Kekerasan Seksual Tinggi, DP3AK Jatim Dukung PP Kebiri Kimia

Dr Andriyanto SH MKes

Surabaya, Bhirawa
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jatim mendukung langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Menurut Kepala DP3AK Provinsi Jatim, Andriyanto, berdasarkan data Sistem Informasi Online Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (SIMFONI), hingga 28 Desember 2020 di Jatim angka kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami kenaikan cukup signifikan yaitu mencapai 1.878 kasus.
“Dari jumlah tersebut, sebanyak 40 persen adalah kekerasan seksual dan 60 persen kekerasan yang terjadi di rumah tangga (KDRT). Kekerasan terhadap perempuan dan anak pada masa pandemi ini karena banyak karyawan yang di PHK (pemutusan hubungan kerja, red), ekonomi keluarga menurun, stress meningkat yang akhirnya berpotensi terjadinya kekerasan,” kata Andriyanto, dikonfirmasi, Senin (11/1).
Andriyanto menjelaskan, kebiri kimia yang dilakukan kepada predator anak ini tidak melanggar HAM (hak asasi manusia). Sebab orang yang dikebiri kimia tidak lantas tidak memiliki dorongan seksual atau impoten selama-lamanya, tapi dalam kurun waktu tertentu nafsu seksualnya menurun sehingga tidak melakukan kekerasan seksual.
“Ketika terjadi kekerasan seksual, maka pelaku akan dipidana dan dikebiri kimia. Saat dipenjara itulah dilakukan rehabilitasi juga. Karena nafsu seksnnya besar dari pada manusia biasanya. Makanya ada gangguan jiwanya yakni psikologi seksualnya. Itulah pentingnya rehabilitasi,” katanya.
Andriyanto lebih lanjut menjelaskan, definisi kebiri kimia dalam PP tersebut diakhiri dengan kata disertai rehabilitasi. Artinya, tujuan penjatuhan pidanaini tidak sebatas berorientasi pada pembalasan, namun harus dipastikan penjatuhan pidana tersebut memberikan manfaat, yaitu mencegah kejahatan (prevensi) sebagai tujuan utama pemidanaan.
“Kata disertai rehabilitasi juga bisa diartikan bahwa kebiri kimia sebagai suatu tindakan yang terpisah dari upaya rehabilitasi, padahal seharusnya kebiri kimia dilakukan justru dalam rangka rehabilitasi pelaku. Di beberapa negara kebiri kimia yang terbukti efektif justru dilakukan secara sukarela oleh pelaku yang menyadari bahwa ia terganggu karena dorongan seksual dalam dirinya yang sangat tinggi,” ungkapnya.
Andriyanto mengatakan, ketentuan ihwal kebiri kimia tersebut memang menuai kontroversi. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menolak mengeksekusi hukuman kebiri kimia lantaran hal tersebut bertentangan dengan kode etik dan disiplin profesi kedokteran yang berlaku universal.
Sikap IDI saat itu, lanjut Andriyanto, menyatakan bahwa bukan menolak hukumannya tapi IDI menolak sebagai eksekutornya, karena melanggar sumpah dan etika kedokteran. Kebiri kimia bukan layanan medis dan apabila dokter melakukan eksekusi, hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik norma dengan kode etik kedokteran.
“Berkaitan IDI yang menolak mengeksekusi hukuman kebiri kimia, barangkali sikap ini harus dihormati. Nantinya Peraturan Menteri Kesehatan sebagai gantinya, mengatur pelatihan sumber daya manusia atau tenaga kesehatan untuk melakukan kebiri kimia. Tapi, paling tidak PP 70/2020 ini memberikan kepastian hukum atas ketentuan kebiri kimia yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak,” tandasnya. [iib]

Tags: