Kekerasan di Sekolah

karikatur ilustrasi

Dunia pendidikan Indonesia kembali diguncang tragedi, pembunuhan di sekolah! Lebih miris, karena terjadi pada sekolah menengah dengan standar disiplin tertinggi di Indonesia. SMU Taruna Nusantara di Magelang itu, bahkan di-disain berstandar semi-militer. Maka tragedi di asrama itu, menjadi pembelajaran seluruh sekolah. Jika di SMU Taruna bisa terjadi pembunuhan, bagaimana dengan asrama siswa di tempat lain?
Tak mudah bersekolah di SMU Taruna Nusantara. Berbagai ujian masuk ber-altar akademis harus dilalui. Masih ditambah tes psikologi (dan kesehatan jiwa), serta uji kesehatan jasmani. Biaya pemondokan (asrama) juga cukup mahal. Maka lazim (selama puluhan tahun), sekolah tersebut meluluskan siswa dengan kepribadian (karakter) unggul. Bahkan paling siap menjadi calon siswa pada Akademi Militer. Tetapi tiba-tiba, terjadi pembunuhan oleh sesama siswa kelas X.
Tragedi itu nyaris tidak masuk akal, di luar nalar. Karena sistem pengamanan asrama sangat ketat. Bahkan acara bebas (menonton televisi) dan penggunaan telepon selular sangat dibatasi. Juga mustahil, senjata tajam bisa dibawa oleh siswa sampai ke tempat tidur dalam asrama. Ini yang menyebabkan asrama sekolah yang lain, wajib meng-evaluasi sistem keamanan lingkungan.
Pembunuhan di SMA Taruna Nusantara, menambah panjang daftar kekerasan anak di sekolah. Berdasar data ICRW (International Center for Research on Women), pada tahun 2015, sebanyak 84% siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah. Sedangkan data pada Direktorat Pembinaan Pendidikan, sebanyak 45% siswa laki-laki menyebutkan, bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan. Hal yang sama diungkap oleh 22% siswi.
Yang mencengangkan, sebanyak 75% siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah. Berdasarkan data UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund), 50% anak mengaku pernah mengalami bullying (perundungan) di sekolah. Sebanyak 40% pelajar berusia 13 – 15  tahun mengaku pernah mengalami kekerasan oleh teman sebaya. Beberapa kekerasan di sekolah menyebabkan korban jiwa.
Tahun 2015 dan 2016, merupakan tahun kelabu kekerasan di sekolah. Ingat misalnya,  tragedi Amelia, yang terjadi di dalam kelas SD Negeri di Kendal (Jawa Tengah). Kasus yang sama terjadi di Ternate, seorang guru honorer di SMU Negeri, memukul siswa dengan mistar kayu hingga meninggal dunia. Di Nusa Tenggara Timur, (pertengahan Desember 2016), seorang pria secara brutal menyerang delapan murid SD Negeri Sabu Barat.
Keamanan (dan kenyamanan) di area sekolah, juga mesti dijaga ekstra ketat dan sistemik dengan peraturan. Karena bukan hanya murid yang bisa menjadi korban. Guru juga bisa menjadi korban keberingasan siswa. Seperti terjadi di SMK Negeri 2 Makassar. Seorang siswa sableng (dengan moral dan tingkat akademis rendah) bersama orangtuanya memukuli seorang guru hingga berdarah-darah. Kasus ini menjadi keprihatinan guru se-dunia, viral di media sosial.
Tetapi yang paling miris, adalah kasus tawuran antar-siswa SD di Semarang, melibatkan tiga sekolah. Ironisnya, tawuran telah direncanakan, dan disetujui tiga sekolah yang berbeda. Bahkan diciptakan yel-yel untuk membuat suasana hiruk pikuk. Meski berhasil digagalkan, warga tetap kaget karena di dalam tas murid  SD belum itu terdapat senjata tajam.
Kekerasan di sekolah (dan kampus perguruan tinggi) biasanya berdalih “adat.” Terjadi hampir pada tiap tahun ajaran baru, pada waktu orientasi pengenalan sekolah untuk murid baru. Konon, terdapat paradigma yang menyimpang: bahwa kekerasan merupakan bagian dari pendidikan untuk men-disiplin-kan.
Karena itu acara “adat” per-plonco-an telah dilarang. Tetapi beberapa SMK masih curi-curi kesempatan dengan acara kelompok pecinta alam. Seluruh sekolah, wajib menggiatkan kewaspadaan keamanan di sekolah.

                                                                                                          ———   000   ———

Rate this article!
Kekerasan di Sekolah,5 / 5 ( 1votes )
Tags: