Kenalkan Permainan Tradisional Sekaligus Belajar Membatik

Mio Yamaguci (batik biru) dan Tateoka Honoka (berjaket) pertama kali mengenal permainan tradisional dan belajar membatik saat mengunjungi SMP 17 Agustus Surabaya , Rabu (14/9). [oky abdul sholeh]

Mio Yamaguci (batik biru) dan Tateoka Honoka (berjaket) pertama kali mengenal permainan tradisional dan belajar membatik saat mengunjungi SMP 17 Agustus Surabaya , Rabu (14/9). [oky abdul sholeh]

Observasi Pembelajaran Mahasiswa Jepang di SMP 17 Agustus Surabaya
Kota Surabaya, Bhirawa
Suasana kegiatan belajar mengajar di SMP 17 Agustus 1945 Surabaya terlihat berbeda, Rabu (14/9) kemarin. Para siswa tampak lebih bersemangat dari biasanya ketika mengikuti praktikum kesenian di luar kelas. Sebagian di antara mereka asyik bermain permainan tradisional, sebagian lain serius membatik di atas lembaran kain putih.
Diah Andini, siswa kelas 9 SMP 17 Agustus 1945 ini terlihat canggung ketika memulai kegiatannya membatik. Maklum, sebagai siswa yang juga masih belajar membatik, dia mendapat kepercayaan sekolah untuk mendampingi tamu mahasiswa dari Universitas Pendidikan Aichi Jepang. Tidak hanya mendampingi sebenarnya, Diah juga harus berbagi pengalaman dengan Mio Yamaguci dan Tateoka Honoka yang baru pertama kali mengetahui cara membatik.
“Agak-agak grogi sih, tetapi untungnya masih paham dikit-dikit buat ngajarin pakai Bahasa Inggris,” jelasnya ketika ditemui di sela kegiatannya membatik.
Diah menjelaskan kepada para tamunya mulai dari persiapan sebelum membatik, cara memegang canting hingga proses pembatikan itu sendiri. Meski dengan malu-malu, Diah berhasil melewati tugas itu.
Di sisi lain, para siswa juga terlihat antusias menunjukkan cara bermain dakon dan bekel pada kedua mahasiswa tersebut. Ini adalah hal baru yang tidak diketahui mahasiswa Jepang. Di Indonesia sendiri, permainan tradisional juga mulai ditinggalkan. Saking antusiasnya menerima tamu dari negara lain, Ari Kurniawan, siswa kelas 8 langsung meminta tanda tangan dan tulisan Bahasa Jepang pada Mio Yamaguci layaknya bertemu artis. “Penasaran saja tanda tangan dari tulisan Jepang. Karena saya suka baca komik Jepang,” ungkap Ari.
Sementara itu, Mio mengungkapkan maksudnya mengunjungi sekolah-sekolah di Surabaya dalam rangka Japan Foundation selama satu bulan ini. Ia dan Tateoka akan melihat budaya dan sistem pembelajaran siswa di sekolah-sekolah di Surabaya. Baginya iklim pendidikan di Indonesia sudah cukup baik dan tertib.  “Orang-orang di Indonesia itu hangat dan gampang membaur. Saya sangat senang dengan keramahan mereka,”terangnya.
Selama ini, Mio telah mengetahui batik dari Indonesia yang sudah terkenal hingga dunia. Namun, dirinya cukup heran dengan cara membuat kain batik yang bisa dilakukan secara individu. Karena ia mengira motif yang rumit pada batik hanya bisa dikerjakan oleh industri. “Saya kira batik itu dibuat perusahaan yang besar dengan mesin-mesin yang canggih. Ternyata langsung dengan tangan,” kata dia heran.
Kepala SMP 17 Agustus 1945 Wiwik Wahyuningsih mengungkapkan, kunjungan mahasiswa asing ini menjadi penyemangat siswanya dalam menunjukkan kebudayaan tradisional. Sehingga tak hanya memperhatikan budaya asing yang masuk di Indonesia. “Kunjungan mereka juga sebagai observasi pembelajaran. Jadi anak-anak bisa diarahkan belajar sambil berdiskusi,”pungkasnya. [Adit Hananta Utama]

Tags: