Kelas Menulis Daring Melahirkan Bibit Penulis Baru

Oleh :
Diana Fadila
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pegiat di Komunitas Buka Buku.

Hampir sebulan kebijakan pemerintah menghimbau masyarakat untuk tidak keluar rumah kecuali mempunyai kepentingan. Kegiatan sehari-hari dilakukan di dalam rumah. Bentuk kegiatannya pun dirangkum dalam suatu sistem yang disebut online atau daring. Dari pekerjaan dilakukan secara daring, sekolah daring, sampai ngrasani atau bergosip dilakukan daring. Baru-baru ini instansi pendidikan mengeluarkan surat edaran bahwa kegiatan daring dilakukan sampai tanggal 29 Mei 2020. Waktu yang cukup lama untuk “di rumah saja”.
Dalam rangka menyemarakkan gerakan “di rumah saja” banyak komunitas, penerbit, dan perorangan berlomba membuat kelas menulis daring. Tujuannya beraneka ragam ada yang sekedar memberi ruang untuk bicara, meningkatkan kualitas sumber daya, menyaring bibit penulis, lomba menulis, hingga meraup keuntungan fantastis. Setiap hari ada selebaran berbentuk famlet yang disebarkan melalui whatsapp. Aplikasi whatsapp dirasa sangat dekat dengan semua orang. Aplikasi ini paling sering dibuka untuk berkomunikasi.
Kita lihat awal masuk teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Saat teknologi masuk manusia sedang dalam keadaan berliterasi sangat tinggi. Contohnya menulis surat yang dikirim melalui POS. Membaca buku pun belum dilakukan secara daring atau softfile. Sehingga sesorang benar-benar tuntas dalam berliterasi. Ketika teknologi masuk diharapkan seseorang bisa membaca buku secara praktis yaitu menggunakan ponsel yang tidak berat dan bisa dibawa kemana-mana. Bisa diisi beraneka macam buku tergantung memori yang tersedia. Kenyataannya saat teknologi masuk justru menjadi belenggu untuk sebagian besar orang. Menjadikannya gagap teknologi. Orang-orang memilih membaca buku kembali.
Bibit Penulis Baru Bermunculan
Orang-orang sangat tergiur dengan kelas menulis daring terlebih jika gratis. Untuk sebagian orang yang memiliki niat belajar pasti memanfaatkan kelas menulis daring sebagai sarana pengembangan kualitas tulisan. Namun ada pula yang ikut-ikut saja untuk mengisi waktu di rumah. “Biar mudah dapat pacar,” ungkap salah satu peserta kelas menulis puisi daring yang diadakan salah satu komunitas. Beraneka ragam motivasi pengikut kelas menulis daring menyatu.
Kelas menulis sebagai proses dengan tujuan seseorang bisa menjadi penulis. Kelas menulis seperti kuali untuk menggodog telur dengan tujuan matang dan bisa dimakan. Jika telur yang direbus dalam kuali bisa matang lain halnya godogan kelas menulis daring. Belum tentu seseorang yang mengikuti kelas menulis daring langsung matang menjadi penulis. Kebanyakan mereka penasaran karena dirasa cukup tertarik di dunia kepenulisan. Ketertarikan ini didasari dari kalimat-kalimat yang membuat baper atau terbawa perasaan. Tidak jauh kalimatnya dari kalimat cinta yang ditemui di jejaring sosial. Kalimat yang menyentuh insan galau ini sedang laku di pasaran.
Tulisan jebolan kelas menulis daring belum bisa disebut tulisan yang matang. Mereka hanya menerima materi dasar. Materi yang diberikan sebatas pengetahuan tidak sampai pemahaman. Praktik yang dilakukan sangat terbatas. Komentar kurang pedas dari pemateri membuat bibit penulis kurang kokoh dalam tulisan. Referensi bacaannya pun sangat minim. Alhasil tercetaklah lulusan kelas menulis yang berlebihan rasa bangganya karena melimpah motivasi dari pemateri. Motivasi memang penting tetapi yang paling penting adalah pemahaman mengenai tulisan. Apa yang ditulis, apa manfaatnya, apa pesannya, dan siapa sasarannya yang seharusnya menjadi pertimbangan penulis.
Memaknai Kelahiran Penyair
Seperti yang kita ketahui penyair-penyair yang sudah memiliki karya best seller sangat banyak. Sebut saja Spardi Djoko Damono yang sangat terkenal puisinya adalah Hujan Bulan Juni. Dari judulnya saja sudah mengundang kontroversi, karena bulan Juni adalah musim kemarau. Tidak seharusnya hujan turun di bulan Juni. Ada pula Joko Pinurbo dengan karya-karya jenaka tetapi menyentil pembaca.
Dr. Teguh Trianton dosen salah satu perguruan tinggi di Purwokerto dalam kuliahnya pernah mengatakan bahwa seseorang bisa disebut penyair jika ia memiliki karya minimal karyanya masuk dalam media secara rutin dan terus-menerus. Apabila karyanya hanya dimuat satu kali saja, maka belum bisa disebut penyair. Galuh Kresna saat menjadi pemateri kelas menulis puisi daring menjelaskan bahwa seorang penyair tidak memiliki hak legitimatif untuk menyebut dirinya penyair, hanya seorang yang sombong dan enggan belajar telaten yang berani menyebut dirinya penyair. Menjadi seorang penyair harus melalui proses yang panjang. Bukan hanya asal menulis puisi maka ia bisa disebut seorang penyair.
Penyair tentu sudah dikritik oleh kritikus sastra. Kritikan yang dilontarkan tidak beruwujud motivasi melainkan panah yang bisa menusuk hati. Kritik bukan untuk menjatuhkan tetapi untuk memperbaiki atau menambah hal-hal yang kurang dalam suatu karya. Terlebih jika ada bentuk apresiasi seperti penelitian dan analisis pada suatu karya. Maka pembaca atau penikmat karya yang bisa menentukan apakah Anda seorang penyair atau bukan. Menjadi seorang penyair membutuhkan proses yang panjang dan eksistensi karya secara terus-menerus.
Minimnya Budaya Literasi
Aisyah Khoirunnisa moderator kelas menulis daring di salah satu komunitas ini berpendapat bahwa peduli literasi bukan sekedar ikut kelas menulis, karya dibukukan, atau menerbitkan buku belaka. Peduli literasi berarti peduli juga terhadap otak yang membutuhkan asupan nutrisi agar obrolan, tindakan, dan tulisannya kelak ada martabatnya. Misalnya jika tidak siap mempunyai anak, maka jangan membuat anak. Sama halnya jika tidak siap membaca, maka jangan membuat bahan bacaan.
Kemampuan berbahasa meliputi kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Output dari menyimak adalah berbicara dan output dari membaca adalah menulis. Penulis seharusnya berawal dari pembaca yang ulung. Pembaca ulung ibarat sudah mengetahui segala medan bacaan sehingga mampu membuat jalan pintas yang bisa dilalui oleh siapa saja.
Bagaimana jika penulis tidak pernah membaca? Apapun yang ditulis belum semulus jalan tol dan belum bisa dilalui siapa saja. Sebelum menulis hendaknya penulis memberi asupan kepada otak sehingga otak mampu berpikir kritis untuk melalui segala medan. Jenis bacaan juga menentukan jenis tulisan. Tanpa disadari pembaca akan melakukan hipogram dalam tulisannya. Bukan masalah yang rumit menjadi hipogram. Setidaknya mutu tulisan lebih legit.
Menjamurnya kelas menulis daring merupakan suatu gerakan literasi yang bagus jika dibarengi dengan asupan referensi bacaan yang bermutu. Harapan kelas menulis daring bukan mencetak penulis yang mendayu, bukan hanya memanfaatkan pasar, dan bukan untuk memamerkan eksistensi, melainkan melahirkan penulis yang matang untuk menciptakan tulisan yang layak baca. Oleh karena itu, mulailah membaca sebelum menulis.
————- *** ————-

Tags: