Kemendikbud Siapkan Pengganti Kurikulum 2013

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Program-program strategis yang dirintis mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh bakal semakin tak berbekas. Setelah pembatasan Kurikulum 2013 (K-13) secara tiba-tiba, kini Kemendikbud mulai berancang-ancang menyiapkan kurikulum pengganti K-13.
Diungkapkan Kepala Pusat Profesi Pendidik Kemendikbud Dr Unifah Rosyidi, saat ini K-13 tengah dilakukan perbaikan dan sudah digunakan oleh 16.791 lembaga mulai jenjang SD, SMP dan SMA/SMK. Jumlah ini telah meningkat dari sekolah pilot project K-13 yang ditunjuk Kemendikbud tahun lalu sebanyak 7.621 lembaga. Secara bertahap, sekolah pelaksana K-13 ini akan terus bertambah hingga tuntas pada 2018 mendatang. Pada saat seluruh sekolah menggunakan K-13, maka tidak ada lagi istilah K-13 dan diubah menjadi Kurikulum Nasional.
“Kalau K-13 sudah disempurnakan, maka namanya tidak lagi K-13, tapi Kurikulum Nasional. Bukan berarti K-13 dihapus, tapi disempurnakan dan namanya diganti,” tutur Unifah usai menjadi keynote speaker dalam seminar Hardiknas di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Sabtu (4/4).
Unifah mengatakan, kembali menyampaikan alasan dihentikannya K-13 lantaran diterapkan terlalu tergesah-gesah. Sehingga menimbulkan persoalan di tengah jalan dan harus dilakukan perbaikan. Diantaranya terkait bahan ajar dan kemampuan guru dalam melaksanakan K-13.
Menanggapi rencana perubahan tersebut, Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi menunjukkan respon negatif. Hal ini dikhawatirkan akan kembali membingungkan banyak pihak. Sebab, persoalan yang timbul setelah penghentian K-13 pada pertengahan tahun ajaran 2014-2015 sudah membuat sekolah dan guru kelabakan. Apalagi akan diganti lagi.
“Tak masalah kalau substansinya sama,  hanya namanya saja yang berubah.  Tapi kalau diubah konsepnya,  bisa jadi membuat sekolah semakin bingung karena nantinya bisa menjalankan tiga kurikulum sekaligus.  KTSP 2006, K-13, dan kurikulum Nasional,  ” ujar Martadi.
Menjelang akhir tahun ajaran 2014-2015 ini, sekolah-sekolah tengah menyiapkan kenaikan kelas. Martadi mengaku, sekolah-sekolah yang terdampak penghentian K-13  masih kebingungan bagaimana menentukan ukuran untuk kenaikan kelas. Sebab, dalam satu tahun ada dua rapor berbeda. Di semester pertama rapor K-13 menggunakan rentang nilai A,B,C dan D. Sedangkan pada semester dua ini sekolah harus membuat rapor dengan rentang nilai 10 sampai 100.
“Dua raport berbeda dalam satu tahun ajaran. Otomatis sekolah harus melakukan konversi nilai rapor,” kata Martadi.
Selain konversi raport, sekolah juga dibingungkan dengan  mata pelajaran yang semula tidak ada di K-13 (semester satu) tapi ada saat melaksanakan KTSP pada semester dua. Padahal sebagai syarat kenaikan kelas, siswa harus lulus pada semester pertama dan semester kedua. “Kalau harus melalui matriklasi, tidak mungkin. Waktunya sudah tidak ada lagi,” tutur dia.
Martadi khawatir hal ini akan mengulangi nasib Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada 2004 lalu yang hanya bertahan selama dua tahun lalu diubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Diakui Martadi memang saat itu ada penyederhanaan sehingga perlu penyempurnaan. Sekolah diberi kesempatan menyusun kurikulum sendiri merujuk pada aturan secara nasional. Tapi kali ini kalau kurikulum diganti total apakah sudah cukup penerapannya dalam setahun langusung dievaluasi.  Padahal kurikulum dirancang utuh untuk diterapkan minimal 3 tahun pelaksanaan,  supaya tahu betul hasilnya pada siswa. “Lebih baik namanya jangan diubah,  supaya tak membingungkan. Tiap implementasi pasti ada masukan,  itulah gunanya evaluasi. Supaya tak ada kesan tiap ganti menteri,  ganti kurikulum, ” paparnya. [tam]

Tags: