Kekerasan di Dunia Sepak Bola

Oleh:
Ahmad Fatoni
Pecandu Sepak Bola dan Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang

BENTROK sengit antara Arema FC versus Persebaya dalam rangkaian kompetisi liga 1 2022-2023, Sabtu (1/10/2022), menyisakan cerita duka bagi sepak bola di Indonesia dan dunia. Stadion Kanjuruhan menjadi saksi kerusuhan antara suporter dan otoritas keamanan yang menewaskan sedikitnya 129 orang. Angka korban tewas masih terus bertambah hingga tulisan ini dibuat.
Pertandingan kandang tanpa kehadiran suporter lawan yang berakhir kalah, menjadi pemicu pertama tragedi. Janji klub suporter untuk nihil insiden apalagi kerusuhan, tidak terpenuhi. Terlebih, gas air mata yang digunakan polisi untuk menghalau kerusuhan adalah hal terfatal yang memicu tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola di tanah air.
Kepanikan di Kanjuruhan akibat kerusuhan disiram dengan larutan yang memedihkan mata bahkan menyesakkan napas, menjadikan ribuan penonton bergerak serentak menyelamatkan diri masing-masing, berlarian, berdesakan, bertabrakan, berhimpitan, dan akhirnya mampat di pintu keluar stadion. Mereka yang tumbang tak mendapat pertolongan segera, alih-alih terinjak-injak di jalur dan lokasi yang didera kepanikan.
Dua klub sepak bola Jawa Timur yang berlaga di Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022) memang memiliki sejarah panjang, termasuk dukungan fanatik suporter masing-masing. Akan tetapi, pertandingan Arema versus Persebaya kemarin digelar tanpa kehadiran suporter Persebaya. Klub dari Bajul Ijo sendiri baru dikenai sanksi tampil tanpa suporter untuk lima pertandingan gegara amukan suporternya dalam laga melawan Rans Nusantara di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 15 September 2022.

Bibit Kekerasan Sepak Bola
Fanatisme berlebihan yang ditunjukkan para suporter sepak bola memang sering kali membuat wajah sepak bola menjadi garang dan sangat mengerikan. Dari fanatisme kemudian lahir bibit-bibit hooligan, yaitu manusia-manusia agresif dan brutal bila tim kesayangan yang digadang-gadang untuk menang justru memetik kekalahan.
Bagi pecandu sepak bola, istilah hooligan bukanlah kosa kata asing lagi. Sebutan hooligan merujuk pada fans fanatik Inggris yang hampir di setiap pertandingan berbuat ulah, ricuh dan rusuh. Dalam banyak kasus, terlebih saat Inggris mengalami kekalahan dalam pertandingan tandang maupun di kandang sendiri, hooligan kerap berurusan dengan kepolisian.
Penyakit hooliganisme tersebut sejak lama menular ke seluruh penjuru dunia, mulai dari daratan Eropa, ujung Afrika, pedalaman Cina hingga pelosok Indonesia. Bahkan, hooliganisme di negeri ini selain mendorong anarkisme di dalam stadion, juga menyulut banalisme di luar stadion. Kisah kekerasan suporter bola, termasuk di Indonesia, melahirkan tanda tanya besar di benak kita: ada apa dengan sepak bola dan suporternya?
Kenyataannya, kabar kekerasan suporter terus mewarnai dunia sepak bola, terutama dalam pertandingan derby. Di Skotlandia, yang paling sering terjadi adalah perang antar-suporter Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers. Celtic adalah klub yang dianggap mewakili agama Katolik, sedangkan Rangers mewakili Protestan.
Masing-masing suporter siap bertaruh nyawa. Suporter Rangers sering menamakan diri Billy Boys, yakni geng yang menghabisi umat Katolik Glasgow semasa Perang Dunia I dan II. Akibatnya, derby kedua klub ini selalu panas. Pendukung kedua klub pun sering terlibat bentrok sebab setiap Celtic dan Rangers bertanding, olok-olokan suporter saling menyerang identitas agama kedua pihak.
Di Italia, pertandingan derby Inter Milan versus AC Milan disebut-sebut sebagai perang kaum miskin (Milan) melawan kaum kaya (Inter). Konteks yang sama terjadi pula di Turki. “Derby Istanbul” yang memertemukan Fenerbahce versus Galatasaray adalah pertandingan yang dianggap sebagai perang kaum miskin (Fenerbahce) versus aristokrat (Galatasaray).

Pelampiasan Kelas Proletar
Secara sosiologis, popularitas sepak bola mempresentasikan permainan kelas bawah. Maklum, media massa sebelum era 1995-an masih senang mencemooh sepak bola milik kelas proletar di Eropa, milik masyarakat Dunia Ketiga di Asia dan Amerika Latin, dan milik penduduk terbelakang di Benua Afrika.
Tulis Jim White dalam buku Manchester United; The Biography (2009), bahwa sepakbola memang tidak bisa dipisahkan dari persoalan sosial. Apa yang terjadi di antara suporter itu adalah fenomena sosial yang kompleks. Menurut survey pada 1960 terhadap 520 perusuh Inggris yang ditahan polisi menunjukkan, kelompok terbesar dari mereka adalah buruh kasar (68,1%).
Kaum buruh menyukai sepak bola karena dianggap orah raga kasar. Faktanya, sebagian besar pemain sepak bola, kendati sekarang sudah menjadi jutawan atau miliarder, berasal dari lingkungan buruh. Dengan sendirinya sepak bola menemukan akar yang kuat di komunitas buruh. Bagi mereka, kompetisi dalam sepak bola dinilai relevan sebagai sikap pelarian.
Frustrasi dalam kehidupan sosial kemudian dijadikan alasan melancarkan agresi mengingat tidak banyak sarana untuk menyalurkannya. Dalam hal ini, pertandingan sepak bola yang dipadati ribuan penonton ‘dibajak’ sebagai sarana pelampiasan. Karena itu, sesungguhnya ada mata rantai antara kekerasan dalam sepak bola dan agresi sosial tersebut.

Harapan kepada Pemerintah
Salah satu pihak yang turut bertanggungjawab memutus mata rantai itu adalah pemain. Pemain senyatanya menampilkan permainan yang menarik tanpa kekerasan. Begitu memeragakan kekerasan, dia wajib dihukum seberat-beratnya sehingga dapat meredam emosi suporter dan pertandingan bisa berjalan lebih sportif. Sikap pihak keamanan juga tak perlu berlebihan dalam menyikapi kerusuhan supporter.
Balajar dari tragedi di Stadion Kanjuruhan, kerusuhan suporter sepak bola dan aparat kepolisian bukanlah kejadian tunggal di Indonesia. Keributan suporter dan aparat keamanan adalah kejadian yang lebih nyata dari prestasi olahraganya.
Di sisi lain, sepertinya tak ada pelajaran yang dapat dipetik dalam penanganan kerusuhan sepak bola di dunia terkait penggunaan gas air mata. Ada sederet kejadian di dunia yang telah menjadi contoh buruk tragedi akibat penggunaan zat kimia ini.
Pemerintah bersama pihak terkait perlu segera mengevaluasi serta merumuskan solusi jangka panjang mencegah kasus kekerasan serupa di Stadion Kanjuruhan. Harapan dari seluruh pecinta sepak bola, pemerintah wajib mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan yang melibatkan supporter, panitia penyelenggara, dan otoritas kepolisian.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: