Kelola Sampah Jadi Tas, Ubah Stigma sebagai Kawasan Lokalisasi

Sejumlah wanita penghuni Yayasan Mojopahit Jatim di Mojokerto mengikuti pelatihan pembuatan kerajinan tas, Selasa (7/4).

Sejumlah wanita penghuni Yayasan Mojopahit Jatim di Mojokerto mengikuti pelatihan pembuatan kerajinan tas, Selasa (7/4).

Mojokerto, Bhirawa
Menjadi kelompok masyarakat pinggiran menjadikan warga binaan Yayasan Mojopahit Jatim di Kota Mojokerto terus membekali diri dengan berbagai kemampuan. Yayasan yang diisi masyarakat aneka tuna itupun memfasilitasi pelatihan dengan menggandeng pemerintah daerah .
Seperti yang terlihat di Balai Pertemuan PKK Lingkungan Balong Cangkring (BC), Selasa (7/4) pagi kemarin, sekitar 75 wanita  mengikuti pelatihan lanjutan pembuatan aneka tas berbagai model dari bahan daur ulang sampah anorganik.
Mereka mengaku, membekali diri dengan berbagai keterampilan itu, juga sebagai upaya mengubah stigma pemerintah dan masyarakat bahwa di Yayasan Mojopahit bukan semata lokalisasi.
Para perempuan yang berlatar belakang aneka tuna ini mulai memetik hasil pelatihan-pelatihan produktif yang sudah digelar yayasan sejak enam bulan silam dengan menggandeng Bagian Kesra Pemkot Mojokerto.
“Produksi aneka kerajinan dari limbah merupakan tindak lanjut pelatihan yang sebagian besar didanai Pemkot Mojokerto pada 2014 melalui pos hibah. Sekarang mereka (warga binaan) memetik hasilnya, dan produksinya bisa menambah penghasilan mereka,” kata Ketua Yayasan Mojopahit Jatim Teguh Starianto di sela-sela pelatihan kemarin.
Menurut Teguh, pemasaran beragam jenis kerajinan daur ulang, seperti tas dari kemasan teh gelas tidak saja di area lokal tapi sudah merambah wilayah regional.
“Untuk jenis tas, sudah ada pesanan dari Lamongan. Selain itu beberapa daerah lain juga mulai pasang order meski secara kuantitas masih kecil,” tutur putera tertua Suwono Blong, penerima penghargaan Kalpataru tersebut.
Soal bahan dasar, katanya, bisa didapat di lingkungan. “Ada bank sampah yang bisa menyediakan bahan bakunya,” imbuhnya.
Yang terpenting, ujar Teguh, terjadi pemberdayaan warga binaan secara berkelanjutan di yayasan yang sudah berdiri sejak 1974 tersebut. Selain itu juga menghapus stigma masyarakat bahwa di Yayasan Mojopahit merupakan tempat lokalisasi. “Di Yayasan Mojopahit ada pembinaan ratusan aneka tuna, di antaranya juga ada PSK, gelandangan, pemulung dan lainnya. Ini yang membuat kami dicap sebagai tempat lokalisasi gara-gara kami melakukan pembinaan kepada para PSK,” ujarnya.
Anik, salah satu PSK penghuni blok Wanita Harapan di area yayasan seluas 25 hektare tersebut mengaku mendapat pelatihan kerajinan tas sejak enam bulan lalu.
“Secara kelompok kita sudah dapat membuat tas daur ulang, sehari bisa membuat dua sampai tiga buah tas,” ujar wanita berusia 42 tahun tersebut.
Anik menyebut, dengan harga jual satu tas Rp 100 ribu, didapat keuntungan bersih sekitar Rp 60 ribu. “Lumayan untuk menambah penghasilan dan persiapan untuk hidup normal kelak di kemudian hari,” akunya.
Kesibukan mengelola sampah menjadi aneka kerajinan, diakuinya mampu menumbuhkan rasa percaya diri baginya dan puluhan wanita lainnya. “Kita bisa lebih percaya diri. Bahwa hidup tidak hanya seperti yang ditudingkan masyarakat selama ini. Kita juga mampu hidup secara normal seperti masyarakat lainnya,” urai perempuan dengan rambut sebahu itu. [kar]

Tags: