Kekurangan Siswa, SMP Swasta Kecewa Dindik Kota Langgar Kesepakatan

Para pendaftar mulai datangi SMPN 1 Kraksaan.

Imbas Kebijakan Jalur zonasi Pemenuhan Pagu Apresiasi NUSBN
Surabaya, Bhirawa
Kebijakan Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya untuk membukan jalur zonasi pemenuhan pagu dan pemenuhan pagu apresiasi NUSBN (nilai ujian sekolah berstandart nasional) memantik persoalan baru bagi pendidikan di Kota Surabaya. Kali ini, persoalan tersebut bersinggungan dengan SMP swasta. Sebab, berdasarkan data Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP, per tanggal 1 Juli 2019, ada lebih dari 50 siswa yang terdaftar di 56 SMP swasta mengundurkan diri usai kebijakan pemenuhan pagu di buka untuk jenjang SMP negeri.
Ketua MKKS SMP swasta, Erwin Darmogo menegaskan jika pihaknya menuntut pertanggung jawaban Pemkot Surabaya untuk keberlangsungan operasional sekolah swasta akibat kekurangan siswa. Pasalnya, untuk sekolah swasta sendiri sudah memenuhi Standart Pelayanan Minimal sehingga izin operasinal diberikan. Akan tetapi, adanya pemenuhan pagu SMP negeri banyak maka sekolah swasta yang kehilangan siswa. Bahkan, ada satu sekolah yang kehilangan hingga 70 siswa yang telah mendaftar.
“Banyaknya siswa yang keterima di SMP negeri karena ada pemenuhan pagu ini berdampak ke kami (SMP swasta). Bahkan ada jalur apresiasi NUSBN yang tidak ada di permendikbud juga dibuka,”ungkapnya.
Banyaknya sekolah swasta yang kekurangan siswa ini, bahkan ada yang mencapai lebih dari satu kelas. Sehingga, menurut Kepala SMP Kristen YBPK 1 Surabaya ini, sekolah swasta akan kesulitan dalam menjalankan operasional maupun menambah infrastruktur sekolahnya. “Jika sekolah swasta kekurangan siswa, Pemkot harus bertanggung jawab agar mereka tetap eksis. Infrastruktur yang dibutuhkan dan dana BOS harus diberikan,”terang dia.
Diakuinya, kekecewaan MKKS dengan keputusan Dindik Kota Surabaya dalam menambah kuota pemenuhan pagu apresiasi NUSBN tidak terbendung. Karena, kekurangan siswa SMP swasta tahun ini lebih parah dibandingkan tahun lalu.
“Kami akan melakukan aksi damai besok (hari ini) tentang carut marut dunia pendidikan. Beberapa minggu lagi sudah tahun ajaran baru. Tapi kami malah kehilangan banyak siswa,”papar dia.
Jika tahun lalu SMP negeri menerima seluruh siswa mitra warga. Menurut Erwin tahun ini bukan hanya kuota siswa mitra warga yang diambil dari SMP swasta tetapi juga kuota reguler dan jalur apresiasi NUSBN juga. Dengan kondisi ini menurutnya lama-kelamaan hanya sekolah swasta dengan pangsa pasar menengah ke atas yang bisa bertahan. Sementara sekolah swasta lain terancam tutup karena kesulitan operasional.
“Nggak sesuai dengan omongan dewan pendidikan tahun lalu yang harusnya kalau mitra warga ditambah ya kuota reguler dikurangi. Tapi sama SMP negeri ini kuota semua jalur ditambah. Apalagi data mitra warganya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan,”keluhnya.
Terpisah, Ketua Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan (YPLP) Pendidikan Dasar dan Menengah PGRI Jatim, Sugijanto Tjokro menambahkan pertemuan sekolah swasta dengan kepala Dindik Kota Surabaya sudah memutuskan tidak adanya penambahan pagu. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sehingga dikatakannya kondisi tersebut mengakibatkan banyak sekolah swasta harus mengulang kesulitan mendapatkan siswa seperti tahun lalu.
“Tapi kok ada penambahan juga, makanya pastinya berdampak. Disinyalir saat ini masih ada sekolah yang menambah rombel. Ada yang sudah masuk ke SMP PGRI kemudian ditarik, pastinya sekolah juga mengeluh,” pungkas dia.

Kekurangan Siswa, Sekolah Bisa Maksimalkan Standar Akreditasi
Persoalan pemenuhan pagu di jenjang SMP negeri dan berimbas pada kekurangan siswa pada jenjang SMP swasta mendapat perhatian tanggapan dari Badan Akreditasi Provinsi (BAP) Jawa Timur. Menurut Ketua BAP Jatim, Prof Roesmaningsih dalam hal tersebut harusnya lembaga memahami kelas ideal untuk meningkatkan kualitas mutu disekolah. Semakin banyak jumlah siswa dalam satu rombel (rombongan belajar) maka pembelajaran tidak akan efektif. Sebaliknya, jika semakin sedikit jumlah siswa dalam satu rombel atau maksimal 28 siswa, kegiatan belajar mengajar akan menjadi lebih efektif dan fokus.
“Kalau jumlah siswa banyak akan memicu persoalan baru. Guru tidak bisa fokus menyampaikan materi pembelajarannya. Begitu pun siswa tidak bisa menangkap materi dengan baik. Sehingga bisa jadi kelas tidak lagi kondusif, karena terlalu banyak siswa,”terang dia.
Sebaliknya, kekhawatiran bagi sekolah swasta ketika kekurangan siswa adalah persoalan akreditasi. Bagi Prof Roesmaningsih, hal ini tidak terlalu berdampak pada akreditasi sekolah. Sebab, jika kondisi sekolah swasta kekurangan siswa hal itu bisa tertutupi dengan memaksimalkan standart lainnya dalam akreditasi. Seperti standart isi, standart SKL (surat Keterangan Lulusan), standart pendidik dan tenaga kependidikan, standart pengelolaan, standart sarana prasarana, standart pembiayaanm dan standart penilaian (evaluasi siswa).
“Jadi misal jumlah siswa tidak memadahi mereka (sekolah swasta) bisa memaksimalkan standart yang lain, meskipun tidak bisa berubah atau meningkat dari akreditasi sebelumnya,” tuturnya.
Kecuali jika jumlah siswa dibawah ketentuan minimal, pilihannya antara di merger, dialihkan ke non formal atau ditutup. Hal itu sesuai dengan Surat Edaran 17 Januari 2019, 0993/D/PR/2019 tentang kualitas data pokok pendidikan dasar dan menengah dari Dirjen Dikdasmen. “Bahwa dalam hal selama 3 tahun berturut-turut kurang dari 60 siswa dapat dilakukan penggabungan sekolah sederajat yang terdekat. Kalau dilakukan penggabungan maka sekolah tidak bisa menerima bos,”jelas dia. [ina]

Tags: