Kemenristek Pertegas Evaluasi Profesor dan Lektor Kepala

Foto: ilustrasi

Tak Punya Publikasi Tunjangan Siap-siap Dihentikan
Surabaya, Bhirawa
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) semakin tegas dalam  mengevaluasi dosen penyandang gelar profesor dan lektor kepala. Evaluasi ini untuk pertama kalinya akan dilakukan pada November mendatang.
Kebijakan itu tertuang dalam dalam Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Apabila berdasar evaluasi tidak memenuhi persyaratan, maka tunjangannya akan dihentikan. Tunjangan dapat dicairkan kembali apabila sudah memenuhi persyaratan.
Rektor Universitas Airlangga (Unair) Prof M Nasih menuturkan November tahun ini akan ada evaluasi atas guru besar dan lektor kepala. Untuk lolos dari evaluasi itu, seorang profesor tiap tahun minimal harus tiga kali publikasi (jurnal). “Kalau profesor atau guru besar belum memenuhi kewajibannya akan dievaluasi dan dihentikan tunjangannya,” kata Nasih, Selasa (31/1).
Lektor kepala, lanjut Nasih, juga dituntut untuk menulis jurnal dan dipublikasikan pada jurnal nasional terakreditasi. Tulisannya akan dievaluasi. “Penghentian tunjangan guru besar, lektor kepala akan diberlakukan kepada mereka yang tidak publikasi,” tuturnya.
Dalam peraturan itu disebutkan, selama kurun tiga tahun, lektor kepala harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan jurnal nasional terakreditasi atau satu karya ilmiah yang diterbitkan jurnal internasional. Selain menghasilkan karya ilmiah, lektor kepala harus menghasilkan buku atau paten atau karya seni monumental/desain monumental.
Untuk dosen dengan jabatan akademik profesor, disyaratkan menghasilkan tiga karya ilmiah yang diterbitkan jurnal internasional atau satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi. Di samping itu, profesor harus menghasilkan buku atau paten atau karya monumental/desain monumental.
Sementara itu, Wakil Rektor II Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Retno Hastijanti merasa pesimistis dengan aturan yang baru ini. Pihaknya mengaku, rencana itu sudah didengungkan sejak setahun lalu. Namun, pihak Kemenristek belum benar-benar melakukan sosialisasi secara resmi. “Begitu diterapkan, aturannya kaku sekali. Terlebih yang akan dievaluasi tiga tahun ke belakang. Kalau tiga tahun ke depan kita bisa mempersiapkan,” terang dia.
Nada pesimistis itu diakuinya karena syarat menulis dan menerbitkan karya ke jurnal nasional terakreditasi dan jurnal internasional bereputasi cukup berat. Sementara, untuk publikasi pada jurnal terindeks scopus, antreannya bisa sampai satu hingga dua tahun. Di sisi lain, jurnal nasional yang terakreditasi juga belum tentu ada setiap tahun.  “Kita berharap peraturan menteri ini ada petunjuk teknis (juknis) yang bisa menjadi pertimbangan kita,” kata dia.
Kakunya peraturan ini, lanjut Hasti, juga dikarenakan syarat tersebut tidak bisa digantikan dengan kegiatan lain. Pengabdian masyarakat misalnya. Sehingga, meski sudah menulis buku, mengikuti proceeding internasional sampai memiliki hak paten juga tidak berlaku jika tidak melakukan publikasi.
Hasti merinci, jumlah tunjangan yang diberikan pemerintah kepada dosen dengan jabatan lektor kepala ialah Rp 7 -Rp 8 juta per triwulan. Sementara tunjangan profesor antara Rp 140 juta – Rp 150 juta per tahun. Sementara itu, biaya untuk mendaftar pada jurnal terindeks scopus bisa mencapai Rp 5-6 juta untuk tingkatan Q-4 dan Rp 7-9 juta untuk Q-3. “Itu baru untuk mendaftar di level Q-4 dan Q-3. Apalagi, kalau Bahasa Inggris dalam jurnal itu masih butuh perbaikan biayanya bisa bertambah lagi sampai Rp 10 juta,” pungkas dia.
Terpisah, Sekretaris Kopertis Wilayah VII Jatim Prof Ali Maksum mengatakan tunjangan merupakan penghargaan terhadap kinerja yang dosen dan profesor. Ukurannya, salah satunya adalah publikasi. Saat ini, Indonesia masih kalah jauh dengan negara lain di ASEAN. Indonesia berada di urutan keempat setelah Malaysia, Singapura, dan Thailand. “Karena itu, kementerian mengambil kebijakan untuk menggenjot kinerja publikasi,” katanya.
Di Kopertis Wilayah VII, kata dia, ada118 guru besar dan 1.376 lektor kepala. Secara umum, terang Ali, produktivitas para guru besar dan lektor kepala itu masih minim. “Seolah-olah dengan jadi profesor lalu selesai,” terangnya. Jika itu terus berlangsung seperti itu, maka negara akan memiliki beban besar untuk membayari tenaga yang tidak produktif. Padahal, dosen mendapat tunjangan per bulan sebesar satu kali gaji. Sedangkan guru besar, tunjangan per bulan mencapai tiga kali gaji.
Pada 2020, Kemenristek Dikti menargetkan Indonesia menjadi leading di ASEAN. Karena itu, publikasi para guru besar dan lektor kepala harus bisa melampaui Malaysia. Saat ini, jumlah publikasi di Indonesia baru mencapai 10 ribuan karya ilmiah. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 25 ribu. “Jadi, harus ada percepatan,” tuturnya. Ali mengimbau agar riset-riset lebih diaktifkan. Sebab, publikasi tidak bisa bagus tanpa ada riset atau penelitian. [tam]

Tags: