Kekaburan Pasar Tradisional

Oleh :
Nanang Qosim
Dosen Poltekkes Kemenkes Semarang, Peneliti di Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU Semarang

Pasar dalam lokus kebudayaan Jawa tidak semata hadir sebagai ruang pertukaran ekonomi. Ada ikhtiar memegang teguh kemanusiaan (humanisme) dalam pasar. Kesalingpercayaan tumbuh seiring transaksi yang hadir dalam pasar.

Relasi penjual dan pembeli yang terbentuk di pasar, memungkinkan hasrat yang teguh, bagaimana manusia Jawa menggenggam falsafah kehidupan yang meneguhkan integralisasi dalam diri manusia. Menurut Gertz (1973), pasar merupakan pranata ekonomi dan cara hidup. Cara hidup yang demikian membentuk suatu kebudayaan Jawa yang khas, di mana terjadi interaksi yang khas dengan yang lain (the others), yakni pembeli. Relasi itu lantas terjalin sampai di luar pasar.

Jamak ditemui, pembeli mengundang dalam hajatan kepada penjual di pasar. Penjual tidak menganggap pembeli semata konsumen yang digerakkan oleh motif ekonomis. Ada nuansa paseduluran yang muncul dari pasar. Pasar menjadi ruang humanisasi, kendati dalam struktur ruang, pasar tradisional bukanlah ruang yang memberikan kenyamanan bagi pembeli. Namun, kenyamanan di sini selalu memberikan tafsir yang plural. Kenyamanan yang dijadikan ukuran adalah kenyamanan dalam artispasial (ruang). Kondisi yang kumuh, semrawut, becek saat hujan, berdesak-desakan, parkir yang tak rapi, begitu mudah dijumpai di pasar tradisonal.

Wertheim membagi ruang di Jawa menjadi tiga; keraton, alunalun, dan pasar. Keraton menjadi simbol politik-kekuasaan, alunalun menjadi ruang publik komunal, dan pasar menjadi ruang ekonomi. Kehadiran pasar tidak dapat dilepaskan dalam struktur ruang politis. Sejarah pasar di Nusantara menyimpan sejarah kelam tentang pasar sebagai jaringan perdagangan internasional. Mula pasar di Nusantara merupakan bagian penting dari perdagangan internasional.

Berbagai komoditas dipertukarkan di pelabuhan- pelabuhan besar Nusantara. Perjanjian Giyanti (1775) mengubah paradigma pasar sebagai jaringan kedua. Marginalisasi pasar sebagai jaringan internasional dikukuhkan oleh Mangkunegara IV dengan tembang yang menyebut pedagang dengan ati saudagar yang bertendensi negatif (Antoni, 2007). Pasar kian sempit karena hanya berurusan dengan kebutuhan masyarakat yang berskala kecil. Dari situlah kemudian pasar dipisahkan dari teritorial yang gigantis.

Ia semata menjadi ruang romantik untuk menziarahi kenangan akan kebersahajaan orang Jawa. Romantisme pasar Jawa melekat menjadi memori kolektif sebagai manifestasi orang Jawa yang memiliki kesadaran kosmos, moda eksistensial transendental yang khas Jawa. Ada ungkapan menarik di masyarakat Jawa, yakni jajanan pasar.

Jajanan ini rupanya memiliki nilai sakral, manakala orang Jawa mengadakan slametan kecil-kecilan, hidangan yang disajikan adalah berupa jajanan pasar; gethuk, brondong, dll. Hal ini memungkinkan produk pasar memiliki tempat tersendiri dalam ruang kultural dan imajinasi akan harapan datangnya keselamatan. Jajanan pasar menjadi simbol untuk menggapai suatu berkah dan keberuntungan dari sang pencipta.

Goenawan Mohamad (1997) dalam esai Zarathustra di Tengah Pasar mendedahkan kondisi pasar yang bersimpang siur, di mana relasi manusia digerakkan dalam moda kapitalisme. Kesendirian dan kebersamaan menjadi narasi manusia dalam pasar. Namun, agaknya pandangan individuyangsendiridalam pasar, cuma hadir dalam pasar modern. Pasar modern tak menghadirkan relasi yang harmonis, bagaimana pelanggan tak memiliki makna apa pun bagi penjual selain relasi ekonomis.

Dalam pasar modern, manusia hadir sebagai individu yang anonim. Adanya kamera CCTV dalam pasar modern, menihilkan komunikasi yang intim antara penjual dan pembeli yang hadir melalui transaksi (tawar-menawar). Kepastian harga barang sebagai ciri khas pasar modern, menjadikan tawar-menawar sebagai komunikasi yang sifatnya transaksional-guyonan, hilang. Pembeli dan penjual hanya bertemu di meja kasir, setelah itu usai. Pasar modern dikuasai jaringan ritel (waralaba) dengan aktor yang sedikit.

Kapitalisme dalam pasar modern menahbiskan egoisme ekonomi, dengan hasrat berbagi kapital (laba) yang nihil. Sementara pasar tradisional memerikan narasi kapitalisme (atau sub-kapitalisme?) dengan aktor-aktor yang banyak, meski kecil. Kendati pasar tradisional juga menghadirkan sisi gelap aktor kapitalisme yang meraksasa, karena juga menjual produk-produk kapital yang sama dengan yang dijual di pasar modern.

Diferensiasi pasar tradisional dan modern, dalam kajian poskolonial, mewarisi pandangan- pandangan yang bias kepentingan antara Barat (kapitalisme) dan Timur (sosialisme yang humanis). Barat menghadirkan efisiensi, kecepatan, dan kemudahan, sebagai ciri khas dari kapitalisme. Sementara pasar tradisional, menyiratkan suatu makna yang ribet, namun di situlah sebetulnya hakikat manusia yang bebas memilih terbentuk.

Kuasa pembeli meneguhkan manusia yang bebas berkehendak. Pasar tradisional pada akhirnya menyimpan dualisme makna. Ia menjadi monumen sejarah yang kian terpinggirkan akibat kekalahan kapital yang khas Nusantara, namun pada sisi yang lain, merawat kolektivitas manusia Jawa yang harmonis. Ingatan pasar sebagai medium ekonomi gigantis pun sirna.

——— *** ———–

Rate this article!
Tags: