Kekerasan Anak, Saatnya Mendidik dengan Hati

Oleh :
Yudha Cahyawati
Guru SDN Wates 2 Kota Mojokerto

Kekerasan terhadap anak sepertinya sudah menjadi menu harian dalam pemberitaan media, baik cetak maupun elektronika. Hampir setiap hari kita mendapatkan informasi tentang berbagai tindak kekerasan terhadap anak: pemerkosaan, penganiyaan, pancabulan, pelecehan,  dan berbagai tindak kekerasan yang lainnya. Akibat tindak kekerasan itu, seorang anak harus kehilangan segalanya dalam hidupnya. Lingkungan sosial kita sangat tidak begitu “bersahabat” dengan anak. Anak-anak, generasi penerus bangsa terpaksa harus menjadi korban kejahatan dan ketidakadilan sosial lebih awal. Mereka bagaikan bunga yang mati sebelum berkembang.
Sampai kapan anak-anak bisa terbebas dari berbagai tindak kekerasan?. Seorang anak yang seharusnya mendapatkan jaminan dan perlindungan -baik itu sosial, ekonomi, bebas dari tindak kekerasan apapun-, mendapat kasih sayang, tapi dalam kenyataanya justru menjadi korban tindak kekerasan. Anak kerapkali mendapatkan berbagai tindak kekerasan dari lingkungan sosialnya, baik itu dari keluarga, tetangga, sekolah, orang tak dikenal, maupun teman. Bahkan bisa juga dari negara. Praktik pembiaran terhadap maraknya tindak kekerasaan terhadap anak, tanpa adanya jaminan dan perlindungan sosial dan hukum dari negara, juga termasuk dalam kategori tindak kekerasan. Pendek kata, anak menjadi korban hegemoni kekerasan struktural.
Darurat Kekerasan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahunnya. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang sifnifikan. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus. Lima kasus tertinggi dengan jumlah kasus per bidang dari 2011 hingga april 2015. Pertama, anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6006 kasus. Selanjutnya, kasus pengasuhan 3160 kasus, pendidikan 1764 kasus, kesehatan dan napza 1366 kasus serta pornografi dan cybercrime 1032 kasus.
Dalam catatan KPAI, anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan lokus kekerasan pada anak ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat. Sebanyak 78.3 persen anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat kekerasan dilakukan kepada anak lain dan menirunya. Artinya dari tahun ke tahun justru meningkat.
Melihat realitas tersebut, sepertinya kekerasan sudah menjadi bagian dari perjalanan kehidupan anak-anak. Setiap ruang sosial yang ada di masyarakat kita mulai dari yang terdekat sampai yang terjauh sangat begitu rawan tindak kekerasan terhadap anak. Kehidupan anak seperti selalu dibayang-bayangi oleh tindak kekerasan. Anak menjadi tidak “merdeka”, setiap detik, jam, hari, anak selalu dibayang-bayangi dan dihinggapi rasa takut akan munculnya tindak kekerasan. Keluarga, teman, tetangga, guru sudah tidak menjadi kelompok sosial yang aman dan menyamankan bagi kehidupan anak-anak. Data dan fakta ini menunjukkan Indonesia berada dalam kondisi darurat kekerasan anak. Karena itu, perlu ada upaya dan tindakan yang luar biasa untuk mencegah dan mengatasi kondisi tersbeut.
Mendidik dengan hati
Jika dicermati, pendidikan sekarang ini, khususnya yang di jenjang Penddikan Dasar yaitu SD dan SMP memang belum memfokuskan pada aspek perilaku siswa. Guru masih berkutat pada mengejar materi dan aspek koginitif. Meskipun sempat ada wacana di kuikulum 2013 bahwa di jenjang SD akan fokus ke aspek sikap dan perilaku. Namun hal itu belum berlaku dengan untuk semua sekolah. Tetapi apa pun atau bagaiamanapun isi kurikulum, alangkah baiknya kita sebagai pendidik memasukan nilai-nilai moral yang harus dimiliki siswa. Pun demikian ketika mengajar harus dengan ikatan hati, supaya anak didik kita lebih mudah untuk diarahkan dan diisi dengan pengetahuan. Menyentuh dengan hati. Menasehati dengan santun.
Mungkin memang mudah untuk diucapkan, tetapi tidak sulit juga jika kita mau mencobanya. Keteladanan dan cara kita menyikapi anak-anak ketika ada masalah itu menjadi point penting untuk selanjutnya. Misalnya ketika siswa melakukan kesalahan maka yang pertama kali kita intropeksi diri adalah kita sebagai guru. Cara kita memberikan konsekwensi atas perbuatan siswa tersebut harus kita pertimbnagkan usia dan karakter siswa yang bersangkutan. Apakah yang kita berikan akan memberikan efek jera atau kah malah menjadikan semakin tidak karuan.
Penguatan di keluarga
Pendidikan yang utama dan pertama sejatinya bukan ada di sekolah. Tetapi ada di rumah. Khususnya di ibu. Makanya ada yang mengatakan bahwa ibu adalah sebagai madrasah pertama bagi anak-anak. Ini memang benar sekali. Kalau kita cermati, pendidikan anak berlangsung sejak dalam kandungan. Sejak belum melihat dunia luar ini, anak sudah mendengar apa saja yang dikatakatan ayah dan ibunya. Merasakan apa yang dirasakan ibunya. Maka sangat logis sekali jika pada saat dalam kandungan si ibu sering bersedih maka, anak yang dilahirkan akan cenderung sedih. Dan yang terlebih lagi, ketika sudah lahir. Ibu yang paling banyak berinteraksi dengan anak. Peran ayah juga sangat penting. Bahkan beberapa tahun terkahir ditemukan bahwa anak yang mendapat kasih sayang yang cukup dari ayahnya cenderung memiliki IQ yang tinggi.
Sebaliknya jika anak mendapat perlakuan yang kasar, sering mendapat kekerasan dari ayah atau ibunya maka itu adalah pembelajaran yang langsung tertanam pada anak. Tidak hanya menimbulkan trauma pada jiwa anak, tetapi anak cenderung akan melakukan hal yang sama pada orang lain, teman sebayanya. Maka tidak heran jika saat ini banyak kekerasan yang dilakukan anak pada temannya atau bahkan pada orang yang lebih tua. Karena memang faktanya banyak juga ditemukan kasus kekerasan orang tua terhadap anak. Mungkin inilah akar masalah yang harus diselesaikan. Kekerasan yang dirasakan anak di keluarga atau masyarakat sekitarnya memicu mereka untuk melakukan hal yang sama. Anak-anak adalah peniru ulung yang sangat cepat.  Anak lebih mudah men-scan perilaku dan tindakan yang dilakukan orang tuanya kepada dirinya.
Maka sangat perlu untuk memberikan kasih sayang, mendidik dengan penuh cinta dalam keluarga. Anak tidak hanya dipenuhi secara materi, tetapi juga secara batiniah. Keteladanan dalam keluarga tidak bisa dinafikkan lagi. Jangan sampai anak mendapat kekerasan dalam lingkungan yang seharusnya penuh cinta. Kekerasan jenis dan karena alasan apapun tidak bisa dibenarkan, dan kekeasan itu hanya akan menambah deret panjang kekerasan yang dilakukan anak. Orang tua harus punya kendali emosi dan nalar yang sangat kuat dan panjang ketika menghadapi perilaku anak. Prinsip yang terpenting adalah mendidik anak dalam keluarga dengan penuh kasih sayang. Kesalahan apa pu yang dilakukan anak adalah tanggung jawab orang tua salagi masih di bawah umur. Orang tua harus bisa menjadi rule model bagi anak-anaknya, baik di rumah maupun di luar rumah.
Setelah keluarga dan sekolah, maka stakeholder berikutnya yang cukup memberikan pengaruh yang signifikan adalah masyarakat atau lingkungan sekitar. Anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kekerasan fisik dan non fisik (baca: verbal), maka akan berpotensi untuk melakukan kekerasan juga. Maka sangat penting untuk melakukan pembinaan kepada masyarakat agar memberikan teladan yang baik dalam bersikap.

                                                                                                       ———– *** ————

Tags: