisional, niscaya tidak sulit menemukan makanan yang menggunakan pengawet formalin, boraks, dan bahan pewarna tekstil. Bakso, mi basah, tahu, ikan, daging ayam, buah, dan sayuran adalah makanan sangat populer yang telah dicemari zat racun tersebut.
Melalui bahan baku murah dan berbahaya yang mereka masukkan ke makanan bisa membawa petaka bagi bangsa ini hingga berpuluh tahun ke depan. Wujudnya bukan saja merosotnya angkatan kerja, melainkan juga beban biaya kesehatan akibat beragam penyakit degeneratif. Keyataan tersebut, setidaknya membuat kita tersadar, rupanya tidak butuh cara yag rumit untuk merusak generasi bangsa ini.
Bahan berbahaya makanan
Penggunaan bahan berbahaya sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1980-an. Ia telah masuk dan bersemayam di dalam perut masyarakat konsumen sekitar tiga dekade. Namun, ironisnya belum ada tindakan tegas yang dilakukan pemerintah untuk mencegah kejahatan itu.
Mungkin karena konsumen tidak tampak berteriak kesakitan dan langsung tewas seperti korban serpihan bom teroris, sehingga pemerintah membiarkan anak bangsa ini tetap mengonsumsi makanan beracun untuk kemudian mati secara perlahan. Disusul bahan kimia dari pestisida atau bahan beracun yang secara alami ada dalam makanan.
Tragedi kejahatan di balik bisnis makanan sebagai potret buram keamanan pangan dapat terjadi mulai dari hulu hingga di hilir industri pangan (Sibuea, 2015). Apalagi dengan kondisi masyarakat saat ini sedang mengalami krisis kepercayaan, pembohongan publik dapat dengan mudah dilakukan. Untuk alasan meningkatkan sifat fungsional produk, pemakaian bahan tambahan makanan( BTM) yang tidak aman semakin tak terkendali. Korban yang timbul bercorak massal dan meminta korban nyawa manusia. Kenyataan itu makin memprihatinkan ketika peristiwa ini kerap terjadi karena kelalaian manusia yang kurang memedulikan keselamatan konsumen.
Tragis dan ironisnya lagi, selama ini penjahat-penjahat tersebut cuma dihukum beberapa bulan penjara. Hukuman bukan saja jauh dari rasa keadilan, melainkan juga jelas tidak menjerakan. Sementara generasi penerus menderita risiko cacat dan kematian, hukuman para penjahat itu tidak lebih berat daripada skors perkuliahan.
Melihat fakta yang demikian, penulis setuju dengan langkah yang diambil oleh Jaksa Agung M Prasetyo yang menginstruksikan jajarannya agar tidak kompromi terhadap pelaku kejahatan obat dan makanan. Prasetyo menyebut para pelaku akan dituntut hukuman maksimal. Pernyataan Prasetyo ialah keadilan yang sudah ditunggu-tunggu. Pernyataan itu menempatkan kejahatan makanan dan obat pada tempat yang semestinya, yakni kejahatan serius, (Media Indonesia, 15/3/2017).
Pernyataan Prasetyo sesungguhnya juga mengingatkan kita akan kebusukan kejahatan itu, meski kerap tersamarkan pemakluman atau perbandingan dengan kejahatan skala masif lainnya. Misalnya, kejahatan makanan dan obat kerap dipandang ringan karena tidak memberikan efek ketagihan ataupun mengundang perilaku kriminal lainnya seperti narkoba. Padahal, anggapan enteng itu pula yang telah ikut menyuburkan kejahatan makanan dan obat. Buktinya, bisa kita lihat, banyak kejahatan itu dilakukan bukan orang per orang, melainkan telah berbentuk jaringan. Makin menggelikan karena tenaga kesehatan, termasuk dokter, pun ikut tergiur meracuni bangsa. Itu seperti yang terjadi pada kasus vaksin palsu yang terbongkar tahun lalu.
Kasus yang sedikitnya telah membawa korban 197 bayi itu dilakukan jaringan yang terdiri dari 20 orang. Makin di luar nalar, produsen vaksin palsu itu telah beroperasi sejak 2003. Keberanian dan kebejatan tindakan mereka memang mudah dimengerti karena keuntungan berlipat. Namun, keleluasaan gerak mereka juga harus diakui karena tidak ada ketakutan akan hukum di negeri ini.
Ironisnya, seperti yang juga terjadi pada kasus vaksin palsu, tuntutan hukuman yang diberikan tidak maksimal. Suami istri pembuat vaksin palsu, misalnya, hanya dituntut 12 tahun penjara dari hukuman maksimal yang semestinya 15 tahun. Tidak mengherankan bila tuntutan tanggung macam itu membuat para penjahat tetap congkak hingga masih memiliki muka untuk mengajukan keberatan.
Tindakan hukum yang memberatkan
Pertanyaan saat ini adalah mengapa sulit memberi jaminan keamanan pangan di tengah masyarakat? Pemerintah belum bisa melakukan pengawasan melekat yang tercermin dari berbagai upaya yang dilakukan di setiap mata rantai yang diduga bisa menimbulkan masalah keamanan pangan. Mulai dari wilayah produksi, pengolahan, distribusi, hingga saat penyajian untuk konsumsi. Masyarakat berharap berbagai instansi terkait harus terlibat dalam memeriksa keamanan pangan dan memberdayakan petugas untuk melakukan penyuluhan keamanan pangan kepada penjual makanan. Selama ini pemerintah telah abai. Oleh karena itu, tidak ada tamparan yang lebih tepat untuk segera menindaknya dengan beberapa langkah.
Pertama, penegakan hukum seberat-beratnya dan setegas-tegasnya. Tentunya penegakan hukum ini bukan hanya tugas para jaksa. Para hakim sudah sepatutnya juga menyadari seriusnya skala kejahatan itu dengan menjatuhkan hukuman maksimal. Pemberian hukuman yang ringan merupakan pengkhianatan kepada bangsa dan generasi penerus. Pasalnya, jaring perlindungan yang bahkan sudah tipis itu justru ikut dikoyak di lembaga peradilan.
Kedua, tindak kejahatan di balik bisnis makanan yang kerap berulang ini jika hendak digali secara lebih kontemplatif, persoalannya menyangkut moralitas anak bangsa. Negeri yang warganya santun karena taat beragama kini mulai kurang beradab dan tak peduli keselamatan orang lain karena melakukan pembunuhan secara perlahan- lahan lewat teror formalin. Ketika persoalan kejahatan di balik bisnis makanan merebak menjadi tragedi kemanusiaan yang menelan korban jiwa, pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan kerap mereduksi persoalan dengan berdalih bahwa penyebabnya adalah keracunan makanan yang dipicu cara memasak yang tidak benar.
Ketiga, para pemuka agama diharapkan dapat berperan aktif memperbaiki moral anak bangsa ini. Mereka tidak sekedar hadir untuk mengusung ceramah agama tetapi juga memberi teladan moralitas tentang perilaku manusia.
Selain langkah kongkret menindak pelaku kejahatan di balik bisnis makanan tersebut di atas, sekiranya pada masa datang agar kejahatan di balik bisnis makanan bisa berkurang secara bermakna, maka sebagai umat beragama yang religius semestinya masyarakat pedagang makanan dan korporasi patut lebih mempertimbangkan aspek moralitas ketimbang nilai keuntungan semata dengan mengasah hati nurani untuk berperilaku jujur dalam berbisnis di bidang pangan, bukan sekadar makhluk ekonomi yang sekedar menakar segala aktivitas dari aspek untung dan rugi yang bisa mengancam keselamatan orang lain.

                                                                                                       ———— *** ————–

Rate this article!
Tags: