Kembangkan Batik Tulis Pewarna Alami Khas APBBA Kabupaten Probolinggo

Pembatik tulis Ronggomukti melakukan proses pewarnaan dari daun ketapang.[wiwit agus pribadi/bhirawa]

Probolinggo, Bhirawa
Batik tulis dengan pewarna alami mulai banyak digeluti di Kabupaten Probolinggo. Batik ramah lingkungan ini dikembangkan oleh Asosiasi Perajin Batik, Bordir dan Asesoris (APBBA) Kabupaten Probolinggo. Warna yang digunakan berasal dari dedaunan, hingga kulit batang pohon.

Eksistensi batik tulis Kabupaten Probolinggo terus menggeliat. Tidak hanya motifnya yang kian beragam. Sejak beberapa tahun tahun terakhir, para perajin yang tergabung dalam APBBA Kabupaten Probolinggo mulai mengembangkan batik tulis dengan pewarna alami.

Batik jenis ini dikenal ramah lingkungan. Sebab, tidak menggunakan pewarna sintetis yang berasal dari bahan kimia. Namun, menggunakan pewarna dari berbagai jenis dedaunan dan kulit batang kayu yang direbus sebelum digunakan sebagai pewarna. Bahan yang digunakan juga sangat mudah ditemukan di lingkungan sekitar. Jumlahnya juga melimpah. Bahkan, sering dianggap tidak memiliki manfaat selain untuk makanan ternak dan tanaman pagar.

“Salah satu bahan yang saya gunakan adalah kulit kayu jaran yang bergetah. Selain mudah didapat, saya pilih pohon ini karena merupakah salah satu pohon khas Kabupaten Probolinggo,” ujar Mahrus Ali, ketua APBBA Kabupaten Probolinggo, Kamis (5/11).

Pria yang juga owner Batik Tulis Ronggomukti, Kelurahan Sidomukti, Kecamatan Kraksaan ini mengatakan, kulit kayu jaran itu ia dapatkan di lingkungan sekitar rumahnya. Meski mudah didapat dan melimpah, ia tidak melupakan faktor kelestarian lingkungan. “Saya ambil kulitnya sedikit-sedikit, bahkan saya juga memilih pohon yang hampir roboh. Jadi tidak asal ambil. Saya tetap mempertimbangkan kelestariannya,” ujarnya.

Selain kulit kayu jaran, ia juga memanfaatkan jenis pohon lainnya. Di antaranya, daun pohon ketapang, daun mangga, daun tarum (indigo vera), kayu secang hingga kayu mahoni. “Sangat mudah didapat. Kadang juga saya nyari di makam cina di Desa Rangkang. Di sana indigo vera sangat banyak,” katanya.

Menurutnya, dedaunan dan kayu tersebut menghasilkan berbagai macam warna. Misalnya, kayu jaran menghasilkan warna coklat muda, coklat tua dan warna hitam. Kemudian daun indigo vera menghasilkan warna biru.

“Sejauh ini, dari bahan-bahan tersebut saya sudah menghasilkan berbagai warna. Namun, agar warnanya kuat, tiap bahan harus dicampur dengan kulit kayu jaran,” jelasnya.

Mahrus mengatakan, pengembangan batik tulis dengan pewarna alami mulai digalakkan sejak tahun 2017. Tepatnya, ketika para perajin batik yang tergabung dalam APBBA menjadi binaan dan mendapat dukungan penuh dari program CSR PT PJB UP Paiton.

Batik dengan memanfaatkan kulit kayu dan dedaunan sebagai pengganti pewarna sintetis itu, kini makin berkembang. Hasilnya, batik ini menjadi langganan berbagai pihak. Mulai pejabat, hingga desainer papan atas memilih batik jenis ini untuk mendukung penampilannya.

“Sejauh ini orderan kami berasal dari Surabaya, Sidoarjo hingga Tangerang. Batik tulis pewarna alami ini juga banyak diorder desainer. Di antaranya, Lia Afif desainer busana muslim, Surabaya. Termasuk Rams Model Management Probolinggo dan Red Model Management Malang,” katanya.

Pengembangan batik pewarna alami diawali dari sebuah pelatihan. Saat itu, di tahun 2017 sebanyak 10 perajin batik yang tergabung dalam APBBA Kabupaten Probolinggo mendapat pelatihan dari narasumber Batik Salose, Kecamatan Sampang, Madura.

“Pelatihan itu di-support PT PJB UP Paiton. Pelatihannya digelar lima hari di galeri batik saya. Pelatihannya mulai membuat pewarna alami, hingga proses membatiknya. Pelatihan berlanjut pada tahun 2018. Kami belajar langsung di tempat produksi Batik Salose itu selama 3 hari,” urainya.

Seiring berjalannya waktu, kini Batik Tulis Ronggomukti dalam sebulan bisa menghasilkan sekitar 20 lembar batik tulis dengan pewarna alami. Proses pembuatan batik ini cukup panjang. Sehingga, harganya lebih mahal dari batik biasa.

“Harganya bervariasi, per lembar mulai Rp 600 ribu, yang paling mahal Rp 1,2 juta. Satu lembar panjangnya 2,50 meter dengan lebar 1,15 meter,” ungkapnya.

Mahrus mengatakan, sejauh ini ia memiliki sejumlah motif untuk batik tulis pewarna alaminya. Yakni, kontemporer dan abstrak; kombinasi kontemporer dan berpakem atau berpola; serta motif berpakem atau berpola. “Motif-motif jenis itu yang paling banyak disukai orang,” sebutnya.

Menurutnya, pasar batik tulis pewarna alami saat ini makin menggeliat seiring dengan munculnya pecinta batik tulis pewarna alami di Jawa Timur. Terbukti, penjualan batik pewarna sintetis menurun di masa pandemi. Sementara pesanan batik tulis pewarna alami meroket.

“Alhamdulillah, di masa pandemi ini saya tertolong oleh penjualan batik tulis pewarna alami. Jadi tidak ada pengurangan karyawan maupun pemotongan gaji selama ini. Di sini ada 34 karyawan,” kata bapak tiga anak itu.

Terlepas dari keinginannya untuk melestarikan batik sebagai warisan leluhur, ada misi mulia yang ingin terus dilakukannya dengan menggunakan pewarna alami. Yakni, memasifkan penggunaan pewarna alami seperti batik zaman dahulu.

“Kalau dulu, kan tidak ada pewarna dari bahan kimia. Jadi limbahnya benar-benar ramah lingkungan. Termasuk ramah bagi kulit ketika dipakai,” katanya.

Saat ini, Mahrus Ali juga sering diundang dalam berbagai acara pelatihan membatik. Termasuk pelatihan membatik dengan menggunakan pewarna alami. “Dari sini saya ingin menularkan ilmu kepada orang lain, agar batik tetap lestari. Insyaallah saya akan membuat komunitas pecinta batik pewarna alami,” tuturnya.

Salah satu anggota APBBA Kabupaten Probolinggo, Khairun Nisak yang juga owner IKM Batik Pancor Emas, Desa Bucor Kulon, Kecamatan Pakuniran mengaku, pengembangan batik tulis pewarna alami tidak terlepas dari peran CSR PT PJB UP Paiton. Kini IKM yang dipimpinnya bisa menghasilkan batik pewarna alami dengan kualitas bagus.

“Saat ini juga sering mengikuti pelatihan batik pewarna alami yang dilakukan Pak Mahrus Ali, Batik Ronggomukti untuk pengembangan. Alhamdulillah, produksi batik pewarna alami saya semakin bagus. Dalam sebulan menghasilkan 10 hingga 15 lembar batik pewarna alami,” paparnya.

“Melalui pelatihan-pelatihan yang telah saya dapatkan, selanjutnya saya ingin mengembangkan batik pewarna alami ini dengan memanfaatkan insting saya sendiri. Tentunya, akan saya sesuaikan dengan tren batik saat ini,” tambahnya.(Wap)

Tags: