Kemandirian Itu Semua Berawal dari Perceraian

Pemilik sekaligus pendiri Harian Bhirawa Mochammad Said (kiri) bersama mantan Pangdam V Brawijaya R Hartono.

Pemilik sekaligus pendiri Harian Bhirawa Mochammad Said (kiri) bersama mantan Pangdam V Brawijaya R Hartono.

Sejarah Harian Bhirawa dan Birokrasi (1-Bersambung)
Surabaya, Bhirawa
Tahun ini, 48 tahun Harian Bhirawa berkarya untuk menyajikan informasi pada masyarakat dan setidaknya bergerak di alur birokrasi selama separo umurnya.   Berbekal motto ‘Mata Rakyat Mitra Birokrat’, Harian Bhirawa sejauh ini berhasil melayani kebutuhan birokrasi akan informasi baik dari internal maupun eksternalnya. Menyambut eksistensinya yang telah berusia ke-48 tahun pada 5 Oktober ini,  mulai edisi Senin (3/10) hingga Kamis (6/10), redaksi menurunkan tulisan bagaimana koran ini mampu bertahan dan tetap konsisten menjadi media yang mengambil khusus pasar birokrat.
Sejarah Harian Bhirawa dengan birokrasi di Jatim dimulai dengan bercerainya koran yang dimiliki Mochammad Said dengan Jawa Pos pada 1997. Selanjutnya secara sepihak Jawa Pos mendirikan koran baru, yakni Malang Post di Kota Malang pada 1997 untuk melakukan penetrasi pasar di sana yang saat itu masih terbuka lebar.
Padahal sebelumnya, sejak medio 1995  Harian Bhirawa membantu penuh Jawa Pos membuka pasar baru di Malang Raya dengan mengubah basis bisnisnya di kota dingin itu. Kala itu Harian Bhirawa di bawah asuhan Jawa Pos. Setiap bulannya, koran yang dipimpin Dahlan Iskan  memberikan cetak gratis selain membantu keuangan untuk  biaya operasional sehari-hari.
Hasilnya, pasca perceraian dengan Jawa Pos, Harian Bhirawa harus kembali ke Surabaya dengan posisi nol. Dalam sebuah pertemuan di rumah Pak Said, wajah-wajah penuh kecemasan dan ketegangan terlihat dari semua yang hadir.
Mereka adalah  semua awak redaksi koran yang hampir tiga tahun sebelumnya merajai Kota Malang. Dipimpin Ali Salim, karyawan yang saat itu hadir Sri Eddy Haryanto, Tatik Hartati, Siti Sulistiyani, Minah, M Ali, Titik, Agus Sumenep, Pak Arie Sukarno.
Awak redaksi meminta kepada Pak Said untuk bisa menerbitkan kembali Harian Bhirawa, koran tempat beridealis dan mencari rejeki setidaknya 40 karyawan saat itu.
Sementara raut wajah Pak Said masih tetap dingin. Detak demi detik berlalu dalam keheningan. Suasana mencekam itu akhirnya pecah menjadi kegembiraan campur haru saat saat Mbah Progo (panggilan karib Mochammad Said, red) memutuskan Harian Bhirawa untuk terbit kembali.  “Duwitmu isih piro (uangmu masih berapa, red),” tanya Mbah Progo kepada semua yang hadir saat itu.
Suasana hening tanpa ada yang berani  menjawabnya. Tatik dengan memberanikan diri mencoba menjelaskan kalau kondisi Harian Bhirawa tidak mempunyai uang sama sekali, karena dari Malang manajemen hanya menyerahkan catatan situasi keuangan dan piutang yang belum tertagih yang jumlahnya pada 1997 mencapai puluhan juta rupiah.  “Gak butuh catetan, aku takon duwitmu piro? (Tak butuh catatan, aku tanya uangmu berapa, red) ” sahut Pak Said sambil melempar catatan yang diserahkan Tatik.
Kembali suasana mencekam takut fatwa yang telah melegakan tersebut dicabut kembali gara-gara tidak ada uang kontan sebagai modal awal penerbitan kembali koran ini. Beberapa saat setelah merenung, ajudan Pak Said  bernama Andik dipanggil untuk mengambil cek di meja kerja beliau.
Lantas menulislah Mbah Progo sejumlah angka di atas cek yang kemudian diketahui senilai Rp 50 juta. Dengan memberikan modal cek sebesar Rp 50 juta, Mbah Progo wanti-wanti agar pemberiannya dipergunakan untuk biaya cetak awal.  “Nek iso terus yo terusno, nek gak iso yo mandeko. Aku gak menehi maneh (Kalau bisa terus ya teruskan, kalau tidak bisa ya berhenti. Aku tidak mau memberi uang lagi, red) ” katanya ketika menyerahkan selembar cek kepada Ali Salim.
Siang itu juga, sekeluar dari ruangan Minah dan Tatik langsung menyerahkan lembar berharga tersebut ke Kantor Redaksi, Perusahaan dan Redaksi Jawa Pos di Jalan Karah.
Saat itu, uang dalam jumlah tersebut sudah cukup untuk biaya cetak selama tiga bulan dengan sirkulasi 5.000 eksemplar setiap harinya, dengan jadwal terbit  6 hari seminggu.
Karyawan kembali terpacu semangatnya untuk bekerja keras demi tetap eksisnya koran ini, apalagi Harian Bhirawa dituntut untuk mencari uang agar bisa membiayai dirinya sendiri.
Namun demikian , cobaan pada Harian Bhirawa ternyata tidak berhenti. Saat kondisi sudah mulai kondusif, tiba-tiba muncul kejadian yang membuat koran ini harus mengambil keputusan lebih strategis untuk kelangsungan hidupnya.
Bermula pada suatu hari pada 1998, terbit berita di  Harian Bhirawa yang menghebohkan Kodam V Brawijaya, soal penguasaan tanah di Tulungagung oleh Puskopad Dam Brawijaya.
Karuan saja berita yang memerahkan telinga para petinggi Kodam direspon langsung Kepala Staf Kodam Brawijaya Mayjen TNI Sudi Silalahi dengan melarang semua prajurit Kodam, tidak terkecuali para PNS dan purnawirawan berlangganan Harian Bhirawa dimulai sejak terbitnya berita menghebohkan tersebut.
“Hari pertama berita itu dimuat, saya langsung diusir oleh Kasdam. Tidak boleh lagi meliput di lingkungan Kodam, “ujar redaktur senior Choirul Anam, wartawan yang saat itu ngepos di Kodam V Brawijaya.
Bahkan ada cerita mengenaskan, salah satu redaktur yang bertanggung jawab atas pemuatan berita Puskopad itu  dan wartawan yang menempati  pos Kodam Brawijaya langsung diungsikan keluar kota setelah ada isu bakal dikandangkan intel Kodam akibat memuat berita itu.
Keputusan Kasdam Brawijaya sebenarnya di luar kebiasaan kalangan Kodam dalam menyikapi pemberitaan Harian Bhirawa yang secara tidak langsung merupakan corong Kodam saat itu.
“Biasanya kalau ada pemberitaan yang dianggap salah, Kodam tinggal memanggil wartawan atau redaktur Harian Bhirawa yang bersangkutan. Biasalah kita diberi pembinaan sehari semalam,” cerita Manager Keuangan Harian Bhirawa Anang Isfiyanto yang saat itu sudah menjabat sebagai redaktur daerah.
Memang meskipun Harian Bhirawa secara tak langsung adalah koran yang identik dengan Kodam V Brawijaya, namun bila ada berita yang kurang tepat menurut Kodam, menjadi hal biasa wartawan atau redaktur dipanggil untuk diberi pembinaan.
Nama-nama Anangsyah, Bambang Wahyuono, M Ali, Sri Eddy dan Ismoyo (saat ini Ketua STIKOSA AWS) cukup sering harus bolak-balik ke Inteldam Brawijaya untuk mendapatkan pembinaan karena berita yang diturunkan.
Meski Pak Said adalah purnawirawan TNI dan merupakan sesepuh Kodam V Brawijaya serta Ketua Umum Yayasan Karyawan Brawijaya, namun sebagai politikus gaek  ia menerima keputusan sepihak Pangdam dengan legowo.
Saat datang ke kantor redaksi yang saat itu sudah ada di Jalan Pengenal 5 Surabaya, Pak Said justru menenangkan  karyawan yang resah terutama  wartawan yang menulis dan redaktur yang menurunkan berita tersebut.
“Saya akan bertanggung jawab andai ada permasalahan selanjutnya dengan Kodam. Begitu Pak Said menenangkan kami,” cerita Anangsyah, yang saat itu memang menjadi redaktur yang bertanggung jawab memuat berita tersebut.
Dan keputusannya, kisah Anang, semua sepakat untuk melepas langganan dan keterkaitan dengan Kodam Brawijaya. Terutama agar Harian Bhirawa tidak terus menerus menanggung beban subdisi yang semakin tinggi. Masalahnya, pelanggan terbanyak adalah warga Kodam V Brawijaya.  Namun persoalannya, setelah ditinggal Kodam, Harian Bhirawa dicetak untuk siapa dan berapa? Masalah inilah yang kemudian menjadi pemikiran segenap pimpinan dan karyawan  saat itu. [tim]

Tags: