Kembalikan UN sebagai Hak Guru

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik.

Tahun (2015) ini, pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, tetap menyelenggarakan UN (Ujian Nasional) terpusat. Reasoning-nya, terasa masih “setengah hati.” Suatu ketika dinyatakan sebagai (sekedar) pemetaan hasil pendidikan. Namun pada pernyataan lain, hasil UN di-konversi sebagai syarat kelulusan peserta didik tingkat SLTP dan SLTA. Ironisnya, pemerintah tidak pernah becus benar menyelenggarakan UN, kebocoran soal selalu terjadi.
Upaya mengurangi kebocoran soal (dan jawaban) UN mulai dilakukan tahun ini. Antaralain melalui UN online. Tetapi belum semua sekolah mampu melaksanakan UN berbasis komputer. Sehingga tahun ini terjadi dua metode UN. Yakni, paper based test (PBT, dengan tetap menghadapi lembar soal). Serta CBT (Computer Based Test), menghadapi komputer. Khusus UN berbasis kertas, memerlukan pengamanan ekstra. Namun toh ternyata, masih tetap bocor.
Dulu, pembocoran soal UN dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tapi kini terang-terangan, malah diunggah ke jaringan mesin pelacak informasi google. Saat ini, sebanyak 30 buklet (dari 11.730 buklet) diunggah, menjadi bukan rahasia. Meski hanya 30 buklet, nyatanya, sesuai benar dengan soal UN. Dulu pula, kebocoran selalu ditutup-tutupi, tidak diakui. Seluruh pejabat, mulai menteri sampai bupati dan walikota, menyatakan tidak ada kebocoran soal UN. Padahal, polisi nyata-nyata sudah menangkap pelaku pengedar bocoran jawaban UN.
Apa hendak dikata pemerintah, manakala ditemukan kesalahan sistemik pada UN? Misalnya, terjadi pada materi pelajaran Bahasa Inggris. Hari ke-3 UN, sebagian siswa di Jawa Timur menemukan adanya ketidaksinkronan antara materi ujian listening pada cakram digital (CD) dengan naskah soal UN. Ketidaksinkronan tersebut terjadi pada 15 soal. Peserta UN bukan hanya bingung, melainkan juga menyita banyak waktu untuk pengerjaan soal lainnya. Ini pasti human error.
Tetapi human selalu terjadi tiap tahun, seolah-olah tanpa perbaikan. Tahun (2014) lalu, Bahasa Indonesia (hari pertama, 5 Mei 2014) tidak ada soal bernomor 13. Ini masalah sangat sepele, mengapa lolos pemeriksaan? Begitu pula terulang penyusupan altar politik, sebagaimana terjadi pada UNSMA dalam ujian Bahasa Indonesia. Yakni, disusupkannya biografi pendek (saat itu Capres) Jokowi.
Pemerintah nyata-nyata tidak siap memperbaiki kekurangan, malah semakin ditumpuki berbagai kesalahan lebih masif. Sehingga bisa dinilai pemerintah gagal (tidak mampu) menyelenggarakan Unas. Maka seharusnya pemerintah mengambil langkah untuk “mengembalikan” Unas kepada konstitusi. Yakni, diselenggarakan oleh sekolah.
Bocor yang Diharapkan
Kebocoran soal UN, sesungguhnya aib kependidikan. Namun sesungguhnya, seluruh stake holder kependidikan, berharap ada bocoran. Peserta didik, orangtua, guru, sekolah, sampai pemerintah daerah, seolah-olah permisif terhadap kebocoran soal UN. Alasannya, “tidak tega” peserta didik di-eksekusi secara singkat oleh pemerintah pusat setelah tiga tahun menjalani proses belajar mengajar. Hanya dengan lima hari UN, hasilnya dijadikan eksekusi, lulus atau tidak lulus sekolah.
Soal UN, harus diakui, sangat sulit dipahami, seolah-olah menggunakan bahasa lain, berbelit-belit. Tidak sama dengan bahasa pengajaran guru di sekolah. Juga beda dengan bahasa ulangan atau ujian sekolah. Bahkan liku-liku bahasanya terkesan menjebak. Banyak yang terpeleset dan salah memahami soal, sehingga jawaban yang dipilih pun salah. Bisa dipastikan, soal UN bukan dibuat oleh guru mata pelajaran. Melainkan oleh pihak lain di luar urusan sekolah.
Namun anehnya, murid yang mengikuti belajar ekstra di bimbingan belajar (bimbel) di luar sekolah, seolah-olah terbiasa dengan bahasa UN. Sehingga UN terasa tidak adil. Keuntungan diperoleh peserta didik keluarga ekonomi kuat yang mampu membiayai anaknya belajar di bimbel (harganya antara Rp 2 juta hingga Rp 8 juta untuk SMA). Semakin mahal biaya bimbel, semakin menjamin peraihan nilai UN tinggi.
Bahkan bimbel-bimbel termahal berani memberikan janji, jika tidak lulus tes peguruan tinggi negeri, biaya bimbel dikembalikan 100%. Apalagi jika tujuannya sekedar lulus UN, dipastikan sepasti-pastinya akan memperoleh nilai diatas rata-rata plafon UN. Modus lama, bocoran soal UN, juga dibahas para tutor bimbel, secara individual. Hasil pekerjaan “para cerdik pandai” inilah yang diperjual-belikan. Harganya mencapai Rp 2 juta untuk paket komplet. Perburuan soal dan jawaban UN akan terus terjadi, manakala digunakan sebagai alat eksekusi kelulusan.
Biasanya, setiap peserta didik menanggungnya secara urunan membeli jawaban. Tak jarang pihak sekolah mengkoordinir secara silent. Modus berlangsung bertahun-tahun, sejak sekitar tahun 2007. Pihak sekolah (diwakili beberapa guru) turut berburu jawaban UN. Kepentingannya, agar seluruh peserta didik lulus UN 100%. Kelulusan total ini akan menjadi propaganda, ditulis pada spanduk, baliho, dan leaf-let, untuk menjaring peserta didik baru pada tahun ajaran berikutnya.
Problem UN, bukan hanya tentang kebocoran soal yang rutin terjadi tiap tahun. Harus diakui masih merepotkan seluruh stake-holder kependidikan. Misalnya, pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) repot karena anggaran UN tidak dapat dicairkan untuk termin pekerjaan yang sedang dibutuhkan. Biaya pengawas se-jawa Timur, belum dicairkan sampai H-1 pelaksanaan UN.
Persis seperti paradigma pembayaran proyek infrastruktur. Sekolah (yang dianggap sebagai rekanan pelaksana proyek) harus mengeluarkan dana talangan. Lalu baru akan dibayar setelah proyek berjalan 30%, atau bahkan setelah seluruh proyek selesai dikerjakan. Misalnya, anggaran untuk honor (guru) pengawas UN, tidak diberikan pada awal kerja. Tahun ini, sekitar 700 ribu guru akan menjadi pengawas.
UN Hak Guru
Sekolah, juga direpotkan karena hak evaluasi hasil belajar lembaga pendidikan “diambil-alih” oleh pemerintah pusat. Apa yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan menyelenggarakan UN terpusat? Tak lain (pemetaan) standar kompetensi. Namun hasil UN, sekaligus sebagai persaingan memperebutkan kursi pada jenjang pendidikan lebih tinggi.
Hasil UN SMP digunakan sebagai persyaratan perebutan kursi masuk SMA Negeri (dan SMA swasta favorit). Ini merupakan kebanggan murid dan seluruh orangtua. Tapi benarkah persaingan kompetensi siswa hanya melalui UN oleh pemerintah? Seolah-olah pemerintah tak memiliki pekerjaan lain yang lebih strategis dibidang pendidikan.
Beberapa pengamat pendidikan telah merekomendasikan penghapusan UN. Begitu pula pengamat hukum menyatakan, bahwa pemerintah menjadi penyelenggara UN, tidak memiliki dasar hukum. Bukan amanat konstitusi (UUD) maupun regulasi di bawahnya (UU). Di dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak satu pasal pun (dan tidak satu ayat pun) menyebut UN. Sehingga UN, yang materi soal-nya dibuat oleh pemerintah secara terpusat, boleh dikategori in-konstitusional.
UU Sisdiknas tahun 2003 itu pada pasal 58 ayat (1), secara tekstual menyatakan:  “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Terdapat frasa kata “oleh pendidik” yang niscaya, berarti guru! Bukan pemerintah.
Berdasar UU Sisdiknas pasal 1 angka ke-6, dinyatakan “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen … dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.” Apalagi jika merujuk pada pasal 1 (Ketentuan Umum UU Sisdiknas) urutan ke-21, UN tidak digunakan sebagai alat eksekusi kelulusan.
Seyogianya, pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah) melepas penyelenggaraan UN untuk dilaksanakan oleh guru di sekolah. Dengan itu pemerintah lebih memiliki kesempatan untuk mempersempit  kesenjangan pendidikan antara kota dengan desa, atau antara Jawa dengan luar Jawa.
———– 000 ———–

Rate this article!
Tags: