Kenaikan Harga Pangan Menurunkan Kesejahteran

Sutawi

Oleh :
Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang.

Pemenuhan pangan merupakan bagian hak azasi manusia yang dijamin UUD 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Meskipun dikenal sebagai negara agraris sejak zaman Majapahit sampai 77 tahun usia kemerdekaan, Indonesia ternyata belum berhasil mewujudkan ketahanan pangan. Menurut UU No. 18/2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif. Menurut data Global Food Security Index (GFSI) indeks ketahanan pangan Indonesia tahun 2021 mencapai level 59,2, menurun dari 61,5 tahun 2020. Indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia tahun 2021 berada di peringkat ke-69 dari 113 negara. Dalam peta peringkat ada empat kategori: best performance, good performance, moderat performance dan neeeds improvement. Indonesia masuk dalam kategori ketiga moderate performance.

GFSI mengukur ketahanan pangan negara-negara dari empat indikator besar, yakni keterjangkauan pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience). Skor ketahanan pangan Indonesia pada keempat indikator masing-masing adalah keterjangkauan 74,9, ketersediaan 63,7, kualitas dan keamanan 48,5, dan ketahanan sumberdaya alam 33,0. Menurut penilaian GFSI, harga pangan di Indonesia cukup terjangkau dan ketersediaan pasokannya cukup memadai jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Namun, infrastruktur pertanian pangan Indonesia masih di bawah rata-rata global. Standar nutrisi dan keragaman makanan pokok juga masih dinilai rendah. Sumber daya alam Indonesia juga dinilai memiliki ketahanan yang buruk karena belum dilindungi kebijakan politik yang kuat, serta rentan terpapar bencana terkait perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan pencemaran lingkungan.

Kenaikan harga pangan yang terjadi sejak akhir tahun 2021 sampai pertengahan 2022 dikawatirkan akan menurunkan skor ketahanan pangan Indonesia, khususnya pada aspek keterjangkauan pangan. Harga rata-rata komoditas pangan strategis, seperti minyak goreng, gula pasir, daging sapi, daging ayam, telur, dan cabai, mengalami kenaikan signifikan, baik temporer maupun permanen, mulai 25 persen sampai lebih dari 100 persen. Kenaikan harga pangan hampir pasti berkaitan dengan produksi yang menurun, distribusi yang terhambat, atau konsumsi yang meningkat. Penurunan produksi dan hambatan produksi terjadi karena faktor cuaca, sedangkan peningkatan konsumsi terjadi karena faktor pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Meskipun kenaikan harga pangan ini merupakan peristiwa yang rutin terjadi, namun belum ada solusi permanen dari pemerintah. Kenaikan harga pangan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dirasakan di seluruh dunia. Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) melaporkan FAO Food Price Index (FFPI) pada Februari 2022 menyentuh angka 140,7 atau naik 3,9 persen dari torehan Januari dan lebih tinggi 20,7 persen secara tahunan. Konsekuensinya, harga kebutuhan pangan pokok dalam negeri akan terkerek naik mengikuti fluktuasi harga bahan pangan di pasar dunia.

Kenaikan harga pangan menurunkan kesejahteran masyarakat. Pertama, meningkatkan angka kemiskinan penduduk. Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan (GKM) maupun non-makanan (GKNM). BPS menetapkan GK pada September 2021 sebesar Rp486.168, terdiri GKM Rp360.007 (74,05%) dan GKNM Rp126?161 (25,95%). GK tersebut membuktikan bahwa 74,5% proporsi pengeluaran penduduk miskin adalah untuk konsumsi makanan. BPS (2021) juga mencatat pengeluaran penduduk Indonesia sebesar Rp1.225.685 per kapita per bulan, di mana sebanyak Rp603.236 (49,22%) digunakan untuk pengeluaran makanan dan Rp622.449 (50,78%) untuk pengeluaran bukan makanan. Semakin meningkat harga pangan, maka garis kemiskinan dan angka kemiskinan semakin meningkat. BPS (2021) mencatat angka kemiskinan prapandemi pada September 2019 sebesar 24,78 juta orang (9,22%) meningkat menjadi 27,55 juta orang (10,19%) pada September 2020 dan 26,50 juta orang (9,71%) pada September 2021.

Hasil kajian Faharudin (2020) menyebutkan kenaikan harga 5 persen lima kelompok pangan menyebabkan peningkatan persentase penduduk miskin berturut-turut sebesar 0,124 poin (beras), 0,111 poin (ikan segar), 0,050 poin (sayuran), 0,042 poin (buah-buahan), dan 0,289 poin (pangan lainnya). Pengaruh ini semakin besar dengan tingginya kenaikan harga meskipun pertambahannya tidak linier. Kenaikan harga 15 persen masing-masing kelompok komoditas makanan menyebabkan meningkatnya persentase penduduk miskin masing-masing sebesar 0,581 poin (beras), 0,386 poin (ikan segar), 0,124 poin (sayuran), 0,124 (buah-buahan), dan 2,095 poin (pangan lainnya). Hasil penelitian Yuliana dkk. (2019) menyebutkan kenaikan harga pangan menurunkan tingkat kesejahteraan rumah tangga sebesar 6,53% atau setara Rp227.908 per bulan. Hal ini berarti bahwa untuk mencapai tingkat kesejahteraan semula, maka rumah tangga harus mendapatkan kompensasi sebesar Rp227.908 per bulan.

Kedua, permintaan (konsumsi) pangan menurun. Semakin meningkat harga pangan, maka permintaan pangan semakin menurun, karena menurunnya daya beli. Elastisitas harga sendiri merupakan cara yang mudah untuk mengukur permintaan rumah tangga terhadap perubahan harga pada komoditas pangan. Elastisitas harga sendiri pada kelompok komoditas ikan/daging/telur/susu dan kacang-kacangan/minyak bersifat elastis, masing-masing memiliki nilai 1,1023 dan 1,0943 (Mayasari dkk, 2018). Artinya, jika terjadi kenaikan harga sebesar 1%, maka rumahtangga akan merespon dengan menurunkan permintaan lebih dari 1%. Pada kelompok komoditas padi/umbi-umbian, sayur/buah-buahan, minyak/kacang-kacangan dan pangan lainnya bersifat inelastis (bernilai kurang dari 1), yang berarti jika terjadi kenaikan harga sebesar 1% maka rumahtangga akan merespon dengan menurunkan permintaan kurang dari 1%. Perlu diketahui bahwa GKM merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Dengan demikian, kenaikan harga pangan juga mengakibatkan penduduk miskin terjerumus ke dalam kelompok rawan pangan karena menurunnya konsumsi pangan.

———- *** ———–

Tags: