Kejaksaan Tinggi Jawa Timur SPDP Kasus Sipoa Grup

Lahan proyek Sipoa Grup di Sidoarjo disinyalir berstatus sengketa, hal ini yang membuat proyek mangkrak dan memicu berbagai masalah hukum.

(Terkait Dugaan Penipuan, Penggelapan dan TPPU)
Kejati Jatim, Bhirawa
Belum selesai dengan dilimpahkannya berkas dugaan kasus penipuan dan penggelapan jual beli apartemen Royal Avatar World (Sipoa Grup) senilai Rp 12 miliar ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim kembali menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dugaan kasus serupa.
Sumber internal Kejati Jatim menyebutkan ada sekitar enam SPDP terkait kasus dugaan penipuan dan penggelapan jual beli apartemen pada anak perusahaan Sipoa Grup. Ke enam SPDP ini, lanjut sumber tersebut, berdasarkan laporan dari dua korban selaku pelapor dalam kasus dugaan penipuan, penggelapan dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang).
“SPDP nya sudah dari Juni 2018 lalu kita terima dari penyidik kepolisian. Terdapat enam SPDP (enam tersangka, red) dalam kasus ini. Sesuai dengan dua laporan yang ada di kepolisian,” kata sumber internal Kejaksaan yang enggan disebutkan namanya ini, Kamis (12/7).
Laporan pertama, lanjut sumber, atas nama Dikky Setiawan (pelapor) dengan terlapor Direktur PT Graha Indah Jaya, PT Sipoa International, PT Bahtera Sungai Jedine, PT Gunacandra Immanuel Jedine Prosperiti dan PT Bali Binar Garah. Atau terlapor yakni Klemens Sukarno Candra dkk (sesuai dengan SPDP).
Untuk kasus Klemen, diceritakan sumber, sekitar 2014 pelapor dan 76 user lainnya tertarik pada promosi iklan Apertemen New Mount Afatar Apertemen yang dikerjakan oleh PT Sipoa Legacy Land dan 17 perusahaan developer lainnya. Dengan harga murah Rp 180 juta tipe 3×7 m full funiture dengan Dp Rp 12 juta dan tergantung tipe pilihannya.
Karena tertarik, pelapor diwajibkan membuka rekening baru Bank Mandiri dan membuat surat pesanan setelah DP lunas transfer ke Bank BCA An PT Kurnia Jedine Samudra. Dalam proses pesanan apertemen selama tiga tahun berlalu, terlapor dkk tidak menunjukkan bentuk fisik proyek dan progres pembangunan apertemen di lokasi Gununganyar Tambak Surabaya.
Pada 8 Februari 2018 pelapor membatalkan unitnya dengan diketahui notaris Solicah Warastuti. Setelah pembatalan, pelapor diberikan cek Bank BCA senilai Rp 58.500.000 dengan jatuh tempo pada 12 Februari 2018.
“Setelah jatuh tempo lewat, dari Bank SKP terdapat keterangan saldo tidak mencukupi. Ini dialami pelapor dan diikuti oleh user-user lainnya sehingga banyak korban yang mengalami hal serupa. Total aliran dana dari 76 user kurang lebih Rp 10.500.000.000. Merasa dirugikan, terlapor dkk lapor ke SPKT Polda Jatim,” jelasnya.
Pada kasus kedua, lanjut sumber, atas laporan dari Ronny Suwono (pelapor) yang juga Komisaris PT Bumi Samudra Jedine dan sebagai Dirut PT Kurnia Jadine Sentosa. Melaporkan Budi Santoso sebagai Dirut PT Bumi Samudra Jedine dan sebagai Komisaris PT Kurnia Jadine Sentosa.
Sumber menjelaskan, pada Agustus 2014 Ganitra Tee, Maria Hariati dan PT Bumi Samudra Jedine bekerjasama dengan PT Mutiara Karya Sukses dalam bidang pembelian tanah dengan dicantumkan dalam akta No 061 tertanggal 26-08-2014 dan dibuat di hadapan notaris Wahyudi Suyanto. Namun perjanjian tersebut atas kesepakatan bersama dibatalkan dengan akta No 027 tertanggal 25-09-2015 pada notaris yang sama.
Kemudian terlapor tanpa sepengetahuan dari pelapor pada hari yang sama membuat akta No 028 tertanggal 25-09-2015 Adendum akta pembatalan dibuat di hadapan notaris yang isinya menyimpang dari persetujuan pelapor. Yaitu, terlapor menyertakan uang hingga besarnya Rp 60 miliar. Kemudian pelapor mengonfirmasi hal itu kepada terlapor terkait kepastian yang jelas tentang dana Rp 60 miliar yang digunakan terlapor.
“Terlapor dinilai berbelit-belit dan tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kemudian terlapor dilaporkan ke polisi atas dugaan tindak pidana memalsukan dalam akta otentik dan penggelapan dana perusahaan,” beber sumber.
Dikonfirmasi terpisah perihal SPDP kasus ini, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Jatim, Richard Marpaung membenarkan adanya SPDP dari kepolisian. Sayangnya Richard enggan merincikan dengan berbagai macam alasan.
“Iya, SPDP nya kita terima sekitar Juni 2018 lalu. Selebihnya belum monitor,” singkat Richard saat dikonfirmasi. [bed]

Tags: