
karikatur ilustrasi
Pungutan “mahar” pemberian rekom kepada bakal pasangan calon pilkada, patut dicermati penegak hukum anti suap. Konon, hampir seluruh bakal paslon (pasangan calon) wajib menyetor “mahar.”Bahkan terdapat rumusan kalkulasi nominal yang ditentukan parpol. Sebagai bagian dari politik uang (yang terlarang), “mahar” bukan hanya diberikan kepada pimpinan parpol. Melainkan juga ditunaikan oleh paslon untuk “membeli” suara rakyat.
Walau undang-undang (UU) Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, nyata-nyata melarang, disertai ancaman hukuman berat. UU Pilkada pada pasal 47 ayat (1), menyatakan, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.”Tetapi nyaris tiada rekom gratis yang diberikan kepada bakal paslon.
Testimoni (luas) tentang “mahar” dalam rekom pilkada, sebenarnya tidak mengagetkan. Tetapi tidak ada yang berani mengungkap. Sebab, yang memberi maupun penerima “mahar” dapat dianggap melakukan imbal suap. Hukumannya, bukan sekadar UU Pilkada pasal 47 ayat (6), yakni sebesar 10 kali lipat dari suap yang diterima. Melainkan juga dijerat dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hingga kini, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), maupun Saber Pungli, belum pernah melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Sehingga”mahar”semakin menjadi kelaziman rekrutmen politik bakal calon kepala daerah.Walau telah terjadi sejak akhir dekade 1980-an. Dulu, bisa diangsur setelah memulai jabatan sebagai kepala daerah. Antaralain berupa proyek pembangunan infrastruktur di daerah.
Gejala pungutan “mahar,” makin sistemik dan masif sejak dekade awal tahun 2000-an. Saat itu kepala daerah dipilih oleh DPRD. Terdapat mahar pula, namun tidak besar. Seiring perkembangan politik, harga “mahar” makin mahal. Saat ini (tahun 2018) naik lebih dari 200 kali. Tidak sulit menjejaki “mahar,” terutama bakal paslon yang gagal memperoleh rekom parpol.
Sering pula, “mahar” di-kreasi dengan berbagai modus. Antaralain pelaksanaan konvensi yang melibatkan aparat parpol tingkat bawah.Tetapi konvensi, bukan sekadar adu program men-sejahterakan rakyat. Melainkan juga adu nominal uang saku yang diberikan kepada peserta konvensi. Setelah memenangkan konvensi, bakal paslon masih harus memberikan uang “mahar” proses rekomendasi.
Pimpinan parpol tingkat daerah (propinsi serta kabupaten dan kota), biasanya memberi pagu nominal mahar. Biasanya, setiap kursi di DPRD (kabupaten dan kota), dinilai Rp 400 juta. Jadi, parpol yang memiliki anggota DPRD sebanyak 5 kursi, akan mem-pagu harga “mahar” rekom sebesar Rp 2 milyar. Setoran “mahar” dibagikan untuk elit parpol tingkat propinsi dan pusat. Selanjutnya bakal paslon, masih akan diperas berbagai pembiayaan pilkada, termasuk upah saksi.
UU tentang Pilkada, telah memiliki rambu larangan pungutan. Namun terdapat peraturan dalam UU Pilkada, dijadikan “wewenang” oleh partai politik (parpol) memungut “mahar,” dengan berbagai dalih. Kewenangan itu tercantum dalam pasal 39 huruf a, bahwa pasalon pilkada diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Kewenangan peng-usul-an bakal paslon oleh parpol, dirinci dalam UU Pilkada pada pasal 40 ayat (1) dan ayat (2). Yakni, bakal paslonharus didukung paling sedikit 20% jumlah kursi DPRD. Jumlah (20%) kursi itu yang menjadi kalkulasi nominal “mahar.” Tetapi parpol besar, konon, tidak hanya berdasar kesanggupan nominal mahar. Melainkan juga pertimbangan popularitas, dan elektabilitas bakal calon.
Testimoni “mahar” pilkada harus menjadi “warning” penyelenggara negara. Membuktikan bahwa UU Pilkada, masih memerlukan perbaikan sistemik. Terutama membebaskan demokrasi dari penyusupan politik cukong.
——— 000 ———-